Pameran Seni dan Luka Sejarah Dua Bangsa
”Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan,” ujar Francois Caron, profesor sejarah di Universitas Sorbonne Paris.
Pameran Revolutie! Indonesie Onafhankelijk baru akan digelar di Museum Nasional Belanda Rijksmuseum di Amsterdam. Pameran yang menurut rencana antara lain akan menampilkan lukisan seputar masa revolusi yang tujuh di antaranya dipinjam dari Istana Kepresidenan itu justru menimbulkan kegaduhan seputar sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama terkait periode ”Bersiap”. Luka sejarah yang kembali menganga ini memantik aksi saling melaporkan ke polisi.
Melalui siaran pers tertulis tertanggal 21 Januari 2022, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag menyatakan telah melaporkan Kurator Rijksmuseum Harm Stevens dan Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits kepada kepolisian di Belanda. Sebelumnya, Federatie Indische Nederlanders atau Federasi Belanda-Indisch (FIN) terlebih dulu melaporkan kurator tamu dari Indonesia Bonnie Triyana ke polisi.
Pelaporan ke polisi ini berawal dari artikel yang ditulis Bonnie jelang pameran yang direncanakan digelar pada 11 Februari 2022 hingga 5 Juni 2022. Artikel itu langsung menuai ketegangan di Belanda.
Dalam opini yang dimuat di Media NRC, Bonnie yang juga seorang sejarawan mengatakan bahwa Rijksmuseum telah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan istilah ”Bersiap” dalam pameran Revolutie! Indonesie onafhankelijk atau Revolusi! Kemerdekaan Indonesia.
Istilah “Bersiap” disebut mengandung konotasi rasis untuk menggambarkan orang Indonesia yang tidak beradab sebagai pelaku tindakan kekerasan. ”Akar masalahnya terletak pada ketidakadilan yang menciptakan kolonialisme dan struktur masyarakat hierarkis berdasarkan rasisme yang mengelilingi eksploitasi koloni,” tulis Bonnie dalam opini untuk NRC.
Tulisan Bonnie segera memicu debat panas tentang sejarah pada periode rentang tahun 1945-1949. Periode tersebut diingat oleh masyarakat Indonesia sebagai agresi militer Belanda. Sementara memori masyarakat di Belanda mengenang rentang tersebut dengan istilah ”Bersiap”. Pada periode itu terjadi perubahan radikal karena terjadi dua kali pemindahan kekuasaan, yaitu dari Belanda dan Jepang.
Ketika dihubungi pada Senin (24/1/2022), Bonnie memilih tidak berkomentar terkait kejadian saling melaporkan ke polisi ini. Bonnie hanya menjawab dengan singkat. ”Sudah banyak yang menulis, kan,” ujar Bonnie.
Setelah FIN melaporkan Bonnie ke polisi, Rijksmuseum secara terbuka mengingkari pernyataan Bonnie. Mereka menyangkal bahwa kata ”Bersiap” mengandung rasisme dan menegaskan akan tetap menggunakannya. Keputusan inilah yang kemudian menjadi alasan KUKB untuk gantian melaporkan Rijksmuseum, kurator, dan direktur pameran kepada polisi.
Mengutip laman Rijksmuseum, pameran Revolusi! Kemerdekaan Indonesia akan fokus pada kisah pribadi dari kacamata orang-orang yang menjalani masa di rentang tahun 1945-1949. Rijksmuseum akan menampilkan 200 obyek, termasuk bahan arsip, dokumen, foto, dan lukisan yang dipinjam dari Belanda, Australia, Belgia, Inggris, dan Indonesia.
Pameran lukisan menjadi semakin menarik karena direncanakan menyuguhkan tujuh lukisan terpenting dalam sejarah Indonesia yang dipinjam dari koleksi Istana Kepresidenan Indonesia. Karya yang ditampilkan antara lain karya S Sudjojono, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Affandi, Henk Ngantung, dan Otto Djaya.
