Jauh Dekat Relasi Presiden-Wapres dengan Jurnalis sejak Pandemi Covid-19...
Walau komunikasi cenderung satu arah karena kendala pandemi Covid-19, kedekatan relasi Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin dengan pers masih tetap ada meski lewat rilis, media sosial, dan ”video streaming”.
Kedekatan relasi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dengan pers tak lantas pupus lantaran pandemi Covid-19. Walau komunikasi cenderung berjalan satu arah karena kendala pandemi Covid-19, informasi dari pemerintahan tetap tersampaikan, terutama lewat rilis, konferensi video di kanal Youtube, dan media sosial. Selangkah lebih awal, Wapres Amin dalam kunjungan kerjanya sudah mulai menggelar doorstop dengan Zoom hingga mengajak wartawan untuk kembali mendampingi meliput kunjungan kerja di daerah.
Sementara Presiden Jokowi masih belum menyertakan jurnalis di acara kunjungan kerjanya. Presiden tercatat membawa wartawan terakhir kali saat masih awal pandemi, yaitu ketika meninjau pembangunan rumah sakit darurat di Pulau Galang, Batam. Harian Kompas waktu itu termasuk yang diundang dengan menumpang pesawat Hercules. Protokol kesehatan benar-benar ketat diterapkan pada awal Maret 2020 itu.
Liputan perdana dengan mengajak beberapa wartawan televisi dilakukan ketika Wapres Amin menggelar kunjungan kerja selama lima hari di wilayah Indonesia Timur dari Rabu (13/10/2021) hingga Minggu (17/10/2021). Sepulang dari kunjungan kerja ke Maluku, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur, giliran dua wartawan dari media cetak—termasuk wartawan harian Kompas—turut serta meliput dalam kunjungan kerja sehari di Situbondo dan Banyuwangi di Jawa Timur, Kamis (21/10/2021).
Untuk efektivitas dan efisiensi waktu, agenda kerja sehari tanpa menginap ini pun benar-benar dibuat sepadat mungkin. Demi mempersingkat waktu yang tersita karena perjalanan darat, Wapres Amin dan 32 anggota rombongan—termasuk pejabat Sekretariat Wakil Presiden, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), tim protokoler, hingga wartawan—menempuh waktu perjalanan tersingkat dengan jalur udara, termasuk naik helikopter.
Dengan menggunakan helikopter, waktu tempuh yang bisa mencapai dua jam perjalanan darat dari Bandara Internasional Banyuwangi menuju Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Banyuputih, Situbondo, bisa dipangkas menjadi 30 menit. Rombongan tim wapres menggunakan tiga helikopter VVIP Super Puma TNI AU yang dua di antaranya baru dicat merah putih.
Begitu tiba di gerbang pesantren, Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah KH Azaim Ibrahimy segera menyambut dan memberi cendera mata berupa selembar serban. Diiringi hadrah, Wapres Amin meninjau pelaksanaan vaksinasi massal, menyapa peserta vaksinasi se-Kabupaten Situbondo melalui konferensi video, berziarah ke Makam Pahlawan Nasional KHR As’ad Syamsul Arifin, dan memberikan orasi ilmiah dalam rangka wisuda XXX Universitas Ibrahimy.
Baca juga : Wapres Amin: Optimistis, Kita Bisa
”Sesuai dengan tujuan dan ajaran syariat Islam, yaitu maqashid asy-syariah, terutama dalam menjaga keselamatan jiwa, dan prinsip al ikhtiraj anil waba wajib, menjaga diri dari wabah itu merupakan kewajiban,” ujar Wapres Amin di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah yang merupakan salah satu ponpes tertua di Tanah Air dengan 17.000 santri.
Sesuai dengan tujuan dan ajaran syariat Islam, yaitu maqashid asy-syariah, terutama dalam menjaga keselamatan jiwa, dan prinsip al ikhtiraj anil waba wajib, menjaga diri dari wabah itu merupakan kewajiban.
Dalam perjalanan menuju helipad Lapangan Puslatpur Marinir 5, Situbondo, Wapres Amin sempat singgah sejenak ke rumah pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah. Dengan helikopter VVIP Super Puma TNI AU, Wapres kembali bertolak untuk melakukan kunjungan kerja ke Banyuwangi. Di Banyuwangi, agenda Wapres Amin tak kalah padat dengan meninjau Mal Pelayanan Publik Banyuwangi, Lounge Pelayanan Publik, dan Rumah Kreatif.
