Komunikasi dan Demokrasi di Pundak Jokowi-Ma’ruf Amin
Sepanjang 2021, saat pandemi, tak banyak yang berubah dalam komunikasi dan kebebasan sipil yang dibangun pemerintah Presiden Jokowi-Wapres Amin. Harapannya, tahun 2022 ini, reaksi represif semestinya dihilangkan segera.

Mural dan tulisan yang menyindir perilaku pejabat yang senang membuat janji, tetapi sering ingkar, menghiasi tembok di Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten, Rabu (8/4/2020). Tembok menjadi sarana bagi sebagian masyarakat dalam mengungkapkan aspirasi ataupun kritik terhadap kondisi politik dan sosial kemasyarakatan.
Tahun 2022 segera datang. Ketidakpastian masih membayang, apalagi dengan kehadiran virus SARS-COV-2 varian Omicron. Pandemi Covid-19 yang membatasi komunikasi bisa semakin memperparah demokrasi di Indonesia.
Sepanjang 2021, tak banyak yang berubah dalam komunikasi ataupun kebebasan sipil yang dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Komunikasi Presiden-Wapres dengan masyarakat tentu masih sangat terbatas karena protokol kesehatan tetap perlu dipatuhi. Pertemuan-pertemuan di Istana pun masih dibatasi kendati bisa dilakukan dengan partisi akrilik yang menyekat Presiden dengan tamu-tamunya.
Kunjungan kerja memang tampak lebih aktif. Terkadang, Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke daerah dua kali dalam satu pekan. Kunjungan tersebut masih tanpa membawa jurnalis.
Kunjungan kerja tentu bukan hanya untuk melihat perkembangan pembangunan, tetapi sembari menyerap aspirasi masyarakat. Sayangnya, beberapa kritik dan aspirasi kepada pemerintahan Jokowi-Amin ditanggapi represi oleh aparat ataupun intimidasi di media sosial oleh para buzzer. Presiden Jokowi dan Wapres Amin umumnya relatif kalem menanggapi beragam kritik tersebut. Adakalanya juga mereka menanggapi meski tidak secara langsung.
Kritik terhadap ”Jokowi the King of Lip Service” dan ”Ma’ruf Amin the King of Silence”, misalnya, muncul melalui media sosial Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia pertengahan 2021. Kritik ini disampaikan untuk kebijakan Presiden yang dinilai lemah meskipun sebenarnya pemerintah sudah menjalankan secara optimal. Kritik tersebut seperti penanganan pandemi Covid-19, biaya pendidikan yang mahal, utang luar negeri yang membengkak, penuntasan kasus hak asasi manusia yang mangkrak, konflik agraria yang tak kunjung rampung, dan demokrasi yang terus melemah.
Kritik ini disampaikan untuk kebijakan Presiden yang dinilai lemah meskipun sebenarnya pemerintah sudah menjalankan secara optimal. Kritik tersebut seperti penanganan pandemi Covid-19, biaya pendidikan yang mahal, utang luar negeri yang membengkak, penuntasan kasus hak asasi manusia yang mangkrak, konflik agraria yang tak kunjung rampung, dan demokrasi yang terus melemah.
Sementara Wapres Amin dinilai tak mampu mengisi kekosongan peran yang ditunaikan oleh dirinya sendiri dan Presiden di masa pandemi. Eksistensinya di muka publik seakan tidak ada meskipun tugas yang dijalankan Wapres sehari-hari setumpuk, mulai dari yang konstitusional hingga penugasan khusus dari Presiden.
Baca juga : Menilik Kembali Gaya Komunikasi Politik Presiden Jokowi