Gaya realistik
Ketika dihubungi pada Selasa (25/1/2022), kurator Mikke Susanto yang juga Ketua Jurusan Program Studi Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memaparkan tentang kekhasan karya pada periode 1945-1949 yang cenderung bergaya realistik.
Obyek lukisan pada masa itu antara lain berupa potret diri pahlawan, seperti RA Kartini, Pangeran Diponegoro, dan HOS Tjokroaminoto. Sebanyak 12 lukisan potret diri pahlawan sengaja dipesan oleh Soekarno untuk mengisi ruang-ruang di Istana Kepresidenan. Obyek lukisan berupa suasana perang hanya ditemukan dalam beberapa lukisan. Obyek lukisan lainnya adalah suasana masyarakat pada masa itu.
Lukisan karya Harijadi Sumadidjaja berjudul Awan Berarak, Jalan Bersimpang, misalnya, memberi gambaran tentang kondisi masyarakat yang bingung. ”Simbolik banget meskipun semua gaya-gaya yang ada di masa itu adalah gaya realistik. Tidak surealis, tidak abstrak. Masa itu lukisan yang paling kontemporer modelnya realistik,” papar Mikke.
Salah satu karya lukisan yang fenomenal yang kemungkinan besar akan turut disuguhkan di pameran Revolutie! Indonesie onafhankelijk adalah lukisan karya 11 murid pelukis Dullah. Karena bangsa Indonesia tidak ada yang memotret peristiwa agresi militer Belanda, Dullah menyuruh muridnya yang berusia sekitar 9-10 tahun untuk bergerilya menggambar suasana agresi militer.
”Kami enggak punya foto-foto agresi militer, tetapi punya lukisannya. Sekarang lukisan itu ada di dua lembaga. Yang 40 itu ada di Rijksmuseum dan 40 lagi di Museum Dullah. Ada yang drawing pensil ada cat minyak yang kemungkinan jadi salah satu materi pameran,” tutur Mikke.
Baca Juga: Soekarno... Presiden, Seniman, dan Kolektor Andal
Pada saat agresi militer terjadi, sejumlah lukisan sempat dirampas dan dibakar. Lukisan-lukisan karya S Sudjojono, misalnya, banyak yang tak terselamatkan karena terkena bom ketika agresi militer di Kalasan, DI Yogyakarta. Lukisan S Sudjojono yang selamat hanyalah yang dikoleksi Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan.
Lukisan berjudul Kawan-kawan Revolusi karya S Sudjojono yang merupakan lukisan yang paling dicintai Presiden Soekarno bahkan sempat ditusuk bayonet ketika Belanda menduduki Istana Gedung Agung. Luka bayonet ini kemudian telah dipulihkan melalui proses restorasi.
”Pameran ini menyajikan artefak penting yang langsung menjadi saksi sejarah, yang menjadi runyam ketika ada pergolakan hanya karena menggunakan atau menghilangkan atau menambahkan urusan penamaan (Bersiap). Periode sama, cuma cara memanifestasikan peristiwa itu beda,” kata Mikke.
Mikke menyebut bahwa pameran dengan tema revolusi memang mengandung risiko yang luar biasa. ”Bahwa pameran yang mengedepankan persoalan sejarah atau luka bangsa memang agak riskan untuk disajikan karena persoalannya adalah kurator berada di mana posisinya?” ujar Mikke.
Mikke yang sempat diundang memberikan ceramah umum tentang Soekarno dan Seni di Rijksmuseum menyebut bahwa sikap kurator terhadap pameran hampir mirip seperti penulis buku sejarah. ”Dia mau membela atau datar saja atau akan memberikan narasi baru atas sejarah. Peran kurator itu sangat krusial dalam sebuah pameran dan sikap kurator penting karena untuk memberi informasi publik mengenai kajian topik yang diungkapkan dalam pameran,” tambahnya.
Pameran yang mengedepankan persoalan sejarah atau luka bangsa memang agak riskan untuk disajikan karena persoalannya adalah kurator berada di mana posisinya?
