Tanpa Evaluasi Menyeluruh, Kekerasan Aparat Bisa Terus Berulang
Institusi kepolisian mendapat sorotan. Pasalnya, dalam mengamankan demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang, Banten, seorang mahasiswa di-”smackdown” aparat kepolisian. Persoalan yang bukan baru kali ini terjadi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peristiwa kekerasan aparat kepolisian terhadap demonstran yang berulang menunjukkan belum adanya evaluasi terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang telah terjadi. Jika tidak ada sanksi tegas serta perbaikan menyeluruh, kekerasan aparat terhadap demonstran dikhawatirkan akan terus terjadi.
Dalam pengamanan demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang, Banten, seorang mahasiswa di-”smackdown” seorang aparat kepolisian. Sebuah video merekam detik-detik seorang aparat keamanan membanting demonstran. Sang pendemo yang adalah mahasiswa itu tampak terdiam dan tak lama kemudian seperti mengejang.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Kamis (14/10/2021), mengatakan, kekerasan terhadap aksi massa terus terjadi dan cenderung meningkat sejak 2019. Meski demikian, berbagai peristiwa tersebut cenderung tidak diakui sebagai kesalahan dan sebaliknya disebutkan bahwa aksi kekerasan dilakukan peserta aksi.
”Karena tidak diakui, maka tidak ada perbaikan, seperti evaluasi terhadap pendidikan polisi dan evaluasi terhadap perintah dari atasan. Juga tidak ada evaluasi mengenai penanganan terhadap demonstrasi, termasuk evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai peraturan Kapolri dalam menangani demonstrasi,” tutur Asfinawati.
YLBHI mencatat, pada 2019 terdapat setidaknya 78 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum yang terjadi di Indonesia. Jumlah itu hanya dihitung terhadap kasus yang muncul di permukaan dan dihimpun dari 16 LBH di 16 provinsi di Indonesia. Selain itu, dalam satu kasus yang tercatat juga bisa terdapat beberapa jenis atau pola pelanggaran yang terjadi.
Pola pelanggarannya adalah kriminalisasi (95 kali), tindakan kekerasan (68 kali), pembubaran tidak sah atau pembubaran paksa dengan kekuatan berlebihan (57 kali), serta penghalangan atau pembatasan aksi (32 kali). Selain itu, terjadi pula perburuan dan penculikan (17 kali), tindakan terhadap alat atau data pribadi (6 kali), dan penghalangan pendampingan hukum (6 kali).
Sementara aktor pelanggar terhadap kebebasan berpendapat di muka umum paling banyak dilakukan oleh polisi dari berbagai tingkat maupun satuan, yakni 69 persen atau 67 kali. Kemudian disusul universitas atau kampus sebanyak 8 persen atau 8 kali, TNI sebanyak 7 persen atau 7 kali, dan organisasi kemasyarakatan (ormas) sebanyak 5 persen atau 5 kali.
Pada 2020, YLBHI mencatat terdapat 65 kasus penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian dengan korban 3.539 orang. Mereka yang ditangkap rata-rata terkait pelaksanaan demonstrasi. Jumlah itu dihimpun dari 17 kantor LBH di 17 provinsi. Adapun total kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan personel kepolisian pada 2020 sebanyak 105 kasus, naik dari tahun sebelumnya 51 kasus.
Menurut Asfinawati, tindak kekerasan oleh aparat dalam menangani demonstrasi tak cukup diselesaikan lewat permintaan maaf. Aparat yang terlibat seharusnya dihukum lebih berat karena dia merupakan pihak yang memiliki otoritas.
Dengan adanya pemberian sanksi yang berat, hal itu sekaligus menjadi contoh bagi aparat yang lain. Namun, karena peristiwa kekerasan tersebut tidak pernah diproses dan dihukum berat, peristiwa serupa terus berulang dan terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. YLBHI sampai saat ini tidak memiliki catatan mengenai adanya pelaku kekerasan yang diproses hukum dan diberi sanksi.
Oleh karena itu, Asfinawati meminta Presiden, sebagai atasan Kapolri, memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi dan perbaikan secara serius terkait kekerasan terhadap demonstran. Selain itu, Polri juga mesti mengevaluasi dan melakukan pendidikan ulang bagi polisi ketika menghadapi demonstrasi, baik dari sisi perspektif demonstrasi sebagai hak maupun pengamanan di lapangan.
”Kalau kekerasan ini terus terjadi, jangan-jangan ini dilakukan secara struktural? Atau memang ada perintah untuk menghalang-halangi aksi entah dari siapa,” ujar Asfinawati.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dalam keterangan tertulis, mengingatkan, demonstrasi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dengan demikian, tugas kepolisian adalah menghormati dan menjaga peserta unjuk rasa. Adapun penggunaan kekerasan merupakan tindak pidana dan pelanggaran hak asasi manusia.
Hal yang menjadi masalah, penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam penanganan unjuk rasa bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, dalam aksi tolak UU Cipta Kerja, aparat juga melakukan kekerasan. Untuk itu, PBHI meminta dilakukannya permintaan maaf secara menyeluruh dari hulu dan hilir, mencakup pendidikan dan pelatihan, hingga pengawasan dan tindakan tegas.
”Pengulangan tejadinya kekerasan juga disebabkan ketiadaan tindakan tegas secara kelembagaan. Pernyataan maaf di hadapan publik memang perlu diapresiasi, tapi tidak akan menghindari repetisi. Perlu sistem penjatuhan sanksi yang menyebabkan efek jera sehingga tidak terjadi lagi,” sebagaimana dikutip dari pernyataan PBHI.
Kecaman atas tindakan polisi di Tangerang yang membanting pengunjuk rasa juga dilontarkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Wakil Koordinator Kontras Bidang Advokasi Arif Nur Fikri, dalam keterangan tertulis, menyatakan, aksi kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian tersebut mencerminkan brutalitas kepolisian dan bentuk penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam penanganan aksi massa.
Padahal, dalam Peraturan kapolri No 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, penggunaan kekuatan oleh pihak kepolisian harus sesuai prinsip kebutuhan, legalitas, dan proporsionalitas, serta masuk akal
”Kami melihat tindakan brutalitas aparat yang ditujukan terhadap massa aksi tidak terlepas dari kultur kekerasan yang langgeng di tubuh kepolisian,” katanya.
Untuk itu, Kontras mendesak agar Kapolri mengawasi dan mengevaluasi bawahannya dalam penggunaan kekuatan dalam bertugas. Anggota kepolisian yang melakukan kekerasan tersebut juga diminta untuk diproses hukum karena melakukan kekerasan terhadap peserta aksi.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri telah diturunkan ke Polda Banten untuk memeriksa anggota yang melakukan kekerasan. Adapun Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo tidak merespons saat dikonfirmasi Kompas.