Tulisan respons terhadap maraknya penghapusan mural bernada kritik terhadap kebijakan pemerintah menghiasi tembok di Larangan, Kota Tangerang, Banten, Minggu (5/12/2021). Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pejabat publik tidak boleh membungkam kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah selama tidak mengganggu stabilitas keamanan ataupun meresahkan masyarakat.
Teguran Presiden
Menanggapi kritik tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, kritik kepada dirinya boleh saja disampaikan dalam negeri demokrasi. Universitas tidak perlu menghalangi ekspresi mahasiswa. Kendati demikian, Presiden juga mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki tata krama dan sopan santun ketika menyampaikan aspirasi.
Juru Bicara Presiden saat itu, Fadjroel Rachman, menegaskan, tak pernah ada perintah khusus dari Presiden Jokowi untuk merepresi pengunggah kritik tersebut. Semua diserahkan kepada kampus untuk membimbing mahasiswanya. Justru aparat di bawah yang bersikap berlebihan menanggapi kritik terhadap Presiden dan Wapres. Namun, tak ayal serangan pada media sosial para pengunggah terjadi. Setidaknya, akun-akun BEM UI di media sosial sempat tak bisa diakses.
Pembuat mural bernada kritik di Kota Tangerang, Banten, Agustus lalu juga mengalami represi. Aparat segera mencoret mural dengan cat warna gelap dan kemudian menghapus semua dengan dalih keindahan lingkungan kota.
Mural tersebut bergambar wajah mirip Presiden Jokowi yang di bagian matanya tertutup tulisan ”404: Not Found”. Polisi sempat mencari pembuat mural tersebut. ”Memang, kritik sangat dianjurkan dalam negeri demokrasi, hanya tata caranya yang elegan, tidak pribadi, apalagi bersifat kriminal,” ujar staf Presiden sambil menyeruput kopi saat yang menceritakan sikap Presiden yang tidak mau menanggapi secara hukum para pengkritiknya yang sering kebablasan.
Terhadap Suroto, peternak ayam yang membentangkan poster bertuliskan ”Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar” ke arah Presiden Jokowi yang sedang melakukan kunjungan kerja di Blitar, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021), Presiden justru meminta staf khusus Presiden mencari tahu kenapa ada protes dari peternak. Tentu, aparat yang berlebihan pun menangkap dan menginterogasi atas nama hukum polisi kendati hanya untuk mengetahui latar belakang Suroto.
Kejadian ini sempat viral. Satu pekan setelah peristiwa tersebut, Presiden Jokowi justru mengundang Suroto bersama perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur ke Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aspirasi pun tersampaikan. Presiden mengapresiasi Suroto dan berusaha mengatasi masalah peternak ayam, bahkan menggelar rapat terbatas khusus membahas harga jagung.
Penangkapan Suroto berulang dengan penangkapan sepuluh mahasiswa yang membentangkan poster saat kunjungan Presiden ke Universitas Sebelas Maret, Surakarta, sepekan setelahnya, Senin (13/9/2021). Poster tersebut, antara lain, bertulisan ”Pak, Tolong Benahi KPK” dan ”Pak, Tolong Dukung Petani Lokal”. Kendati akhirnya para mahasiswa itu dibebaskan, aksi represi sangat berlebihan dan memberangus kebebasan masyarakat menyampaikan pendapat.
Presiden Jokowi pun memberikan teguran keras kepada jajaran Kepolisian Negara RI. Dalam pengarahan kepada Kepala Kesatuan Wilayah (Kasatwil) Tahun 2021 di Candi Ballroom, Hotel The Apurva Kempinski, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (3/12/2021), Presiden meminta kepolisian menanggapi kritik dengan pendekatan persuasif dan dialogis, tidak sedikit-sedikit langsung menangkap.

Sebuah mural stensil berisi kritik terhadap kasus pencatutan nama Presiden atas kontrak Freeport oleh Ketua DPR Setya Novanto digambar di dinding tepi Jalan Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/11/2015). Selain memicu polemik di tataran politik pemerintahan, kasus tersebut juga menjadi perhatian masyarakat. Hal itu tertuang dalam seni mural yang juga menjadi bentuk pembelajaran sikap kritis di kalangan masyarakat.
Presiden yang saat itu didampingi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengingatkan, kepuasan publik di bidang hukum menurun pada tahun 2021. Diingatkan pula adanya kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia.
Ada beberapa presiden yang pernah diprotes di jalan, Kompas menyaksikan justru pemrotes ditangkap dan tidak diundang ke Istana. Malah, ada presiden yang alergi didemo, dan meminta aparat mengalihkan para demonstran dan rute perjalanannya agar tidak bertemu dengan para pendemo.
Tak banyak memang pemimpim yang diprotes di jalan dan kemudian mengundang pemrotesnya ke Istana. Catatan Kompas, selain Presiden Jokowi, juga Wapres Jusuf Kalla, saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terang-terang didemo di depan kantornya di kompleks Istana Wapres. Saat petani gula melakukan protes di depan Istana Wapres, dan membuang gulanya di jalan, kemudian Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) segera menangkapnya, Wapres Kalla justru memanggilnya saat itu ke Istana. Para petani gula diajak berdialog. Ada beberapa presiden yang pernah diprotes di jalan, Kompas menyaksikan justru para pemrotes ditangkap dan tidak diundang ke Istana. Malah, ada presiden yang alergi didemo dan meminta aparat mengalihkan para demonstran dan rute perjalanannya agar tidak bertemu dengan para pendemo.
Perlu diperkuat
Apa pun, komunikasi antarjajaran kementerian/lembaga dan Presiden Jokowi-Wapres Amin memang perlu diperkuat. Dengan demikian, harapan Presiden untuk menangkap banyak aspirasi masyarakat saat turun ke daerah tak menjadi blunder.

Dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Tengah, Selasa (14/12/2021), Presiden Joko Widodo berdialog dengan para petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung. Para petani mengeluhkan soal masuknya bawang putih impor saat panen bawang putih. Harga bawang putih lokal pun melorot dan petani enggan menanam bawang putih.
Komunikasi Presiden Jokowi-Wapres Amin dengan masyarakat, termasuk melalui media massa, juga sebaiknya kembali dikuatkan pada 2022. Sepanjang 2021, nbaik komunikasi Presiden Jokowi maupun Wapres Amin relatif searah.
Presiden hanya memberikan keterangan-keterangan yang umumnya sudah direkam. Tak ada peluang wartawan untuk menanyakan, apalagi mempertanyakan, alasan suatu kebijakan diambil. Keterangan pers para menteri seusai rapat terbatas pun baru membuka ruang untuk pertanyaan akhir-akhir ini saja.
Sementara Wapres Amin sedikit lebih komunikatif. Dalam beberapa keterangan pers secara virtual, wartawan masih mendapat ruang untuk bertanya kendati pertanyaan dikumpulkan terlebih dahulu.
Di beberapa kunjungan kerja, jajaran Sekretariat Presiden menghadirkan beberapa warga setempat yang berkaitan dengan pembangunan yang dilakukan. Dalam peresmian bendungan, misalnya, Presiden bisa bertemu dengan para petani yang lahannya akan mendapat air irigasi. Masukan warga diharap bisa tersampaikan melalui beberapa perwakilan ini.
Warisan Orde Baru
Thomas Power dan Eve Warburton dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? menunjukkan, tanda-tanda kemunduran demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak periode pertama Presiden Jokowi. Namun, tulis Power, pandemi Covid-19 membuat pemerintahan di Indonesia semakin memperjelas kebijakan yang semakin mempersempit demokrasi. Hal serupa juga terjadi di negara-negara dengan demokrasi rentan dan menurun.
Hal serupa juga terjadi di negara-negara dengan demokrasi rentan dan menurun.
Sementara peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Syarif Hidayat, lebih melihat semua ini akibat proses transisi dari otoritarianisme Orde Baru yang tidak terkelola baik sejak masa Reformasi. Reformasi tetap ditunggangi elite-elite dengan kepentingannya. Akibatnya, terbentuk oligarki partai politik dan oligarki kapitalis yang berkelindan dan membelenggu demokrasi Indonesia.
Namun, Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana beberapa waktu lalu pernah menyatakan kepada Kompas bahwa banyak pengamat keliru, termasuk pengamat asing, yang melihat seolah-olah kerusakan demokrasi sekarang justru dilakukan oleh Presiden Jokowi. Padahal, kerusakan itu sudah lama terjadi, jauh sebelum Presiden Jokowi memimpin.
Baca juga : Membenahi Komunikasi Pandemi
Staf khusus Presiden lain yang tidak mau disebutkan namanya juga menyatakan, ”Jangan lupa, Presiden Jokowi itu Presiden ketujuh RI yang hanya meneruskan jalannya pemerintahan sebelumnya. Jadi, Presiden Jokowi itu mewarisi kerusakan demokrasi yang ada sekarang. Represif itu sudah terjadi sejak zaman Presiden sebelumnya.”

Wakil Presiden Ma’ruf Amin berdialog dengan para dai kesehatan di Bazaar Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (20/2/2020). Dalam dialog ini, salah seorang dai menanyakan cara memotivasi warga untuk mengimunisasi anaknya. Wapres pun menegaskan, perlu dijelaskan bahaya tidak mengimunisasi anak. Selain itu, MUI sudah menerbitkan fatwa yang membolehkan imunisasi.
Biarkan Presiden dan Wapres berkonsentrasi menyelesaikan mandatnya untuk menyejahterakan masyarakat dengan gaya komunikasinya seperti dulu bertemu dan berdialog dengan rakyat. Reaksi represif aparat tentu perlu dihilangkan disertai dengan penegakan hukum yang adil. Tugas para juru bicara, staf, hingga menteri, sekali lagi, yang perlu menyampaikan komunikasi dua arah agar tidak terputus dan terjadi kesenjangan.
Kini, memang membongkar belenggu ini, Presiden Jokowi dan Wapres Amin sesungguhnya bisa membuka komunikasi yang lebih baik lagi, terutama di kalangan staf sampai menteri terkait. Biarkan Presiden dan Wapres berkonsentrasi menyelesaiakan mandatnya untuk menyejahterakan masyarakat dengan gaya komunikasinya seperti dulu bertemu dan berdialog dengan rakyat. Reaksi represif aparat tentu perlu dihilangkan disertai dengan penegakan hukum yang adil. Tugas para juru bicara, staf, hingga menteri, sekali lagi, yang perlu menyampaikan komunikasi dua arah agar tidak terputus dan terjadi kesenjangan.
Upaya tersebut tentu akan mendapat dukungan masyarakat. Sebab, survei Charta Politika Indonesia sepanjang 29 November-6 Desember 2021 kepada 1.200 responden dengan batas kesalahan 2,83 persen mendapati 60,8 persen responden menilai kondisi praktik demokrasi masih baik dan 4,1 persen bahkan menilai sangat baik. Hanya 30,6 persen yang menilai buruk dan 2,0 persen menilai sangat buruk, sedangkan 2,6 persen tidak menjawab atau mengatakan tidak tahu.
Hal ini bisa menjadi modal untuk memulai 2022 dengan lebih baik lagi. Kendati demikian, 2022 belum tentu akan lebih mudah mengingat tantangan pada tahun politik dan kondisi aparat yang masih mewarisi represi peninggalan Orde Baru.