Aktivis di Lingkaran Kekuasaan Jangan Takut Suarakan Kebenaran
Mantan Sekretaris Kabinet sekaligus aktivis mahasiswa era Orde Baru, Dipo Alam, meluncurkan biografi berjudul ”Dipo Alam dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin: Biografi Seorang Aktivis”.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok aktivis yang identik dengan sikap kritis terhadap penguasa hendaknya tak kehilangan keberanian untuk menyuarakan kebenaran ketika masuk dalam lingkaran kekuasaan. Peran bersikap kritis penting untuk terus dijalankan agar para pemimpin tidak salah langkah dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, aktivis dan masyarakat sipil (civil society) merupakan elemen penting dalam dunia politik dan demokrasi. Kelompok tersebut selalu melancarkan kritik yang bertujuan agar penguasa menggunakan kekuasaan secara tepat. Masyarakat ingin memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan semua kebijakan yang dibuat didasarkan pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks tersebut, kritik aktivis menjadi krusial karena hal itu yang akan membuat seorang pemimpin tidak hanya memiliki legalitas dalam arti kemenangan dalam pemilihan umum. Akan tetapi, juga legitimasi dari masyarakat untuk menggunakan kekuasaannya.
Selain itu, menurut Yudhoyono, suara masyarakat merupakan bentuk kekuasaan lain yang berhak mengontrol kekuasaan pemerintah atau eksekutif selain oleh lembaga legislatif dan yudikatif. Prinsip keseimbangan diperlukan oleh Indonesia sebagai negara demokrasi yang masih muda, yang masih harus terus belajar untuk memenuhi prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat.
”Beruntunglah dengan kontrol dari rakyat, aktivis, civil society, karena biasanya pemimpin tidak akan salah jalan, tidak akan mengambil keputusan yang bertentangan dengan kehendak rakyat, dan tidak membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat,” kata Yudhoyono dalam peluncuran buku berjudul Dipo Alam dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin: Biografi Seorang Aktivis. Peluncuran buku karya mantan Sekretariat Kabinet Dipo Alam itu diselenggarakan secara hibrida di Jakarta, Senin (31/1/2022).
Yudhoyono menambahkan, selama memimpin negara dalam kurun waktu 2004-2014, pemerintahannya tak pernah lepas dari kritik para aktivis. Bahkan, Dipo Alam, mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang dikenal kritis terhadap Orde Baru, juga ada di dalam kabinetnya. Dipo tak segan untuk mengkritik Yudhoyono meski umumnya ia sampaikan dalam pertemuan empat mata.
”Selama berada di kabinet, jiwa aktivis Dipo Alam tidak pernah hilang. Ia gelisah kalau ada hal-hal yang dianggap tidak benar, kepada saya juga kritis,” ujar Yudhoyono.
Perkenalan Yudhoyono dengan Dipo dimulai ketika pemerintah tengah mengatasi konflik Aceh di masa awal kepemimpinannya. Dipo merupakan salah satu pihak yang sepakat dengan pemerintah untuk mengakhiri konflik Aceh secara damai, tetapi tetap menggelar operasi militer sebagai salah satu cara mencapai tujuan akhir menyelesaikan konflik. Dipo dinilai bisa memahami bahwa operasi militer hanyalah salah satu cara agar Aceh tetap menjadi bagian dari NKRI, tetapi ke depan bisa menjadi daerah yang damai dan pembangunan bisa dilakukan secara lebih baik.
Untuk mendukung gagasan tersebut, Dipo juga menjadi bagian dari tim yang berkeliling ke negara-negara untuk mendapatkan dukungan internasional. Mulai dari negara-negara ASEAN, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, bahkan ke Swedia tempat para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada saat itu. Dukungan Internasional yang dilengkapi dengan dukungan dalam negeri akhirnya berhasil membawa kesepakatan perdamaian di Aceh.
Pada tahun 2006, Yudhoyono menugaskan Dipo sebagai Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Berkembang (D-8) yang bermarkas di Istanbul, Turki. Ia juga menjabat sebagai Sekretariat Kabinet pada 2010-2014.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Manusia sekaligus aktivis mahasiswa di era Orde Baru Rizal Ramli sepakat, Dipo merupakan sosok aktivis yang tidak kehilangan daya kritisnya setelah masuk dalam lingkar kekuasaan. Langkah menyampaikan kritik secara langsung kepada Yudhoyono saat masih menjadi Presiden merupakan cara yang paling elegan yang bisa dilakukan seorang pejabat dalam konteks kekuasaan di Indonesia. Menurut dia, sikap tersebut saat ini sulit ditemui dalam diri pejabat yang juga memiliki latar belakang aktivis.
Ia juga mengapresiasi sikap Dipo yang selalu berimbang, terbiasa menghadapi konfrontasi, dan mampu mencari resolusi damai. Kualitas itu sebenarnya membuat banyak pihak tak suka akan keberadaannya dalam pemerintahan. ”Waktu Dipo menjadi Deputi Menko Perekonomian banyak sekali yang minta dia dipecat, mereka lobi ke saya, lobi ke Gus Dur, kami ketawa-ketawa saja,” kata Rizal yang pernah menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia pada 2000-2001.
Terapi
Dalam kesempatan yang sama, Chairman of CT Corp Chairul Tanjung mengapresiasi konsistensi Dipo yang terus berkarya setelah pensiun dari berbagai jabatan publik. Menurut dia, umumnya orang-orang yang tak lagi memiliki kekuasaan kerap dilanda kegalauan dalam hidup. Namun, Dipo tidak terbawa kecenderungan tersebut. Ia justru bisa tetap berkontribusi untuk bangsa, tidak hanya dengan menulis buku biografi, tetapi juga dalam waktu dekat akan meluncurkan buku lukisan dan novel.
Sementara itu, Dipo mengatakan, buku setebal 978 halaman yang ia tulis berisi pengalaman hidup baik saat menjadi aktivis, perjalanan karier, maupun kehidupan keluarga. Buku yang ditulis lebih dari tiga tahun ini juga merupakan terapi kesehatan yang didorong oleh mendiang istrinya, Ninik Setyawati. Setelah tiga kali menderita stroke, Ninik yang telah berpulang pada April 2020 meminta Dipo untuk tetap membaca, menulis, dan melukis untuk menyeimbangkan kemampuan otak kanan dan kirinya. Dipo pun mempersembahkan buku ini untuk mendiang istrinya. Tanggal peluncuran dipilih sesuai dengan hari ulang tahun Ninik.