Kabareskrim Minta Masyarakat Komplain jika Penanganan Polisi Tak Sesuai SKB UU ITE
Paguyuban Korban ITE menyebut hingga Oktober 2021 ada 23 kasus terindikasi bertentangan dengan SKB UU ITE. Bareskrim Polri menegaskan, warga bisa mengajukan komplain jika ada penanganan yang bertentangan dengan SKB itu.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Polri menegaskan akan menangani kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai arahan dalam Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Masyarakat diminta mengajukan protes jika terdapat penyelidikan atau penyidikan kasus yang tak sejalan dengan SKB tersebut.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, penanganan kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), termasuk dugaan pencemaran nama baik, dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE. SKB yang dimaksud ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 23 Juni 2021.
”Sudah barang tentu sejak itu, penanganan kasus yang diduga melanggar UU ITE harus memedomani itu,” kata Agus saat dihubungi dari Jakarta, Senin (11/10/2021).
Ia menambahkan, masyarakat bisa mengajukan komplain jika ditemukan bahwa polisi menindaklanjuti kasus yang tidak sejalan dengan amanat SKB tentang Pedoman Implementasi UU ITE, khususnya yang terjadi setelah terbitnya SKB. Akan tetapi, ia tidak menjawab apakah kasus yang terindikasi bertentangan dengan SKB, tetapi terjadi sebelum kesepakatan itu terbit, bisa dihentikan penyelidikan atau penyidikannya.
Saat dicontohkan mengenai kasus pencemaran nama baik yang terjadi pada Stella Monica, pelanggan sebuah klinik kecantikan di Jawa Timur, Agus langsung menanyakan hal itu kepada Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta. ”Informasi dari Kapolda Jatim, kasus itu terjadi sebelum SKB. Namun, sedang dicek ulang,” ujar Agus.
Dalam pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa penghinaan atau pencemaran nama baik harus diadukan kepada penegak hukum oleh korban langsung. Pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Namun, dalam kasus Stella Monica, pelapor adalah klinik secara institusi.
Selain berpedoman pada SKB UU ITE, kata Agus, pihaknya juga berpegang pada Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam surat edaran itu, penyelesaian perkara diutamakan dengan prinsip keadilan restoratif. Adapun hukum pidana merupakan upaya terakhir.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) Muhammad Arsyad mengatakan, semestinya polisi bisa meninjau ulang semua kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang masih berjalan. Hal ini berlaku baik untuk kasus yang terjadi sebelum maupun sesudah SKB UU ITE diterbitkan.
Sebab, mengacu pada Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan, apabila ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Selain itu, kata Arsyad, terdapat asas peraturan perundang-undangan tentang penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Artinya, penegak hukum semestinya mengikuti aturan baru.
Apalagi terhadap kasus yang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. ”Kalau sudah inkracht memang dimungkinkan untuk tidak menggunakan itu (SKB) karena hukum tidak melihat ke belakang. Akan tetapi, orang yang baru akan dihukum, semestinya menggunakan itu (SKB) dalam proses pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Paku ITE, hingga Oktober 2021 terdapat 23 kasus yang terindikasi bertentangan dengan SKB UU ITE. Umumnya kasus diadukan institusi atau korporasi. Sebanyak 18 kasus di antaranya masih dalam penyelidikan dan penyidikan. Adapun lima kasus lain sudah masuk persidangan.
Revisi UU ITE
Arsyad menambahkan, akar persoalan dalam penegakan hukum pelanggaran UU ITE berasal dari sejumlah pasal karet dalam UU itu. Permasalahan semakin kentara dengan pemberian amnesti pada dua terpidana kasus pencemaran nama baik, yakni Baiq Nuril pada 2019 dan Saiful Mahdi pada 2021.
Pengampunan hukuman Saiful Mahdi diberikan oleh Presiden Joko Widodo yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada Selasa (5/10/2021). Amnesti itu disetujui DPR melalui rapat paripurna, Kamis (7/10/2021). Saat ini, proses pemberian amnesti masih menunggu keputusan presiden (keppres).
Keberadaan pasal karet dalam UU ITE juga dinilai rentan dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengkriminalisasi atau membungkam masyarakat. Karena itu, Arsyad yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE berharap pemerintah dan DPR segera merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU itu. Pihaknya juga telah menyerahkan kertas kebijakan yang disertai dengan hasil analisis, contoh permasalahan dalam setiap pasal, serta rekomendasi perbaikan UU ITE.
”Tujuan kami ingin melihat Indonesia lebih transparan dan tidak antikritik,” ujarnya.
Terkait kasus pencemaran nama baik, koalisi juga berharap agar penegak hukum mengelompokkannya dalam ranah keperdataan. Jika soal keperdataan itu dianggap sudah diatur, tetapi tidak ada yang melaksanakan, perlu dilakukan penyaringan terhadap kasus yang diadukan ke ranah pidana.
”Misalnya, jika ada pengaduan terkait produk jurnalistik, pengadu hendaknya lebih dulu datang ke Dewan Pers. Dalam hal ekspresi warga di dunia maya, Komnas HAM juga bisa ikut menilai apakah ekspresi mereka memenuhi hak dasar warga negara sebagaimana diatur pada Pasal 28 UUD 1945,” kata Arsyad.
Hingga saat ini, pelaporan kasus pencemaran nama baik masih terus terjadi. Salah satunya laporan atas aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Laporan juga dilakukan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terhadap aktivis antikorupsi Egi Primayogha dan Miftah.