Di peringatan 100 tahun kelahiran Kapolri (1968-1971) Hoegeng Iman Santoso yang jatuh pada 14 Oktober lalu, sejumlah tokoh berharap keteladanan Hoegeng tetap hidup di masyarakat, khususnya polisi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memperingati 100 tahun kelahiran Hoegeng Iman Santoso, sejumlah tokoh menyampaikan kenangan ataupun kesan terhadap Kepala Polri yang menjabat pada periode 1968-1971 tersebut. Nilai-nilai yang dihidupi Hoegeng semasa hidupnya, seperti kejujuran dan kesederhanaan, diharapkan diteladani masyarakat, khususnya anggota kepolisian.
Hal itu disampaikan dalam acara peluncuran buku Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan yang ditulis Farouk Arnaz, Minggu (7/11/2021). Acara tersebut dihadiri secara luring dan daring oleh sejumlah pejabat utama Polri, tokoh politik, juga keluarga besar Hoegeng.
Hoegeng Iman Santoso lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Hoegeng pernah menjabat Kapolri kelima dan menjabat mulai 1968 sampai 1971. Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004.
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, yang memberikan pernyataan secara daring, mengatakan, Hoegeng adalah Kapolri terbaik sejak Indonesia merdeka. Bagi Megawati, Hoegeng adalah sosok Kapolri yang sangat merakyat.
Megawati mengenang, semasa kuliah, ketika hendak menuju kampus Universitas Indonesia dengan menyetir mobil, ia bersimpangan dengan Hoegeng di jalan yang saat itu sedang bersepeda.
”Jadi, kita minggir dulu. Saya tanya, Om, mau ke mana? (Dijawab) Mau ke kantor. Malu-maluin, masak Kapolri naik sepeda. (Dijawab) Ya Biar saja, ini, kan, sekalian olahraga,” tutur Megawati.
Berkaca dari situ, Megawati berharap seluruh jajaran kepolisian seperti Hoegeng, yaitu sosok polisi yang berdedikasi. Polisi diharapkan tidak hanya menjalankan tugas rutin belaka atau hanya memikirkan untuk naik pangkat.
Bagi Sidarto Danusubroto, sahabat Hoegeng yang kini menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hoegeng dipercaya Presiden pertama RI Soekarno untuk menduduki jabatan-jabatan yang ”basah”, seperti Direktur Jenderal Imigrasi dan Menteri Iuran Negara, Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet. Namun, jabatan tersebut tidak serta-merta membuat Hoegeng menjadi ”basah” karena kejujuran dan integritasnya.
”Sampai hari ini, saya tidak mudah menemukan keteladanan seperti beliau,” kata Sidarto.
Oleh karena itu, Sidarto berharap agar Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo meneruskan warisan berupa nilai-nilai yang diteladankan Hoegeng bagi jajaran kepolisian. Dari sikap Hoegeng yang diterapkan kepada keluarganya, dapat diteladani nilai integritas dengan tidak memanfaatkan fasilitas negara bagi kepentingan pribadi.
Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan, Hoegeng bukanlah legenda, melainkan fakta sejarah yang dimiliki bangsa ini. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dihidupi Hoegeng, seperti integritas dan kejujuran, mesti diteladani.
Meski tidak pernah bertemu secara langsung, Arief memiliki pandangan pribadi terhadap Hoegeng sebagai polisi yang hebat, berintegritas, dan patut dicontoh. Hal itu tampak dari penanaman nilai-nilai tersebut kepada keluarga Hoegeng yang terus dihidupi hingga saat ini.
Menurut Arief, dari perspektif yang berbeda, ia membayangkan bahwa menjadi anak buah Hoegeng kala itu tentu tidak mudah. Sebab, nilai kejujuran tidak bisa dilakukan tanpa adanya keberanian. Ketika memilih untuk berani jujur, privilese pribadi pun akan dikorbankan. Terkait hal itu, Arief menggambarkan bahwa Hoegeng adalah orang yang bertapa di keramaian. Godaan dalam berbagai bentuk dapat diatasinya.
”Kadang berpikir juga mengenai joke tentang adanya tiga polisi jujur di negeri ini, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Pak Hoegeng. Ini adalah kritik bagi kepolisian dan menyakitkan juga. Tapi, harus kami jadikan motivasi bahwa masih banyak Hoegeng-Hoegeng lain saat ini yang berusaha menegakkan integritasnya,” kata Arief.
Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Roesmanhadi mengaku terkesan dengan sosok Hoegeng ketika membaca mengenai kiprah hidupnya saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Hal itu menginspirasinya ketika mendapat tugas serupa, yakni menjadi Kapolda Sumut.
”Apa yang beliau lakukan di Sumut itu berat. Saya waktu itu ditugaskan Bapak Kapolri untuk menyelesaikan beberapa masalah (di Sumut). Alhamdulilah, dengan mengikuti jejak beliau, saya bisa menjalankannya. Tapi, maaf-maaf, saya tidak bisa mengikuti jejak beliau seluruhnya,” kata Roesmanhadi.
Roesmanhadi pun berpesan kepada jajaran kepolisian sekarang untuk benar-benar dapat menjadi pengayom dan pelindung masyarakat. Nilai-nilai yang diwariskan Hoegeng diharapkan dapat diteladani meski mungkin tidak bisa seluruhnya.
Mantan Wakil Kapolri Komjen (Pur) Nanan Soekarna berpandangan, menanamkan nilai-nilai sebagaimana ditunjukkan Hoegeng ke dalam jiwa anggota Polri bukan hal mudah. Ia menuturkan, ketika ia pernah menginstruksikan jajaran bawahnya untuk mengenakan pin antikorupsi atau anti-KKN, justru kemudian muncul anggapan bahwa KKN diartikan sebagai ’kere karena Nanan’.
Menurut Nanan, saat ini polisi sudah pintar secara kognitif. Maka, yang diperlukan adalah menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran dan integritas kepada mereka. Meski demikian, Nanan juga mengingatkan bahwa calon polisi lahir dari masyarakat. Maka, pendidikan dari orangtua, keluarga, dan masyarakat juga turut menentukan kualitas polisi nantinya.
”Maka, pendidikan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai itu sangat penting. Setiap tahun, 250-300 polisi dipecat dari kepolisian bukan karena intelektualitas, melainkan karena moralitas,” kata Nanan.
Dalam kesempatan itu, istri mendiang Hoegeng, Meriyati Hoegeng, menyampaikan terima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada suaminya tersebut. Meski sang suami telah lama pergi, keteladanannya tetap abadi.