Pemerintah Tepis Dugaan Pengerahan Pasukan Siber untuk Menggiring Opini Publik
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, tidak ada kebijakan menyewa pasukan siber khusus. Semua bekerja dalam kerangka komunikasi kebijakan yang normal dalam pemerintahan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menanggapi temuan riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES bersama dengan sejumlah universitas di dalam dan luar negeri, pemerintah menyatakan tidak memiliki kebijakan untuk menyewa pasukan siber. Komunikasi publik dilaksanakan untuk mencari titik temu antara kebijakan dan aspirasi publik, bukan manipulasi opini.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/11/2021), menepis dugaan adanya pengerahan pasukan siber oleh pemerintah untuk menggiring opini masyarakat terkait sejumlah kebijakan publik. Setiap kementerian atau lembaga, kata dia, memiliki bagian yang bertanggung jawab atas komunikasi publik. Mereka mengomunikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah agar dapat dipahami publik dengan baik.
”Tidak ada kebijakan menyewa pasukan siber khusus. Semua bekerja dalam kerangka komunikasi kebijakan yang normal dalam pemerintahan,” ujarnya, Selasa (2/11/2021).
Ia menambahkan, pemerintah berkepentingan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Itu juga merupakan esensi dari tugas komunikasi publik yang dilaksanakan oleh setiap kementerian dan lembaga. Dukungan publik atas kebijakan pemerintah harus dilihat sebagai titik temu antara kebijakan dan aspirasi publik. Cara seperti itulah yang baik dalam membangun demokrasi.
Hal serupa juga dikatakan oleh Deputi IV KSP Juri Ardiantoro sebelumnya. Ia menyatakan tidak tahu-menahu adanya tim komunikasi yang bertugas mengarahkan isu di media sosial. ”Tim komunikasi seperti biasa, (tugasnya) mengabarkan saja,” ujarnya (Kompas, 2/11/2021).
Dugaan pengerahan pasukan siber untuk menggiring opini publik terhadap kebijakan pemerintah terkuak melalui penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah; Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta; perusahaan analisis data Drone Emprit; University of Amsterdam; dan KITLV Leiden yang sebagian telah dipublikasikan pada pertengahan Oktober 2021. Setelah dipublikasikan, penelitian itu juga didiskusikan lebih mendalam secara daring pada Senin (1/11/2021).
Penelitian menemukan bahwa pasukan siber (cyber troops) berperan dalam memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah. Contohnya, terkait dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) 2019, kebijakan normal baru menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, dan UU Cipta Kerja pada 2020.
Adapun yang dimaksud dengan pasukan siber adalah jaringan yang terdiri dari pendengung (buzzer), konten kreator, koordinator, dan pemengaruh yang bekerja sama untuk mengorkestrasi penggiringan opini di media sosial melalui propaganda komputasi. Mereka berada dalam struktur yang cair, bekerja secara terpisah, dan tidak selalu saling mengenal satu sama lain. Jejaring itu tidak selamanya menetap, mereka hanya dipersatukan oleh kesamaan narasi yang tengah diusung.
Jejaring ini terbentuk dari tradisi pembentukan tim sukses atau sukarelawan pemenangan calon kepala daerah pada Pilkada 2012. Kemudian berlanjut pada Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Meski semula hanya berkiprah pada ajang elektoral, mulai 2019 pasukan siber juga berperan dalam menggiring opini terkait kebijakan pemerintah, di antaranya revisi UU KPK, kebijakan normal baru, dan UU Cipta Kerja.
Pasukan siber dan propaganda komputasi di Indonesia sudah dimulai sejak 2012, penggerak utamanya adalah peristiwa politik.
Berdasarkan wawancara para peneliti dengan 78 orang yang masuk dalam kategori pendengung, konten kreator, koordinator, dan pemengaruh, aktivitas mereka didanai oleh elite politik, pengusaha, bahkan pemerintah dengan menggunakan anggaran negara. Dengan pendanaan tersebut, mereka dapat menyebarkan informasi sesuai narasi yang sedang diusung dalam jumlah besar dan secara terus menerus. Akibatnya, publik yang terpapar bisa meyakini informasi tersebut meski kadang yang disebarkan oleh pasukan siber adalah informasi yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Profesor antropologi politik komparatif di University of Amsterdam yang juga peneliti senior di KITLV, Leiden, Ward Berenschot, yang tergabung dalam tim peneliti, mengatakan, penggunaan pasukan siber ini berisiko bagi demokrasi. Sebab, peran mereka yang kerap menyebarkan isu yang tidak substansial dapat melemahkan debat publik. Propaganda yang masif di media sosial juga menimbulkan kerancuan bagi masyarakat sehingga sulit untuk memastikan kebenaran informasi. Keberadaan pasukan siber yang memperkuat posisi elite juga akan memperlebar kesenjangan politik.
Industrialisasi disinformasi
Pendiri Drone Emprit, yang juga bagian dari tim peneliti, Ismail Fahmi, mengatakan, pasukan siber dan propaganda komputasi di Indonesia sudah dimulai sejak 2012, penggerak utamanya adalah peristiwa politik. Namun, setelah Pilpres 2014, polarisasi masyarakat semakin besar, banyak pasukan siber baru, dan teknik propaganda komputasi pun semakin baik. Fenomena ini sejalan dengan tren pasukan siber di lingkup internasional yang masih terus naik karena ada permintaan atas jasa mereka.
Merujuk penelitian Oxford Internet Institute, University of Oxford, Inggris, Ismail menambahkan, pengerahan pasukan siber untuk menyebarkan disinformasi justru sudah masuk ke tahap industrialisasi. Jumlah negara yang terbukti memiliki perusahaan yang bergerak di bidang manipulasi propaganda di media sosial dari tahun ke tahun terus meningkat. Mulai dari tujuh negara pada 2017, 21 negara pada 2018, 25 negara pada 2019, dan melonjak menjadi 48 negara pada 2020.
”Di masa depan, pasukan siber dan propaganda komputasi kemungkinan masih akan digunakan dengan teknik dan platform yang lebih baik,” kata Ismail. Untuk menghadapi situasi itu, peran media arus utama dalam menjernihkan informasi menjadi kian penting. Sayangnya, saat ini media justru kerap ikut mendengungkan narasi yang digiring oleh pasukan siber.