Munas dan konbes NU dinilai sangat penting karena akan menentukan kapan muktamar harus diselenggarakan. Waktu penyelenggaraan mukmatar diharapkan diputuskan setelah mempertimbangkan banyak aspek, termasuk keselamatan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2021 diharapkan mengkaji dengan saksama waktu penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU sehingga tidak menimbulkan kluster baru Covid-19. Ratusan ulama dan kiai NU yang meninggal sepanjang pandemi Covid-19 semestinya juga menjadi pertimbangan munas dan konbes untuk memutuskan waktu terbaik bagi penyelenggaraan muktamar.
Munas dan konbes dihadiri unsur kepengurusan PBNU, seperti mustasyar, suriyah, a’wan, tanfidziyah, utusan badan otonom dan lembaga serta delegasi dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) se-Indonesia dengan jumlah total peserta 250 orang. Munas dan Konbes diselenggarakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Menurut rencana, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin yang akan membuka Munas Alima Ulama dan Konbes NU 2021 pada Sabtu (25/9/2021) siang. Ia hadir sebagai Mustasyar Pengurus Besar NU (PBNU).
Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Marzuki Wahid, Sabtu, di Jakarta, mengatakan, munas dan konbes ini sangat penting karena akan menentukan kapan muktamar harus diselenggarakan. Selain itu, munas dan konbes juga memutuskan sejumlah agenda yang harus dibahas di dalam muktamar nanti.
”Ada sejumlah agenda panting dibahas, di antaranya ialah mekanisme pemilihan Rais Aam dan ketua umum PBNU, bahtsul masa’il tentang PNPS 1/1965, RUU Pekerja Rumah Tangga, relasi hukum Islam dan hukum negara, dan sejumlah problem kebangsaan lain yang menyangkut hajat orang banyak,” katanya.
Sebagai peserta munas dan konbes dari unsur lembaga, yakni Lakpesdam PBNU, Marzuki mengaku antusias mengikuti munas dan konbes. Sebab, hasil dari munas dan konbes ini akan memengaruhi arah kebijakan publik di dalam negeri dari keputusan yang ditetapkan oleh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.
Terkait perdebatan mengenai waktu penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU, Marzuki menyebutkan, sebaiknya memang segera dilakukan. Jika memungkinkan, sebaiknya digelar pada 2021. ”Agar ada refreshing kepengurusan dan semangat baru untuk menghadirkan NU dalam perjalanan bangsa yang butuh respons NU,” katanya.
Meski demikian, kalaupun muktamar digelar tahun ini, Lakpesdam PBNU memberikan catatan agar penyelenggaraannya tidak memicu kerumunan orang. Sebab, jika malah menimbulkan kerumunan bagi kiai dan nyai dalam momen muktamar, hal itu justru membawa keburukan di tengah pandemi.
Selama masa pandemi ini, NU sudah kehilangan sekitar 700 kiai dan nyai karena Covid-19. Lakpesdam tidak menghendaki hal ini terjadi lebih banyak lagi karena muktamar. Oleh karena itu, menurut Marzuki, waktu muktamar sebaiknya dikaji dan dipersiapkan sebaik mungkin. Jika tidak bisa menjamin keselamatan dan keamanan para kyai dan nyai, sebaiknya muktamar ditunda hingga dapat dipastikan keamanan dan keselamatan mereka.
”Kaidahnya adalah dar’ul mafasid muqaddamun ’ala jalbil mashalih (menolak atau mencegah kemafsadatan/keburukan diutamakan daripada menarik kemaslahatan/kebaikan),” ujarnya.
Mengenai waktu penyelenggaraan muktamar ini kerap dikait-kaitkan dengan kandidasi ketua umum PBNU. Namun, menurut Marzuki, hal itu tidak menjadi perhatian Lakpesdam PBNU ataupun munas dan konbes. ”Saya tidak memandang tentang kandisasi ketum PBNU terkait penyelenggaraan Muktamar tahun 2021 dan 2022. Sejauh ini juga tidak terlalu signifikan penentuan kandidat dengan rentang waktu tersebut. Kalaupun ada yang berkepentingan, tentu bukan pertimbangan penting bagi kami,” tuturnya.
Menurut ketentuan, masa kepengurusan PBNU di bawah KH Said Aqil Siroj berakhir pada 2020. Ini merupakan periode kedua Kiai Said menahkodai PBNU. Namun, di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PBNU secara normatif tidak spesifik membatasi periode kepengurusan tersebut.
Kendati demikian, menurut Marzuki, dua periode kepengurusan di Indonesia sudah menjadi semacam konvensi yang dimaklumi banyak orang. Selain pertimbangan regenerasi yang sangat diperlukan dalam tubuh organisasi, juga tentang kejenuhan kepemimpinan selama lebih dari 10 tahun.
”Oleh karena itu, sebaiknya cukup dua periode saja siapa pun yang menjadi ketua umum PBNU. Regenerasi dan penyegaran kepemimpinan jauh lebih penting dipertimbangkan daripada melestarikan kepengurusan lebih dari dua periode,” ucapnya.
Tetap di Lampung
Ketua Steering Committee (Panitia Pengarah) Munas Alim Ulama dan Konbes NU KH Ahmad Ishomuddin mengatakan, perbedaan pendapat soal waktu penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU akan dibahas di dalam Konbes NU. Namun, ia memastikan lokasi muktamar tetap di Lampung.
”Kebetulan saya juga dari PWNU Lampung. Jadi, nanti soal kesiapan PWNU dalam menyelenggarakan muktamar juga akan disampaikan. Namun, kalau soal waktunya, itu pasti akan dibahas dalam Konbes NU,” katanya di Jakarta.
Ishomuddin tidak memungkiri akan terjadi dinamika yang cukup ketat terkait dengan penentuan waktu muktamar ini. Namun, sampai dengan keputusan itu dibawa ke rapat pleno, belum akan ada kepastian soal waktu muktamar.
Ishomuddin mengakui memang ada dorongan untuk mengadakan muktamar pada akhir 2021, tetapi ada pula yang menginginkan pada 2022. ”Itu nanti pasti akan dibahas, tetapi dinamika di dalam rapat tidak akan dibuka untuk umum. Nanti ketika sudah ada keputusan pasti akan disampaikan secara terbuka,” ucapnya.
Sebagaimana tercantum dalam draf materi Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021, bidang-bidang yang menjadi pembahasan antara lain adalah tentang kesehatan, polhukam (politik, hukum, dan keamanan), pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat (kesra). Pembahasan tersebut akan menghasilkan sejumlah butir rekomendasi dari setiap bidang dan ditujukan kepada pemerintah.