Dalam sejarahnya, kekuasaan sering kali menggunakan bahasa sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Orde Baru menggunakan bahasa, terutama dalam perundang-undangan, untuk mengendalikan stabilitas politik dan ekonomi.
Oleh
susana rita
·4 menit baca
Bahasa dan kata-kata memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap hukum, baik dalam praktik pembuatan hukum atau legislasi maupun dalam konteks penegakannya. Kondisi ini penting untuk disadari sehingga kesalahan-kesalahan dalam penggunaannya dapat diminimalkan.
Apalagi pemilihan bahasa dan kata-kata yang salah berdampak serius, seperti merusak demokrasi dan menimbulkan penindasan yang sebenarnya tidak pernah dipikirkan oleh pembuat undang-undang.
Pendiri sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Arief T Surowidjojo, dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring, Selasa (7/12/2021), mengungkapkan, selain di bidang legislasi dan hukum perjanjian, bahasa juga memengaruhi penegakan hukum. Banyak perkara pidana yang muncul karena penggunaan bahasa, kalimat dan kata-kata, di ruang publik yang dinilai melanggar hak orang lain.
”Karena perumusan peraturan perundang-undangan yang tidak tepat, misalnya, seseorang yang menggunakan kata-kata menghina dan merendahkan orang lain dapat dengan mudah dituntut dan dipenjara. Begitu kuatnya pengaruh bahasa dan kata-kata,” ujarnya.
Pemilihan bahasa dan kata-kata yang salah juga bisa merusak demokrasi dan menimbulkan penindasan. Ia mencontohkan tentang banyaknya masyarakat yang kemudian harus berhadapan dengan proses hukum karena melontarkan kata-kata yang sebenarnya merupakan bagian dari hak untuk menyatakan pendapat yang dijamin undang-undang. Padahal, tanpa mens rea, penegak hukum seharusnya menghargai kata-kata dan pendapat itu sebagai hak asasi warga negara.
”Kenyataannya tidak demikian. Apalagi kalau yang dihadapi adalah penguasa yang pandai memanipulasi hukum,” ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang juga menegaskan pentingnya persoalan bahasa dalam hukum. Ia menemukan banyak contoh di mana bahasa itu dipelintir. Misalnya dalam kasus penghinaan terhadap individu tertentu yang kemudian dianggap sebagai suatu ujaran kebencian atau hate speech.
Padahal, hate speech, menurut Kovenan Hak Sipil dan Politik, adalah segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan yang dilarang oleh hukum.
Bahasa sebagai alat
Pengajar Ilmu Perundang-undangan STHI Jentera, Rival Ahmad, mengungkapkan pentingnya untuk melihat teks hukum tak semata-mata dalam pendekatan hukum, tetapi juga pendekatan interdisiplin (legal semiotic). Sebab, pada dasarnya, bahasa dan kekuasaan memiliki hubungan sangat erat.
Dalam sejarahnya, kekuasaan sering kali menggunakan bahasa sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan atau melakukan aksi-aksi kuasa. Bahasa perundang-undangan secara sistematis digunakan untuk mengubah cara-cara pandang masyarakat melihat negara dan bagaimana tatanan Orde Baru dikembangkan.
Misalnya, Orde Baru menggunakan bahasa, terutama di dalam perundang-undangan, untuk mengendalikan dan mempertahankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Sejak awal, perundang-undangan di Indonesia dibuat sebagai alat untuk melakukan social engineering atau perubahan kemasyarakatan
”Di zaman Orde Baru, bahasa digunakan secara serius dalam perundang-undangan. Dalam artian bukan hanya secara teknis dia efektif, tetapi juga strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu membuat masyarakat Indonesia memiliki imajinasi tentang apa yang disebut sebagai Orde Baru itu,” ujarnya.
Bahasa yang digunakan di masa Orde Lama kemudian dihilangkan. Istilah-istilah yang digunakan di masa sebelum tahun 1965, menurut dia, misalnya sosialisme Indonesia, manipol usdek, termasuk juga ejaan lama dihilangkan dan diganti ejaan baru yang disempurnakan.
Hampir senada dengan Rival, pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Zulfa Sakhiyya, mengungkap tentang standardisasi bahasa pada masa Orde Baru. Pada era itu, ada penekanan untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk kepentingan kerapian estetis, melainkan lebih untuk membentuk kultur.
Sering kali diucapkan pada masa itu bahwa ketertiban bahasa adalah kunci pembangunan. Orde Baru dinilai memiliki konsistensi menjalankan strategi politik dalam berbahasa. ”Bahasa jadi tidak netral. Beberapa kata dilarang. Misalnya, buruh dari kata labor dalam bahasa Inggris menjadi karyawan. Proletar menjadi miskin, Manifesto dihapus, padahal manifesto merujuk pada kebijakan,” ujarnya.
Lantas bagaimana penggunaan bahasa di masa reformasi? Di masa reformasi, Rival Ahmad mencermati bahwa bahasa juga digunakan sebagai teknologi kekuasaan dan secara sengaja ”digunakan” dalam perundang-undangan. Ia menyoroti penggunaan bahasa di dalam proses legislasi.
Di antaranya, mengenai kata-kata yang hilang atau dikaburkan dalam proses legislasi, tetapi pada kemudian muncul dalam aturan turunan atau dalam praktik pelaksanaan aturan terkait. Ada sesuatu yang dirahasiakan selama proses legislasi, tetapi kemudian muncul di masa berikutnya yang ternyata memiliki dampak yang eksesif.
Selain itu, menurut dia, ada pula praktik penggunaan bahasa yang sebenarnya merujuk pada suatu hal, tetapi yang dikomunikasikan ke publik adalah hal lain. Dalam konteks ini, ia mencontohkan pembuatan UU Cipta Kerja. ”Sebetulnya undang-undang itu untuk investor, misalnya, tetapi bilangnya untuk membuka lapangan kerja. Jadi kayak ada sesuatu yang hilang dan tidak ditemukan secara langsung,” ujarnya.
Pengajar Bahasa Indonesia STHI Jentera, Anwari Matari, mengungkapkan pentingnya lembaga khusus yang secara intensif membangun bahasa Indonesia di bidang hukum. Hal tersebut penting mengingat dalam hukum, bahasa adalah yang utama, seperti diungkapkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1984-1990 Margono Reksodiputro.