Komisioner Langgar Etik, KPK Diperkirakan Akan Terus Tersandera
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli dihukum potong gaji pokok 12 bulan karena melakukan pelanggaran etik berat. Dengan gaji pokok Rp 4,62 juta, Lili akan kehilangan Rp 1,8 juta per bulan dari total pendapatan Rp 89,4 juta.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi diperkirakan akan selalu tersandera kasus pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Kerja pemberantasan korupsi ke depan pun ditengarai semakin berat karena standar moral KPK sudah jatuh akibat ringannya hukuman yang diberikan untuk pelanggar kode etik.
Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK menyatakan bahwa Lili terbukti bersalah karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK. Atas perbuatannya tersebut, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP 29/2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK, wakil ketua KPK mendapatkan gaji pokok Rp 4,62 juta. Selain itu, wakil ketua KPK juga menerima tunjangan jabatan Rp 20,475 juta, tunjangan kehormatan Rp 2,134 juta, tunjangan perumahan Rp 34,9 juta, dan tunjangan transportasi Rp 27,33 juta.
Bisa saja itu merupakan pelanggaran etik biasa di tempat lain. Namun, di KPK, demi melindungi standar etik yang tinggi, maka pelanggaran sekecil apa pun yang berdampak pada marwah kelembagaan harus dianggap sebagai hal yang merusak lembaga dan dia harus berhenti.
Dengan putusan Dewan Kehormatan, setiap bulan Lili akan kehilangan gaji pokok sebesar Rp 1,848 juta atau Rp 22,176 juta dalam setahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 2 persen dari total pendapatan yang diterima wakil ketua KPK setiap bulan, yakni Rp 89,459 juta per bulan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, ketika dihubungi, Selasa (31/8/2021), mengatakan, dengan pendekatan Undang-Undang Dasar 1945, konsep perbuatan tercela sangat kuat melekat bagi pejabat publik. Jika seorang pejabat publik melakukan perbuatan tercela, semisal presiden, sanksinya adalah diberhentikan dari jabatannya.
Hal tersebut berlaku pula bagi penyelenggara negara yang lain. Terlebih bagi KPK yang merupakan lembaga berintegritas serta mengawal integritas banyak orang. ”Namun, kalau pimpinannya sendiri tidak berintegritas, pilihannya adalah dia diberhentikan,” kata Feri.
Menurut Feri, untuk memperbaiki citra dan kepercayaan publik terhadap KPK, konsep integritas yang terkandung dalam konstitusi harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh lembaga antirasuah itu. Kemudian, standar etik di KPK harus diperbaiki atau ditingkatkan, tidak seperti sekarang.
Selain itu, KPK perlu meningkatkan standar moral yang tinggi di lingkungan internal. Jika ada pimpinan atau pegawai KPK yang melakukan kesalahan, yang bersangkutan harus mengundurkan diri.
”Bisa saja itu merupakan pelanggaran etik biasa di tempat lain. Tapi, di KPK demi melindungi standar etik yang tinggi, maka pelanggaran sekecil apa pun yang berdampak pada marwah kelembagaan harus dianggap sebagai hal yang merusak lembaga dan dia harus berhenti,” ujarnya.
Ferni menilai, tindakan Lili bukanlah pelanggaran etik ringan, melainkan sangat berat. Selama Lili masih memimpin KPK, hal itu akan berdampak pada perkara yang ditangani KPK.
”Bagaimana mungkin pelaku pelanggaran etik dapat memimpin pemberantasan korupsi, kalau tingkah laku pejabat korup dia juga lakukan,” ujar Feri.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, KPK dibentuk agar berbeda dari aparat penegak hukum yang lain, yakni kepolisian dan kejaksaan. Berbeda dalam arti memiliki sistem penegakan hukum korupsi yang tanpa toleransi.
Dengan perkara pelanggaran etik tersebut, maka semestinya sebagai pimpinan KPK, Lili dihukum dengan sanksi pengunduran diri. Dengan demikian, KPK tetap dapat menjaga sistem penegakan hukumnya yang tanpa toleransi.
”Ketika Dewan Pengawas KPK tidak memintanya untuk mengundurkan diri, maka semestinya dia sendiri yang berinisiatif untuk mengundurkan diri kalau dia memang punya kesadaran diri. Sebab, dia sudah membuat KPK cacat. KPK akan terjebak menjadi seperti penegak hukum lain yang menoleransi penyimpangan dan ketidakjujuran. Situasinya akan mengarah ke sana,” kata Fickar.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding tidak membalas atau merespons pertanyaan yang dikirimkan Kompas mengenai langkah KPK pasca-putusan Dewas KPK terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. (NAD)