Ketika berhadapan dengan isu sensitif, seperti luka sejarah, kurator bisa memakai pendekatan yang lebih lembut untuk bisa memberi input kepada penyimak sejarah atau penikmat seni masa kini. ”Menyampaikan realitas masa lalu dengan indah. Misal dengan menghadirkan artefak yang sudah disiapkan, tetapi mungkin tidak menyulut persoalan sejarah,” kata Mikke.
Pelaporan polisi
Menurut Mikke, pelaporan kepada polisi terkait pameran seni beberapa kali juga terjadi di Indonesia. ”Ini, kan, keputusan kuratorial, Bonnie masih bisa melakukan pembelaan terhadap apa sebenarnya fungsi pameran. Pameran juga fiksi yang dibangun kuratornya meski di dalamnya isinya sejarah. Kayak buku sejarah bagian dari konstruksi pemikiran, imajinasi, ekspresi, dan realitas yang bercampur baur yang harus kita sadari,” paparnya.
Pada 1975, misalnya, polisi sempat memenjarakan pelukis Hardi selama beberapa hari akibat karya yang dipamerkan di Pameran Gerakan Senirupa Baru di Taman Ismail Marzuki (TIM). Karyanya yang berjudul Presiden Tahun 2000 yang menampilkan wajahnya sendiri sebagai presiden dinilai sensitif. Namun, Hardi lantas dilepaskan dari penjara berkat campur tangan Wakil Presiden Adam Malik.
Yayasan KUKB yang melaporkan Rijksmuseum ke polisi antara lain dikenal karena keberhasilan tuntutan hukum kepada Pemerintah Belanda terkait pembantaian tahun 1947 di Desa Rawagede, Jawa Barat. Pemakaian istilah ”Periode Bersiap” oleh Rijksmuseum dinilai sebagai tindakan menstigma orang Indonesia dalam cara pandang kolonial.
Menurut Ketua KUKB Jeffry, konsep ”Bersiap” secara keseluruhan mendukung klise lama bahwa orang-orang Indonesia adalah brutal dan haus darah. Dalam historiografi Belanda, kata ”Bersiap” digunakan untuk menggambarkan periode atau masa ketika masyarakat Indonesia mengangkat senjata antara tahun 1945 dan 1946. Pemerintah Belanda lalu mendefinisikan masa ini lebih luas hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.
Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda sendiri melalui jalan yang panjang. Sampai 2005, Belanda hanya mengakui 27 Desember 1949 sebagai kemerdekaan Republik Indonesia bersamaan dengan penyerahan kedaulatan ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam, Belanda.
Baru tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Bot juga tercatat sebagai pejabat tinggi Belanda pertama yang menghadiri peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta.
Pengakuan itu ditegaskan kembali oleh Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima saat melakukan kunjungan keneragaan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 10 Maret 2020. Dalam kunjungan itu, Raja Willem mengucapkan selamat kepada Republik Indonesia yang akan segera merayakan 75 tahun Proklamasi Kemerdekaan di 17 Agustus 2020.
Baca Juga: Raja Belanda Meminta Maaf atas Kekerasan Setelah Proklamasi Indonesia
Raja Willem-Alexander juga menyebut ada perpisahan yang menyakitkan dan menyebabkan banyak nyawa melayang. Sepanjang 1945 sampai 1949, tercatat dua kali agresi militer Belanda yang dilawan para pejuang Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.
”Sejalan dengan pernyataan pemerintah saya sebelumnya, saya ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas kekerasan berlebihan dari pihak Belanda pada tahun-tahun tersebut. Saya melakukan ini karena menyadari penderitaan dan kepedihan yang dirasakan keluarga-keluarga sampai hari ini,” tuturnya saat itu.