Selanjutnya, Wapres Amin dan rombongan kembali bertolak ke Jakarta menggunakan Pesawat Khusus Kepresidenan BAe-RJ 85. Kunjungan sehari penuh ini berlangsung dengan hanya sedikit waktu istirahat ketika jam makan siang dan shalat Dzuhur. Apalagi, Wapres Amin sedang berpuasa dan tidak makan. ”Banyak orang tidak mengira. Ternyata beliau sehat sekali dan puasa. Hari ini juga puasa,” ujar Staf Khusus Wapres Masduki Baidlowi.
Stamina Wapres dengan jadwal superpadat juga teruji ketika kunjungan kerja dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem di Indonesia Timur. Namun, waktu itu, acara malam di daerah ditiadakan. Wapres memanfaatkan untuk beristirahat setelah tiba di hotel tempat bermalam. ”Saya saja kecapekan ketika kunjungan ke Indonesia Timur. Perjalanan terpanjang dalam sejarah wakil presiden. Belum pernah, lima hari. Belum selesai harus benah-benah. Harus cepat. Tidur sebentar,” kata Masduki.
Selain mengikutsertakan wartawan dalam kunjungan kerja, tim wapres juga beberapa kali menggelar doorstop secara virtual lewat Zoom. Doorstop virtual dengan wartawan, antara lain, digelar ketika Wapres Amin meninjau Sentra Vaksinasi Kompas Gramedia Group di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (23/9/2021). Dalam doorstop virtual ini, wartawan tetap bisa mengajukan pertanyaan kepada Wapres meski tidak hadir langsung di lokasi.
Sementara satu arah
Adapun komunikasi Presiden Joko Widodo semakin satu arah di masa pandemi. Hanya keterangan pers yang sudah direkam dan diunggah di akun resmi Sekretariat Presiden di kanal Youtube yang bisa diakses wartawan. Atau, ada pernyataan yang dikirim ke media sosial, selain juga rilis resmi.
Namun, tak tertutup juga Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono serta Deputi Protokol, Pers, dan Media Setpres Kementerian Setneg Bey T Machmuddin bisa dihubungi secara personal untuk memberikan keterangan terkait isu-isu tertentu yang tidak publikasi untuk Presiden. ”Sementara memang satu arah dulu karena perkembangan Covid-19,” ujar Bey suatu saat ketika ditanya.
Komunikasi cenderung searah juga semakin banyak terjadi pada menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju seusai rapat terbatas. Pertanyaan-pertanyaan biasanya dikumpulkan kepada Biro Pers yang kemudian akan mewakili dan membacakan pertanyaan wartawan. Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di masa lalu, hal ini jelas tak efektif karena banyak pertanyaan yang tak tersampaikan.
Baru setelah lonjakan kedua kasus Covid-19 menurun, akhir September lalu, wartawan kembali diperkenankan menanti doorstop dengan para menteri yang rapat dengan Presiden di pilar belakang Istana Negara. Namun, jumlah wartawan yang hadir masih dibatasi. Setiap hari lima wartawan bergantian dari wartawan koran, portal, televisi, juga radio serta juru foto. Pergerakannya pun tak leluasa. Tak bisa masuk ke halaman Istana Kepresidenan.
Baru setelah lonjakan kedua kasus Covid-19 menurun, akhir September lalu, wartawan kembali diperkenankan menanti doorstop dengan para menteri yang rapat dengan Presiden di pilar belakang Istana Negara. Namun, jumlah wartawan yang hadir masih dibatasi. Setiap hari lima wartawan bergantian dari wartawan koran, portal, televisi, juga radio serta juru foto.
Sutan Sjahrir dan Mochtar Lubis
Relasi antara pejabat di masa lalu dan wartawan tentu beragam atau penuh pernik. Sebut, misalnya, hal yang dialami wartawan Mochtar Lubis ketika pertama kali bertemu dan kemudian mewawancarai Sutan Sjahrir atau akrab dipanggil Bung Sjahrir. Kisah ini terjadi setelah Bung Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia yang belum lama merdeka pada 1945.
