Tak hanya menyampaikan pembelaan, Azis Syamsuddin juga menyampaikan curahan hati dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Terdakwa suap Rp 3,6 miliar itu tak kuasa menahan tangis saat membacakan pleidoi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Azis Syamsuddin, bekas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, menangis saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di hadapan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam sidang, Senin (31/1/2022). Terdakwa kasus suap terhadap bekas penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Stepanus Robin Pattuju itu meminta hakim menjatuhkan vonis yang adil.
Setelah melalui serangkaian persidangan selama hampir dua bulan, Azis akhirnya mendapatkan kesempatan untuk membela diri dalam sidang dengan agenda pembacaan pleidoi, Senin ini. Azis mengawali pembacaan nota pembelaan dengan menyampaikan curahan hati, menceritakan perjalanan hidupnya.
Politikus Partai Golkar itu terisak saat menyebut nama kedua orangtuanya. ”Saya lahir dari pasangan almarhum ayah saya, yaitu Syamsudin Rahim, dan almarhumah ibu saya yang sangat saya cintai, yaitu Chosiah Hayum, pada 31 Juli 1970 di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Jakarta,” tuturnya dengan terbata-bata saat mengawali pembacaan pleidoi.
Azis yang menghadiri persidangan secara langsung dengan mengenakan kemeja putih menuturkan bahwa ia selalu mengikuti ke mana pun ayahnya pergi. Pekerjaan sang ayah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) membuatnya sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Selain Jakarta, semasa kecil, Azis pernah menetap di Singkawang (Kalimantan Barat), Tanjung Balai Karimun (Kepulauan Riau), Jember (Jawa Timur), dan Padang (Sumatera Barat).
Sebagai ”anak pindahan”, Azis kerap dirundung teman-temannya lantaran tak bisa berbahasa daerah. ”Setiap tahun (pindah kota), saya selalu diplonco karena tidak bisa berbahasa daerah setempat dan harus tegar menghadapi pelonco dalam bulan pertama dan bulan kedua di daerah,” katanya.
Di hadapan majelis hakim, Muhammad Damis, Fahzal Hendri, dan M Agus Salim, Azis juga menceritakan kehidupannya yang berubah drastis setelah ayahnya pensiun, mengakhiri pengabdiannya sebagai PNS. Saat itu, ia dan keluarga harus menempati rumah susun di Tanah Abang, Jakarta.
Mantan Ketua Badan Anggaran DPR itu menjelaskan tidak ada maksud untuk pamer dengan menceritakan perjalanan hidupnya. Ia hanya ingin semua tahu jati dirinya sebenarnya.
Selama membacakan nota pembelaan, berkali-kali Azis tak kuasa menahan tangis. Kuasa hukumnya pun sigap membawakan tisu dan membenarkan letak mikrofon agar suara Azis terdengar jelas kembali.
Azis menyebut bahwa sebagai lulusan S-3 hukum dari Australia, ditambah pengalamannya belasan tahun sebagai advokat, juga politikus di Senayan yang lama bertugas di Komisi III Bidang Hukum dan HAM, membentuk jati dirinya. Hal itulah yang kemudian terlihat selama persidangan. Dia menyebut dari seluruh perjalanan hidup, karier sebagai advokat ataupun politikus di Partai Golkar, tersangkut masalah hukum sebagai terdakwa kasus dugaan suap kepada penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju adalah ujian dari Allah SWT.
”Jaksa penuntut umum yang saya hormati, dengan penuh kerendahan hati. Ini bukan untuk saya pamerkan. Namun, semata-mata untuk memberikan gambaran kesungguhan saya yang tecermin dari masa pendidikan ataupun masa bakti saya,” terangnya.
Bagi Azis, hari pembacaan pleidoi itu merupakan hari bersejarah sebagai terdakwa dugaan kasus suap pengurusan perkara di KPK. ”Saya menyadari, karakter dan jiwa saya sebagai mantan advokat cukup terbangkit (selama persidangan) sehingga membuat suasana kurang nyaman dalam proses persidangan. Namun, inilah tempat saya memperjuangkan keadilan,” tuturnya.
Dia berharap penegakan hukum dapat berjalan secara adil. Pengetahuan hukum yang dia punya diharapkan menjadi bekal untuk mendapatkan keadilan di pengadilan yang dia sebut sebagai tempat peradilan yang suci.
Saya menyadari, karakter dan jiwa saya sebagai mantan advokat cukup terbangkit (selama persidangan) sehingga membuat suasana kurang nyaman dalam proses persidangan. Namun, inilah tempat saya memperjuangkan keadilan.
