Menko Polhukam Akan Bentuk Tim Atasi Masalah Keamanan di Indonesia Timur
Guna mencari solusi atas permasalahan tanah yang berbuntut konflik horizontal warga, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan akan membentuk tim untuk mengatasi masalah lahan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan, pihaknya akan membentuk tim untuk mengatasi masalah keamanan di Papua, Papua Barat, dan Maluku. Tim akan dikirim ke lokasi untuk mencari solusi atas permasalahan tanah yang berbuntut pada konflik horizontal warga. Pemerintah ingin membangun kepastian hukum pertanahan mengingat persoalan lahan kerap menjadi pemicu konflik keamanan yang membuat daerah menjadi tidak aman.
”Masalah pertanahan di Papua, Papua Barat, dan Maluku selalu menjadi masalah laten dari waktu ke waktu. Karena itu, saya akan segera mengirim tim ke sana, mencoba mencari penyelesaian masalah tanah agar ada kepastian hukum,” ujar Mahfud melalui keterangan resmi, Jumat (28/1/2022).
Keputusan itu diambil setelah Mahfud menyelenggarakan rapat koordinasi bersama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN) di kantor Kemenko Polhukam, Jumat. Rapat digelar untuk menyikapi kasus keamanan terbaru di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua; Haruku, Maluku; dan Papua Barat.
Sebagaimana dilaporkan, Rabu (26/1/2022) pagi di Kampung Kariuw, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, massa menyerang dan membakar kampung. Tiga warga dilaporkan meninggal. Kejadian ini seharusnya bisa dicegah oleh aparat keamanan sejak awal. Namun, polisi mengatakan mereka kewalahan meredam aksi ini (Kompas.id, 26/1/2022).
Di Sorong, Papua Barat, yang terjadi memang bukan konflik lahan. Namun, konflik terjadi karena bentrokan antardua kelompok masyarakat di Diskotek Double O, Kota Sorong, Papua Barat, Senin (25/1/2022) dini hari. Seorang warga tewas dibacok dan 17 orang lainnya tewas karena terperangkap di diskotek yang diduga dibakar salah satu kelompok massa (Kompas.id, 26/1/2022).
Kami bicarakan semua konflik ini, yang kesimpulannya adalah, alhamdulillah, sekarang sudah aman dan terkendali. Tidak ada satu pun yang bermotif SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Mohon jangan dikembangkan sebagai isu SARA karena memang tidak ada motif SARA.
Konflik yang terbaru terjadi di sekitar wilayah pegunungan tengah Papua. Kali ini terjadi aksi kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang menewaskan tiga prajurit TNI dan mengakibatkan satu prajurit lainnya terluka berat. Ketiga korban yang gugur itu adalah Sersan Dua Rizal Maula Arifin, Prajurit Satu Tupel Alomoan Baraza, dan Prajurit Satu Rahman Tomilawa. Adapun Prajurit Satu Syaiful terluka berat.
”Kami bicarakan semua konflik ini, yang kesimpulannya adalah, alhamdulillah, sekarang sudah aman dan terkendali. Tidak ada satu pun yang bermotif SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Mohon jangan dikembangkan sebagai isu SARA karena memang tidak ada motif SARA,” terang Mahfud.
Terkait konflik di Haruku, menurut Mahfud, peristiwa itu lebih disebabkan adanya konflik lahan antarpenduduk desa yang saling mengklaim kepemilikannya sehingga berujung konflik antarsuku.
Mahfud menjelaskan, di bawah kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, kebijakan tentang Papua tetap mengutamakan pendekatan humanis yang menghindari korban dari masyarakat sipil. Operasi penegakan hukum di Papua saat ini menggunakan pendekatan baru yang bersifat bertahan atau defensive. Sejak adanya pendekatan baru itu, organisasi teroris KKB tidak lagi menyasar warga sipil. Korban rata-rata adalah aparat, baik anggota TNI maupun Polri.
”Prinsipnya dalam operasi penegakan hukum di Papua, masyarakat sipil dijaga terlebih dahulu keselamatannya. Pendekatan dengan cara defensive ini juga menurut Panglima TNI akan segera dievaluasi dan disempurnakan lagi,” terang Mahfud.
Dalam konteks kebijakan pembangunan di Papua dan Papua Barat, tambah Mahfud, pemerintah dan DPR sudah menyepakati untuk segera melakukan pemekaran wilayah. Keputusan itu diambil setelah pertimbangan yang matang dan melibatkan tenaga ahli surveyor lapangan. Memang, Mahfud mengakui akan ada dampak sosial dan politik dari kebijakan tersebut. Namun, hal itu sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR. Dengan demikian, kebijakan itu akan tetap dijalankan.
Sementara itu, pakar konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth, mengatakan, isu tanah di Indonesia timur, terutama di Papua, memang isu sensitif.
Menurut dia, setiap jengkal tanah milik masyarakat adat sangatlah penting dan bermakna bagi suku pemiliknya. Ketika terjadi konflik tanah, seperti penyerobotan tanah, hal itu akan memengaruhi identitas marga atau suku di lokasi tersebut. Mereka akan tergusur dan tidak bisa tinggal di lokasi yang berkaitan dengan identitas sosial mereka. Mereka akan tercerabut dari akar sosialnya. Apalagi jika itu berkaitan dengan investasi yang berbenturan dengan nilai adat, pasti akan memicu konflik horizontal yang lebih luas.
”Walaupun masyarakat adat diberi sertifikat resmi oleh pemerintah, mereka akan menilai hal itu secara berbeda. Mereka menghargai tanah sebagai nilai adat sehingga ketika terjadi pelepasan tanah, ada pula masalah pelepasan adat yang dapat menjadi masalah serius dan dapat memicu konflik horizontal,” kata Adriana.
Jangan sampai hanya membentuk tim, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan persoalan di Papua. Tim harus bekerja secara simultan dan beriringan serta benar-benar menuntaskan persoalan agar tidak menjadi konflik horizontal.
Adriana mencontohkan, saat ada proyek besar pembuatan arena Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua di Sentani, masyarakat adat sempat menyegel lokasi karena ada masalah adat yang tidak diselesaikan dengan baik. Masalah itu akhirnya dapat diselesaikan dengan mediasi dan kompensasi adat.
Menurut Adriana, baik di Maluku maupun Papua, tanah memang bisa menjadi sumber konflik horizontal apabila tidak terselesaikan dengan baik. Sebab, kepemilikan adat yang melekat tidak bisa digantikan oleh selembar kertas sertifikat yang diakui negara.
Oleh karena itu, Adriana mengapresiasi tim yang dibentuk Kemenko Polhukam untuk menyelesaikan masalah konflik tanah di Papua. Dia berharap tim itu dapat bekerja beriringan dengan tim yang juga sudah dibentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
”Jangan sampai hanya membentuk tim, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan persoalan di Papua. Tim harus bekerja secara simultan dan beriringan serta benar-benar menuntaskan persoalan agar tidak menjadi konflik horizontal,” ujar Adriana lagi.