Menempatkan Ajaran Islam dalam Konteks Hadapi Tantangan Zaman
Wapres Amin pada pembukaan AICIS 2021 mengingatkan, pandemi Covid-19 dan dampaknya membuat syariah Islam perlu dikontekskan kembali untuk memastikan tujuan membangun kemaslahatan agama dan dunia berlangsung simultan.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan zaman, termasuk pandemi Covid-19, membawa tantangan dan masalahnya sendiri kepada umat manusia. Ajaran Islam juga perlu dikontekskan dengan kondisi zaman sehingga mampu membawa kebaikan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya pada pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) tahun 2021 mengingatkan, pandemi Covid-19 yang menyerang hampir semua negara di dunia membawa dampak yang multidimensi. Syariah Islam pun dikontekskan kembali untuk memastikan tujuan membangun kemaslahatan secara agama dan dunia berlangsung simultan.
Untuk itulah, kata Wapres Amin, fikih Islam dapat memberikan solusi dan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan seluruh dampaknya. Dicontohkan, para ulama di hampir semua negara yang berpenduduk Muslim melakukan telaah ulang terhadap pandangan keagamaannya. Panduan untuk beribadah di tengah pandemi, baik untuk tenaga medis, para penderita, maupun umat Islam pada umumnya, disusun ulang. Demikian pula tata cara pemulasaraan jenazah, terutama pasien Covid-19.
”Penanggulangan Covid-19 bukan semata-mata masalah kesehatan, tetapi termasuk bagian penting dari persoalan agama,” tambah Wapres Amin.
Para wali songo menyajikan Islam bukan sebagai ideologi supremasi atau kendaraan penaklukan, melainkan sebagai salah satu dari banyak jalan yang bisa dipilih manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya menambahkan, rekontekstualisasi ajaran Islam sangat perlu dan bukan pertama kali dilakukan. Di Indonesia, para wali songo menekankan hal ini, menyesuaikan ajaran dengan ruang dan waktu tanpa kehilangan substansi. Yaqut menyebutkan, para wali songo menyajikan Islam bukan sebagai ideologi supremasi atau kendaraan penaklukan, melainkan sebagai salah satu dari banyak jalan yang bisa dipilih manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual.
Legitimasi pada NKRI yang diberikan para ulama di masa kemerdekaan RI juga menjadi ijtihad baru yang tidak bisa ditemukan dalam teks-teks fikih otoritatif dari pemikiran Islam klasik. Namun, ini didukung mayoritas Islam Indonesia dan membentuk mentalitas religius bangsa.
Nahdlatul Ulama pun dalam muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, melalui Rais Aam KH Ahmad Sidiq, melahirkan konsep persaudaraan yang tidak terbatas pada umat Islam (ukhuwah Islamiyah) saja. Sebaliknya, persaudaraan juga mencakup semua warga negara (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan seluruh umat manusia (ukhuwah basariyah).
Karena itu, menurut Yaqut, berusaha mewujudkan kembali supremasi Islam melalui kekhalifahan sesuai ingatan komunal hanya akan membawa bencana tak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga untuk komunitas Islam. Justru, saat ini diperlukan pengembangan sensibilitas religius baru yang mencerminkan realitas nyata dari peradaban baru. Hal ini akan berkontribusi pada tata dunia yang benar-benar adil dan harmonis yang didasarkan pada penghormatan martabat manusia dan hak yang sama pada semua manusia.
Berusaha mewujudkan kembali supremasi Islam melalui kekhalifahan sesuai ingatan komunal hanya akan membawa bencana tak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga untuk komunitas Islam.
”Namun, pilihan ini mewajibkan umat Islam untuk mengevaluasi kembali sejumlah konsep usang yang tertanam kuat dalam ortodoksi Islam dan menafsirkan ajaran yang sesuai era baru,” tutur Yaqut.
Rekontekstualisasi Islam dinilai akan menjadi alternatif dalam mengatasi kemelut yang terjadi di dunia akibat tergerusnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan rahmah. Karena itu, AICIS Ke-20 yang diselenggarakan secara luring dan daring kali ini diharapkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran Islam yang menjawab tantangan zaman.