Narasi konflik seringkali menimbulkan kebencian dan permusuhan antar pemeluk agama yang bisa mengakibatkan perpecahan bangsa. Sehingga sudah selayaknya narasi permusuhan tetap dihindari.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ulama memegang peranan kunci dalam mewujudkan pemahaman Islam wasathiyah atau moderat. Karena itu, para ulama diharapkan tidak menggunakan narasi permusuhan dalam penyiaran atau dakwah agama kepada masyarakat. Narasi kerukunan yang sejuk dan damai perlu dikedepankan demi menjaga persatuan serta kesatuan umat dan bangsa.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut ulama adalah pewaris para nabi dan obor keteladanan bagi umat. ”Jika ulama Indonesia bersatu padu terus dalam merawat dan meningkatkan moderasi Islam, maka Islam wasathiyah di Indonesia akan menjadi poros pancaran harapan bagi lahirnya dunia yang damai sebagai awal menuju dunia yang sejahtera,” ujarnya dalam Halaqah Kebangsaan I Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diselenggarakan secara daring dan luring, Rabu (26/1/2022).
Cara-cara penyiaran (dakwah) dari setiap agama, lanjut Wapres, hendaknya menggunakan narasi-narasi kerukunan yang sejuk dan damai. Narasi konflik yang bisa mengakibatkan terjadinya kebencian dan permusuhan antar-pemeluk agama semestinya dihindari.
Para ulama dan masyarakat juga mesti memahami bahwa radikalisme disinyalir dapat memicu ekstremisme dan terorisme yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Karena itu, selain ulama, masyarakat juga perlu bersama-sama mengupayakan penanggulangan radikalisme. Salah satu caranya adalah dengan tetap berkomunikasi menggunakan narasi-narasi kerukunan dan kedamaian.
Indonesia memiliki modal awal kerukunan dan toleransi beragama yang cukup kuat. Indonesia saat ini pun menjadi tuan rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Secara umum, umat Islam Indonesia hidup berdampingan dalam damai bersama pemeluk agama lain, bahkan sejak sebelum republik ini berdiri.
Karena itu, masyarakat dunia memersepsikan Indonesia sebagai model yang patut dicontoh dalam toleransi. Wapres Amin menyebutkan, delegasi dari Majelis Hukama Al-muslimin, organisasi persatuan para cendekiawan Muslim dunia yang berpusat di Abu Dhabi dan dipimpin Syaikhul Azhar Prof Thoyyib, pun mengatakan ingin belajar dari bangsa Indonesia dalam membangun Islam yang toleran dan damai itu.
Jika ulama Indonesia bersatu padu terus dalam merawat dan meningkatkan moderasi Islam, maka Islam wasathiyah di Indonesia akan menjadi poros pancaran harapan bagi lahirnya dunia yang damai sebagai awal menuju dunia yang sejahtera,
Selain itu, seorang produser film dari Italia datang untuk melihat apa yang terjadi tentang Islam di Indonesia yang moderat itu. Dengan melihat suku Baduy, Borobudur, dan warga suku Tengger di Bromo, tampak Islam Indonesia yang moderat dan toleran.
Atas dasar itulah Wapres berpesan supaya nilai-nilai moderasi dalam beragama sesuai prinsip Islam wasathiyah terus digemakan. Wapres juga berharap forum halaqah kebangsaan mampu memberikan masukan-masukan strategis tentang bagaimana mengoptimalkan penyebaran nilai-nilai wasathiyah untuk melawan paham radikal-terorisme serta sebagai upaya mencegah ekstremisme dan terorisme.
Ketua MUI Bidang Hukum dan Pengarah BPET KH Noor Achmad menambahkan, Indonesia adalah negara bangsa yang dibentuk berdasarkan kesepakatan semua umat beragama. Karena itu, Indonesia harus menjadi negara yang damai bagi semua umat yang ada.
Karena memilih sebagai negara bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, lanjut Noor Achmad, Islam yang pas di Indonesia adalah Islam yang ahlussunnah wal jamaah. ”Apa paham lain tidak pas, apa salah? Mungkin tidak salah, tapi belum tentu sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” katanya.
Para ulama kemudian merumuskan ahlussunnah waljamaah di Indonesia sebagai Islam wasathiyah. Karena itu, menurut Noor Achmad, setelah dirumuskan, Islam wasathiyah ini bisa digunakan bersama, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Kepolisian Negara RI, BNPT, dan lainnya. Dengan demikian, diharapkan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tidak terus lahir.
Dalam laporannya, Ketua BPET MUI Muhammad Syauqillah juga berharap sinergi tidak hanya terbentuk dengan para penegak hukum. Namun, setiap cabang MUI di kabupaten/kota dan provinsi perlu membentuk BPET. Sebab, terorisme bukan hanya masalah nasional, melainkan juga ada di akar rumput.
”Pencegahan pendanaan terorisme, misalnya, bisa dilakukan melalui pendidikan kader ulama. Para ulama bisa mewanti-wanti umat supaya hanya mendonasikan hartanya pada lembaga yang punya rekam jejak nasional kuat,” tutur Syauqillah.