Pemalsuan sejarah
Jeffry menilai bahwa ”Bersiap” dipakai untuk menghindari pengakuan hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. ”Fakta lain yang belum pernah dijelaskan adalah bahwa orang-orang Indo yang terbunuh dalam periode tersebut adalah pelaku dalam sistem kolonial yang diberlakukan dan memiliki peran dalam upaya pendudukan. Maka dari itu, Yayasan KUKB menegaskan bahwa kata ’Bersiap’ bukan hanya sekedar rasis, itu juga bagian dari pemalsuan sejarah,” ujarnya.
Tudingan serupa tentang pemalsuan sejarah juga dilontarkan oleh Juru Bicara FIN Michael Lentze seperti dikutip dari Media Dutchnews.nl pada 12 Januari 2022. ”Ini tidak lebih dari penolakan periode di mana orang Indonesia mengambil bagian dalam penganiayaan rasis, penyiksaan, dan pemerkosaan,” ujar Lentze.
Ada hal menarik yang disampaikan Mantan Ketua Komisi Konstitusi 2001-2002 Prof Sri Sumantri dalam kata pengantar edisi revisi buku berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Buku terbitan tahun 2009 tersebut disusun dengan dibubuhi ulasan dan catatan oleh RM AB Kusuma, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada kata pengantar sempat disinggung kaitan konstitusi dengan kelahiran bangsa atau negara. Mengawali pengantarnya, Sri Sumantri menuliskan bahwa seorang pakar hukum tata negara Belanda mengatakan bahwa konstitusi adalah piagam kelahiran (bangsa/negara). Hal itu dalam bahasa Inggris disebut a constitution is a birth certificate.
Sri Sumantri selanjutnya menulis sebaris pertanyaan: apakah hal itu juga berlaku untuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945? Yang sudah jelas ialah bahwa undang-undang dasar dirancang pada zaman pendudukan Jepang, sedangkan negara Indonesia berdiri melalui Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Masih terkait dengan periode pemindahan kekuasaan di tahun 1945 itu, Rosihan Anwar dalam bukunya yang berjudul Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan menulis bahwa pada 29 September 1945, pelopor pasukan Inggris mendarat di Tanjung Priok. Letnan Kolonel Laurens van der Post (perwira Inggris yang pernah ditahan di kamp interniran Jepang di Cimahi selama masa pendudukan) bersama seorang perwira Inggris lain sudah bertemu dengan Laksamana Patterson dan melaporkan kepadanya tentang perkembangan politik di Jawa.
Ia tegaskan bahwa Republik Indonesia yang baru lahir bukanlah bikinan Jepang, seperti disebarluaskan oleh propaganda Belanda, melainkan hasil kulminasi dari gerakan kebangsaan yang telah berpuluh tahun. ”Bidannya mungkin ikut peranan Jepang, tapi bayinya adalah asli Indonesia” (terjemahan bahasa Indonesia, RA), menurut Letkol Laurens van der Post (baca memoarnya, The Admiral's Baby, London 1996).
Buku berjudul Membongkar Manipulasi Sejarah karya Asvi Warman Adam menyebut bahwa begitu Orde Baru berakhir, bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah versi pemerintah. Prof Mr Gertrudes Johan Resink (1911-1997), misalnya, membantah pernyataan tentang benarkah Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Pada 1854, menteri urusan koloni mengatakan kepada Parlemen Belanda bahwa di kepulauan Indonesia masih ada negeri-negeri merdeka. Dalam beberapa kasus pengadilan, hakim dan Mahkamah Agung (Hindia Belanda) berkesimpulan mereka tidak mempunyai wewenang mengadili perkara karena yang bersangkutan dianggap bukan penduduk Hindia Belanda, melainkan rakyat kerajaan atau negeri pribumi yang masih merdeka.
Perbedaan (apalagi dalam bentuk plural) itulah yang tidak diajarkan di sekolah, termasuk dalam pelajaran sejarah. ”Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan,” ujar Francois Caron, profesor sejarah di Universitas Sorbonne Paris. Toleransi dan kebebasan itulah yang bisa menjadi pijakan kuat ketika perbedaan pandangan tentang sejarah kembali membuka luka dua bangsa.