Menanti Tongkat Komando untuk Prajurit Wanita Angkatan Laut
Jalan Kowal untuk menduduki jabatan strategis masih relatif panjang. TNI AL baru merekrut taruni Akademi Angkatan Laut pada 2013 sehingga lulusannya masih sedikit dengan pangkat tertinggi letnan satu.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·7 menit baca
Memasuki usia ke-59 pada 5 Januari 2022, Korps Wanita TNI Angkatan Laut atau Kowal belum bisa sepenuhnya lepas dari kungkungan peran domestik dunia militer. Mayoritas prajurit masih menempati tugas administrasi dan protokoler. Jalan untuk memegang peran komando masih panjang, menunggu untuk ditaklukkan.
Puluhan prajurit perempuan berseragam serba putih berbaris memasuki Lapangan Apel Denma Markas Besar TNI Angkatan Laut (AL), Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu pagi, (5/1/2022). Dipimpin Kepala Seksi Faskes Mob Subdis Faskes Dinas Kesehatan TNI AL Letnan Kolonel Laut (K/W) Istianah, empat peleton pasukan itu mengikuti upacara peringatan Hari Ulang Tahun Korps Wanita TNI Angkatan Laut (Kowal) yang ke-59 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Mereka yang terdiri dari satu peleton perwira menengah, perwira pertama, pasukan bintara bersenjata, serta pasukan gabungan bintara pelaut, marinir, Polisi Militer TNI AL, military observer, dan korps musik itu merupakan perwakilan dari anggota Kowal di seluruh Indonesia.
Upacara sekitar satu jam itu berlangsung khidmat. Tak ada unjuk kebolehan seperti yang umumnya ditampilkan pada perayaan hari besar satuan TNI AL lainnya. Peringatan hari bersejarah ini ditandai dengan penyerahan tanda kehormatan Satya Lencana Kesetiaan 24 Tahun, 16 Tahun, dan 8 Tahun, yang diserahkan oleh Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Yudo Margono kepada tiga perwakilan dari setiap kategori.
Menurut Yudo, anggota Kowal merupakan prajurit istimewa karena bisa mengemban tugas di tengah peran ganda. Selain prajurit jalasena, mereka juga merupakan istri dan ibu dalam rumah tangganya masing-masing. Semua peran itu dijalankan dengan seimbang sehingga tak ada peran yang terabaikan.
”Melalui perjalanan panjang selama 59 tahun, Kowal telah membuktikan komitmen dan konsistensinya bahwa kodrat kewanitaan sama sekali tidak menghalangi hak dan kewajiban untuk mengabdi kepada negara dan bangsa Indonesia. Prajurit Kowal memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan prajurit lainnya,” kata Yudo dalam amanat upacaranya.
Pengabdian perempuan di dunia militer yang maskulin sudah dimulai setidaknya sejak era Perang Kemerdekaan (1945-1949). Mantan KSAL Laksamana (Purn) Siwi Sukma Adji dalam buku ”21 Peran Korps Wanita Angkatan Laut dalam Menghadapi Tantangan Global” menuliskan, di masa revolusi fisik seorang bernama Ny Tuegeh tercatat sebagai anggota Staf Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut Jawa Timur yang berpangkat Letnan Kolonel. Ia juga bagian dari tim Ekspedisi Lintas Laut menuju Sulawesi dengan misi menyampaikan berita kemerdekaan Republik Indonesia kepada masyarakat di luar Jawa.
Anggota Kowal merupakan prajurit istimewa karena bisa mengemban tugas di tengah peran ganda. Selain prajurit jalasena, mereka juga merupakan istri dan ibu dalam rumah tangganya masing-masing. Semua peran itu dijalankan dengan seimbang sehingga tak ada peran yang terabaikan.
Setelah melewati revolusi fisik dan mendapatkan pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar pada 1949, Indonesia berkesempatan membangun diri menjadi AL yang modern. Penyempurnaan organisasi pun terus dilakukan, salah satunya dengan ide pembentukan Korps Wanita Angkatan Laut yang dicetuskan Komodor Yos Sudarso pada awal 1960-an. Korps ini dinilai penting karena kebutuhan perempuan dalam kedinasan Angkatan Laut kian terasa. Ada beberapa bidang tugas yang dinilai lebih tepat untuk dikerjakan oleh perempuan sesuai dengan ”kodratnya”.
