Penerbitan Amnesti Saiful Mahdi Diapresiasi, Kasus Serupa Jangan Terulang
Pemberian amnesti oleh Presiden menguatkan pengakuan bahwa Saiful Mahdi adalah korban UU ITE dan adanya penegakan hukum yang salah. Akibatnya, ketidakadilan terjadi dan warga tidak bersalah dipenjara.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan keputusan presiden oleh Presiden Joko Widodo terkait dengan amnesti untuk Saiful Mahdi diapresiasi sejumlah pihak. Kendati demikian, antisipasi berulangnya kasus serupa mendesak dilakukan, salah satunya dengan merevisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Presiden Joko Widodo menandatangani keppres amnesti untuk Saiful Mahdi, Selasa (12/10/2021). Menteri Sekretaris Negara Pratikno memastikan hal tersebut. Dia mengatakan, salinan keppres amnesti langsung dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Saiful Mahdi.
”Semoga bisa diproses cepat dan Saudara Saiful Mahdi dibebaskan secepat-cepatnya,” tutur Pratikno dalam keterangan pers, Selasa (12/10/2021).
Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, mengirimkan pengajuan pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi kepada DPR. Surat dari DPR mengenai persetujuan tersebut diterima kembali pada Senin (11/10/2021). Dalam surat itu, DPR menyatakan persetujuannya.
Penerbitan amnesti ini pun diapresiasi sejumlah pihak. ”Keluarga, tim penasihat hukum, dan juga Koalisi Masyarakat Sipil yang mendampingi Saiful Mahdi bersyukur dan mengapresiasi keppres ini,” tutur Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada Kompas, Selasa (12/10/2021).
Presiden Joko Widodo menandatangani keppres amnesti untuk Saiful Mahdi, Selasa (12/10/2021). Menteri Sekretaris Negara Pratikno memastikan hal tersebut. Dia mengatakan, salinan keppres amnesti langsung dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Saiful Mahdi.
Dia menilai, pemberian amnesti oleh Presiden semakin menguatkan pengakuan bahwa Saiful Mahdi adalah korban UU ITE dan penegakan hukum yang salah. Akibatnya, ketidakadilan terjadi dan warga tidak bersalah dipenjara serta kebebasan akademik diberangus.
”Untuk ini, Presiden tentu perlu memperhatikan dengan saksama kasus-kasus serupa yang sangat banyak. Penting untuk melakukan moratorium penggunaan pasal-pasal karet UU ITE, seperti kasus Ibu Rasmiah dan juga kasus Fatia Kontras, Haris Azhar, Egi dan Miftah ICW yang dikriminalisasi dengan UU ITE,” tutur Isnur.
Banyaknya kasus serupa menunjukkan revisi UU ITE mendesak dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara maksimal.
Direktur Eksekutif The Indonesia Institute Center for Public Policy Research Adinda Tenriangke Muchtar yang juga mengapresiasi penerbitan amnesti tersebut menilai revisi UU ITE mendesak dilakukan. Kendati ada surat keputusan bersama mengenai pedoman implementasi UU ITE, hal tersebut tak cukup. Kasus-kasus yang mengkriminalisasi warga terus berulang akibat pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.
”Apabila menginginkan proses penegakan hukum yang melindungi dan merawat kebebasan berekspresi, tidak perlu melulu ada tekanan publik. Sudah seharusnya hal ini ada dalam hukum dan produk hukumnya. Karena itu, UU ITE harus direvisi dan menjawab permasalahan yang ada sesuai mandat azas dan tujuan di Pasal 3, bukannya malah tidak memberikan ruang untuk menyatakan pikiran dan tidak mendapat kepastian hukum bagi pengguna teknologi,” tutur Adinda.
Beberapa pasal yang dinilai bermasalah dalam catatan YLBHI, antara lain, Pasal 26 Ayat 3 terkait penghapusan informasi, Pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 45 Ayat 1 terkait pidana kesusilaan, Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 terkait kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Selain itu, pasal-pasal yang juga dinilai perlu direvisi, antara lain, Pasal 29 jo Pasal 45 B terkait ancaman kekerasan, Pasal 36 jo Pasal 51 Ayat 2 terkait pasal karet perbuatan merugikan orang lain, serta Pasal 40 Ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses.