Pemerintah Klaim Terus Lakukan Perbaikan Kualitas Demokrasi
Kemunduran demokrasi tidak akan berubah apabila tidak ada upaya perubahan yang sistematis dari partai politik dan masyarakat sipil.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat sejumlah peneliti, masyarakat sipil, dan lembaga internasional mengingatkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan, pemerintah mengklaim terus melakukan perbaikan terhadap kondisi ini. Perbaikan mesti dilakukan secara sistemik karena penurunan kualitas demokrasi bukan hanya dipengaruhi faktor elite, melainkan juga turut disumbang oleh perilaku masyarakat.
”Sekarang tahapan transisi dan konsolidasi demokrasi, jadi terus-menerus ada upaya perbaikan di dalamnya,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman saat peluncuran buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi yang digelar secara daring, Minggu (24/10/2021).
Acara yang diselenggarakan Public Virtue Research, Kurawal Foundation, dan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia itu juga menghadirkan pembicara dua editor buku, yakni Eve Warburton dan Thomas Power, serta Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman.
Fadjroel menuturkan, lembaga demokrasi, aparat, dan regulasi demokrasi terus menerima kritik dan melakukan perbaikan agar bisa menciptakan iklim demokrasi yang berkualitas. Ruang demokrasi juga terus-menerus diperbaiki di mana setiap unsur dalam masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperbaiki melalui kritik.
”Demokrasi di Indonesia baik-baik saja karena kritik adalah feedback, jantungnya demokrasi, dan diakui sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.
Fadjroel, yang merujuk pada Indeks Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, mengatakan, ada beberapa indikator yang mengalami penurunan, terutama terkait dengan kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Atas temuan itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin berusaha fokus melakukan perbaikan pada indikator-indikator yang mengalami penurunan tersebut.
”Itu yang sekarnag kami tangani sebaik-baiknya, terutama saat ini soal unjuk rasa dan penyampaian pendapat di media sosial,” katanya.
Power menuturkan, penurunan kualitas demokrasi disebabkan oleh dua sisi, yakni dari tingkat atas dan dari tingkat bawah. Penurunan kualitas demokrasi dari atas yang dilakukan elite pemerintahan melalui proses penggelembungan kekuasaan eksekutif. Ini salah satunya terlihat dari pelemahan institusi akuntabilitas pemerintahan secara sistematis sehingga fungsinya kurang efektif dalam membatasi kesewenang-wenangan pimpinan politik.
Maka, kami berkesimpulan Indonesia sedang menghadapi krisis dalam kualitas demokrasi.
Selain itu, empat indikator akuntabilitas pemerintahan dalam negara demokratis dinilai menurun. Keempat indikator itu ialah pemilu dan oposisi resmi; lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial independen; media yang bebas dan berkualitas; serta oposisi tidak resmi dan aksi unjuk rasa. ”Maka, kami berkesimpulan Indonesia sedang menghadapi krisis dalam kualitas demokrasi,” ucapnya.
Warburton menambahkan, penurunan kualitas demokrasi juga disumbang dari bawah yang dilakukan aktor masyarakat. Polarisasi di masyarakat seusai Pemilu 2014 melemahkan negara dan membuat institusi demokrasi menjadi alat untuk menekan lawan politik. Akibat polarisasi, kelompok yang berpihak pada negara akhirnya mengabaikan tindakan-tindakan liberal yang dilakukan pemerintah.
”Penggunaan taktik illiberal dan represif yang dipakai pemerintah terhadap organisasi Islam yang beroposisi kepada pemerintah dengan memanfaatkan kedekatan pada organisasi keagamaan akar rumput. Ini semua memperburuk polarisasi politik dan mempercepat kemunduran demokrasi Indonesia,” katanya.
Marzuki mengingatkan, kemunduran demokrasi tidak akan berubah apabila tidak ada upaya perubahan yang sistematis dari partai politik dan masyarakat sipil. ”Penurunan kualitas demokrasi tidak bisa dihentikan, kecuali ada tindakan-tindakan sistemik yang dilakukan,” ujarnya.
Atas kondisi ini, Usman mendesak agar Presiden Joko Widodo segera merespons situasi kemunduran demokrasi yang ditandai oleh ancaman kebebasan berekspresi, pelemahan institusi-institusi akuntabilitas, politisasi hukum dan lembaga penegak hukum, serta polarisasi di kalangan masyarakat.
”Dulu, kriminalisasi sering terjadi pada aktivis lokal yang tak bernama besar dan biasanya tanpa restu pemerintah pusat. Sekarang, kriminalisasi sering terjadi pada aktivis di tingkat nasional, bernama besar, dan digerakkan orang-orang pemerintah pusat. Lihat saja kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti,” kata Usman.