Tak lupa, Azis menyampaikan permintaan maaf kepada istri dan anak-anaknya. ”Kepada istri saya, saya memohon maaf karena kekurangan saya, saya yang tidak ideal sebagai suami. Kepada putri saya, yang marah karena risiko saat ini. Papa mencintai kamu, dan berjanji setelah masalah ini Papa akan jadi lebih baik,” ujarnya.
Azis juga menyebut putra bungsunya yang telah menggantikannya sebagai imam keluarga sejak ditahan KPK pada 24 Desember 2021 lalu. Putranya itu harus mengayomi ibu dan kakaknya karena Azis tersandung perkara hukum.
”Putraku, Papa yakin walaupun Papa tidak di dekatmu, kamu akan tumbuh dengan baik. Sementara ini, Papa mohon untuk menjadi imam (keluarga) dan mengayomi keluarga,” katanya.
Ikuti mekanisme hukum
Azis juga menyebutkan bahwa selama persidangan, ia berupaya agar obyektivitas hukum terjaga. Azis mengikuti alur persidangan sesuai mekanisme yang berlaku, dan tidak pernah mengajukan opsi hukum lainnya.
Ia memilih tidak memberikan pernyataan kepada media di luar persidangan. Sebab, dia tidak mau menggiring opini dan menjadi peradilan yang secara tidak langsung dilakukan oleh pers (trial by the press).
”Yang Mulia Ketua Majelis Hakim dan saudara JPU, serta sahabat wartawan yang saya hormati. Semoga ini adalah jalan menuju keadilan dan majelis dapat mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Saya anggap ini sebagai bagian introspeksi menjadi Azis Syamsuddin yang lebih baik,” katanya.
Jika diberi kesempatan, dia ingin terus berkarya bagi masyarakat dengan kembali menjadi advokat, berkontribusi pada kegiatan sosial. Azis menegaskan tak mau lagi terjun ke dunia politik praktis.
Dalam kesempatan itu, Azis juga menyebut bahwa pemberian uang senilai Rp 200 juta kepada penyidik KPK Robin bukanlah suap untuk pengurusan perkara dugaan korupsi Dana Aloksi Khusus (DAK) Lampung Tengah tahun 2017 yang tengah diselidiki lembaga antirasuah. Uang yang sebagian besar dikirim melalui rekening pribadi itu adalah pinjaman karena Robin meminta bantuan untuk keperluan keluarganya. Azis tergerak rasa kemanusiaannya karena pada saat itu Robin juga mengaku baru saja terkena Covid-19.
”Yang Mulia, saya ingin katakan dengan sejujur-jujurnya sesuai agama yang saya anut, saya tidak pernah meminta bantuan kepada Stepanus Robin Pattuju. Karena, saya yakin Robin tidak punya kemampuan, kapasitas dalam memutus perkara sesuai mekanisme yang ada di KPK. Apalagi, tindakan itu tidak dibenarkan,” terang Azis.
Selain itu, Azis juga menolak tuntutan jaksa yang menyebut bahwa dia ikut membantu pengurusan perkara peninjauan kembali (PK) kader Golkar yang merupakan bekas Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Menurut dia, tuntutan jaksa itu tidak didukung alat bukti yang meyakinkan. Tuntutan hanya didasarkan pada pernyataan Rita di persidangan. Permintaan terdakwa untuk memperdengarkan rekaman telepon antara Rita dan Azis pun tidak dipenuhi oleh jaksa.
Sementara itu, kuasa hukum Azis, Rifai, dalam pleidoi kuasa hukum menyebutkan bahwa selama persidangan berlangsung, Azis sudah dihakimi media. Pernyataan-pernyataan dari KPK disebut bagian dari penggiringan opini publik. Hal itu diharapkan tidak memengaruhi keputusan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis perkara.
”Penggiringan opini tentang koruptor kelas kakap, koruptor kelas teri, dan sebagainya itu tentu sangat memengaruhi pendapat umum atau masyarakat. Kami berharap majelis hakim memberikan keputusan dengan mengembalikan kepada kesadaran dan penerapan hukum,” kata Azis.
Rifai juga menyebut bahwa kasus dugaan suap penyidik KPK tersebut telah diekspos oleh media sedemikian rupa, padahal tidak proporsional dengan bobot kasusnya. Dia berharap ekspos media yang begitu besar itu tidak akan memengaruhi keputusan majelis hakim. Pihaknya berharap hakim tetap menerapkan penilaian hukum dari sudut pandang obyektif.
Azis dituntut 4 tahun 2 bulan penjara dan denda Rp 250 juga subsider 6 bulan kurungan karena diduga memberikan suap kepada eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Jaksa juga menuntut penghapusan hak politik Azis selama lima tahun.