Saat itu Bung Sjahrir bertanya kepada Mochtar Lubis, sebelumnya ia sudah bertugas di mana sebagai wartawan. Mochtar Lubis menjawab bahwa dirinya belum pernah bekerja sebagai wartawan karena memang baru saja mulai.
”Dia (Bung Sjahrir) memandang pada saya, matanya bersinar sesuatu, dan berkata, ’Bagaimana berani melakukan sesuatu pekerjaan yang belum pernah dilakukan?’,” kenang Mochtar Lubis dalam tulisannya yang terangkum dalam buku Mengenang Sjahrir (Gramedia, 1980).
Baca juga : Menilik Kembali Gaya Komunikasi Politik Presiden Jokowi
Mochtar Lubis sejenak terdiam diserang pertanyaan seperti itu, sebelum kemudian dia tersenyum kepada Bung Sjahrir sambil berkata, ”Sama juga dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Kan juga belum pernah menjabat presiden, wakil presiden, dan perdana menteri?”
Benar, seluruh bangsa kita harus belajar. Belajar berevolusi, belajar menjadi bangsa yang merdeka. Belajar menjadi manusia merdeka. Belajar mengenal dirinya sebaik mungkin. Belajar mengenal kelemahan-kelemahan diri sendiri agar dapat memperbaikinya. Belajar mengenal dunia kini sebaik-baiknya setelah terputus hubungan dengan dunia selama pendudukan Jepang.
Begitu ucapan ini keluar dari mulutnya, demikian tulis Mochtar Lubis, dirinya merasa terkejut sendiri. Dia khawatir ucapannya itu tidak menyenangkan Bung Sjahrir. Namun, apa yang kemudian terjadi? Bung Sjahrir memandang Mochtar Lubis. Dan, tiba-tiba sang Perdana Menteri Indonesia itu meledak tertawa. Ledakan tawa itu pun segera menular ke semua yang mendengar.
Setelah kegeliannya mereda, Bung Sjahrir dengan tersenyum berkata, ”Benar, seluruh bangsa kita harus belajar. Belajar berevolusi, belajar menjadi bangsa yang merdeka. Belajar menjadi manusia merdeka. Belajar mengenal dirinya sebaik mungkin. Belajar mengenal kelemahan-kelemahan diri sendiri agar dapat memperbaikinya. Belajar mengenal dunia kini sebaik-baiknya setelah terputus hubungan dengan dunia selama pendudukan Jepang.”
Jangankan Sjahrir, wong Presiden Soekarno setelah diangkat menjadi Presiden RI—tanpa pelantikan sebagai Presiden pertama RI—pada 18 Agustus 1945 malah menemui tukang sate di pinggir jalan dan jajan sate. Bung Karno waktu itu sama sekali tidak mencari wartawan, apalagi didatangi wartawan untuk dimintai pendapatnya setelah ditunjuk menjadi orang pertama di negeri yang baru merdeka itu. Maklum, saat itu, wartawan yang meliput kegiatan-kegiatan presiden belum ada. Apalagi yang namanya wartawan Istana Kepresidenan.
Demikian sebuah kisah sesi wawancara dengan pejabat di saat Republik Indonesia masih berusia belia. Puluhan tahun berselang, hal yang disampaikan Perdana Menteri Sjahrir itu masih relevan, yakni bahwa bangsa Indonesia harus belajar. Pandemi yang mendera dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan banyak hal. Semuanya belajar bahwa penerapan protokol kesehatan mesti dilakukan untuk menghindari paparan Covid-19.
Di ranah komunikasi, termasuk di dunia jurnalistik, semua juga belajar menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi. Berbagai pendekatan dicoba di tengah pelonggaran pembatasan aktivitas sembari tetap mewaspadai jangan sampai terjadi penularan Covid-19. Berbagai pertimbangan masih terus jadi bahan keputusan. Di titik ini, tentu semua pihak mesti berdisiplin menerapkan protokol kesehatan agar semua sehat, produktif, dan tetap komunikatif. Harapannya tentu komunikasi dua arah harus dilakukan sehingga lebih efektif, terbuka, dan demokratis.