Semangat kesetaraan juga berembus seiring dengan dinamika sesama organisasi angkatan bersenjata, baik di luar maupun dalam negeri. Amerika Serikat, contohnya, membentuk Komando Cadangan Wanita untuk Angkatan Laut atau Women Accepted for Volunteer Emergency Service (WAVES), serta Korps Tentara Wanita Angkatan Darat atau Women’s Army Corps (WAC) pada masa Perang Dunia II. Di dalam negeri, kepolisian pun telah lebih dulu membentuk Korps Polisi Wanita (Polwan) pada 1948, juga Angkatan Darat yang mendirikan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) pada 1960.
Ide pembentukan Kowal mendapatkan respons positif dari para tokoh ALRI. Namun, anggota korps diminta tidak bertugas di bidang tempur. Pada 1962, Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata merealisasikannya dengan menerbitkan Surat Keputusan Men/Pangal No:5401.24 tanggal 26 Juni 1962 tentang Pembentukan Kowal.
TNI AL kemudian merekrut calon anggota dari kalangan mahasiswa. Ada 12 orang yang lolos seleksi dan pendidikan militer hingga menjadi perwira. Mereka dilantik oleh Laksamana RE Martadinata di Mabesal Jalan Gunung Sahari 67, Jakarta, 5 Januari 1963, yang ditetapkan sebagai hari jadi Kowal.
Buletin Info Historia Edisi Khusus HUT Ke-73 TNI AL, yang diterbitkan Dinas Penerangan TNI A, 2018, menyebutkan, tugas pertama 12 perwira Kowal itu adalah mengikuti upacara upacara serah terima kekuasaan di Irian Barat, dari Otoritas Peralihan Pemerintahan PBB (United Nations Temporary Executive Authority/UNTEA) kepada pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963 di Hollandia, sekarang Jayapura. Letnan (W) Lousie E Coldenhoff, salah satu perwira, dipilih Presiden Soekarno untuk menjadi pengibar bendera Merah Putih setelah bendera PBB dan Belanda diturunkan.
Baca Juga: Irian Barat, Bagian Tidak Terpisahkan dari NKRI
Sepulang dari Irian Barat, mereka melanjutkan pendidikan ke Maryland, Amerika Serikat (AS), untuk mempelajari organisasi WAVES, bahasa Inggris, dan manajemen. Pengetahuan dan pengalaman itu diperlukan untuk menjalani tugas baru sebagai tenaga perekrut sekaligus pendidik dan pembina calon anggota Kowal di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) Cipulir, Jakarta.
Peran domestik
Sejalan dengan tujuan awal pembentukannya, para anggota yang direkrut selanjutnya ditempatkan pada tugas administrasi, pendidikan, kesehatan, operator radio, atau kontrol lalu lintas udara. Tidak ada prajurit Kowal yang bertugas di bagian tempur. Mereka sebatas berkutat dalam ranah domestik dunia militer.
Gagasan mendobrak hal itu pernah muncul satu dekade setelah Kowal berdiri. Dalam peringatan HUT Ke-10 Kowal, KSAL Laksamana Soedomo mengungkapkan kemungkinan penempatan Kowal di kapal perang. Mulai jadi menjadi telegrafis, juru radar, hingga komando sentral. Sejumlah posisi itu layak diisi Kowal karena perempuan dinilai lebih teliti ketimbang laki-laki. Akan tetapi, pemberian jabatan itu harus memperhatikan keserasian dengan sifat-sifat kewanitaan (Kompas, 6/1/1973).
Namun, gagasan tersebut tidak pernah terwujud hingga masa jabatan Soedomo habis. Pada 1976, di bawah kepemimpinan KSAL Laksamana Subiyakto, anggota Kowal justru dilarang untuk bertugas di kapal-kapal, kecuali kapal rumah sakit. Subiyakto mengklaim, kebijakan itu didasarkan pada adat ketimuran dan kodrat kewanitaan. Meski demikian, anggota Kowal memiliki kesempatan yang sama dengan prajurit laki-laki untuk menduduki jabatan di tingkat pelaksana maupun perencana kebijakan (Kompas, 6/1/1976).
Hampir tiga dasawarsa kondisi itu tak berubah. Hingga pada 2015, ide untuk menempatkan Kowal dalam kapal perang kembali muncul. KSAL Laksamana Madya Ade Supandi dalam upacara HUT Ke-52 Kowal mengatakan, Kowal bisa ditempatkan di kapal-kapal fregat seperti diterapkan Angkatan Laut di luar negeri (Kompas, 14/1/2015).
Pada 2015, tiga prajurit Kowal diikutsertakan dalam misi pencarian Pesawat Air Asia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah menggunakan KRI Banda Aceh. Akan tetapi, tugas utama mereka adalah menerima tamu. Sebab, KRI itu dirancang khusus untuk perwira militer atau pejabat negara yang ingin ikut berlayar.
Butuh waktu
Hingga saat ini, belum banyak perubahan dalam peran Kowal di TNI AL. Meski penugasan sudah meluas ke Mabesal, Komando Utama (Kotama), KRI, maupun pangkalan TNI AL, mayoritas masih berperan di bidang administrasi dan protokoler. Dari sekitar 3.000-an anggota Kowal aktif pun, baru dua prajurit yang bisa menjadi perwira tinggi. Mereka adalah Kepala Dinas Psikologi TNI AL Laksamana Pertama Wiwin Dwi Handayani dan Kepala Kelompok Staf Ahli Koarmada I Laksamana Pertama TNI Tresna Kusumawati.
Yudo mengakui, hal itu salah satunya disebabkan aturan internal. Untuk menduduki posisi Komandan Pangkalan Utama TNI AL, misalnya, prajurit sebelumnya harus menjadi pelaut atau Marinir. Padahal, Kowal direkrut sebagai prajurit karier yang tidak berhubungan dengan bidang-bidang tersebut.
TNI AL baru merekrut taruni Akademi Angkatan Laut (AAL) pada 2013 sehingga jumlah lulusannya masih sedikit. ”Pangkat tertingginya itu pun sekarang baru lettu (letnan satu) sehingga untuk disiapkan menjadi pemimpin butuh waktu yang lama. Masih lama untuk menduduki jabatan-jabatan strategis,” kata Yudo.
Oleh karena itu, TNI AL kini membangun Korps Pelaut yang bisa diikuti anggota Kowal. Kesempatan untuk menjadi prajurit tempur pun terbuka jika memenuhi kompetensi yang disyaratkan. ”Ini akan menjadi evaluasi bagi saya. Saya juga melihat bahwa sangat minim Kowal yang menjadi laksamana. Ke depan mudah-mudahan bisa kita tingkatkan lagi, tentunya melalui uji kompetensi karena tidak mudah untuk itu,” tutur Yudo.
Laksma Wiwin Dwi Handayani mengakui, budaya partiarki masih kuat di lingkungan militer. Kodrat perempuan seperti hamil, melahirkan, dan menyusui sering dianggap hambatan dalam bertugas. Padahal, semua itu bisa disiasati untuk tetap bekerja secara profesional. ”Itu jadi tergantung bagaimana kita menyikapinya,” ujarnya.
Secara institusi, menurut Wiwin, TNI AL sudah mulai membuka kesempatan bagi anggota Kowal menempati posisi strategis. Mereka pun bisa berperan sesuai dengan keahliannya di tengah tantangan pertahanan dan ketahanan bangsa dalam konteks kekinian. Contohnya, selama ini dia terlibat dalam misi kemanusiaan memberikan pendampingan psikologis pada pasien Covid-19 baik di RSDC Wisma Atlet maupun rumah sakit lapangan yang dibuat TNI.
Sejumlah kebijakan yang berpihak pada prajurit perempuan merupakan harapan terwujudnya kesetaraan di dunia militer. Namun, perjalanan bagi anggota Kowal untuk meraih peran komandonya masih panjang dan penuh tantangan dari berbagai aspek. Ibarat menelusuri lorong panjang yang belum terlihat di mana ujungnya.