PPNS akhirnya memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang setelah MK mengabulkan permohonan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010. Peluang penyidikan dugaan pencucian uang pun semakin besar.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan uji materi Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang . Putusan MK tersebut memberikan kewenangan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PPNS sebagai penyidik pidana asal untuk menyidik tindak pidana pencucian uang.
Dalam Penjelasan Pasal 74 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) disebutkan, yang dimaksud dengan ”penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Penjelasan Pasal 74 itulah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
”Penjelasan Pasal 74 memang menjadi ganjalan sejak 2010 dan sudah beberapa kali dilakukan uji materi hingga akhirnya dikabulkan sekarang. Jadi, putusan ini perlu disambut baik,” kata Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi yang juga pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih ketika dihubungi, Jumat (27/8/2021).
Yenti mengatakan, putusan MK tersebut akan memperkuat kewenangan penyidik tindak pidana asal. Sebagai contoh, selama ini penyidik di bidang Kelautan dan Perikanan hanya dapat menyidik terkait penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Namun, mereka tidak dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang atas hasil kejahatan tersebut yang biasanya jumlahnya besar.
Demikian pula di bidang lain, hasil kejahatan terkait dengan sumber daya alam biasanya sangat besar, seperti di sektor kehutanan. Namun, ketika PPNS mengetahui ada aliran dana hasil kejahatan, mereka tidak bisa bertindak atau menelusuri karena tidak memiliki kewenangan.
Besarnya ancaman tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dari besarnya nilai denda dan uang pengganti melalui putusan pengadilan. Pada 2020, mengutip kompas.com, total denda dan uang pengganti yang terkumpul berdasarkan putusan Mahkamah Agung sebesar Rp 5,6 triliun. Sementara jumlah denda dan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan umum dan militer yang telah berkekuatan hukum tetap sebesar Rp 52,85 triliun.
Diperkirakan, jumlah hasil kejahatan lebih besar dari angka itu mengingat masih banyaknya kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang belum terungkap. Menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), rasio tindak lanjut atas Hasil Analisis, Hasil Pemeriksaan dan Informasi Proaktif dari PPATK ke instansi berwenang baru sebesar 32,6 persen.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menuturkan, ada jarak yang lebar antara informasi intelijen yang diperoleh dan langkah atau upaya hukum yang diambil. Salah satu sebabnya adalah tindak pidana ekonomi yang terjadi luar biasa banyak.
”Hasil analisis kita ada ribuan (TPPU), sementara kapasitas teman-teman (penyidik) belum sanggup memenuhi tuntutan-tuntutan yang timbul dari UU TPPU sehingga tindak lanjutnya masih rendah, masih di bawah 50 persen,” kata Dian dalam ”Workshop Penguatan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021”.
Dengan masuknya PPNS sebagai penyidik TPPU, lanjut Dian, peluang untuk melakukan penyidikan TPPU, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, akan lebih besar. Sebab, PPNS merupakan pihak yang paling menguasai bidang tugasnya. Sehari-hari mereka memang bergelut di satu bidang tertentu, seperti di bidang kehutanan dan perikanan.
Dengan penyidikan yang semakin efektif dan efisien, Dian meyakini pemulihan aset akan lebih optimal. Di sisi lain, efek penjera tersebut akan berdampak signifikan untuk menekan terjadi tindak pidana serupa.
Hasil analisis kita ada ribuan (TPPU), sementara kapasitas teman-teman (penyidik) belum sanggup memenuhi tuntutan-tuntutan yang timbul dari UU TPPU sehingga tindak lanjutnya masih rendah, masih di bawah 50 persen.
Dalam paparannya, Kepala PPATK 2002-2011 Yunus Husein menerangkan, jika selama ini PPNS mengejar tersangka atau pelaku kejahatan, untuk TPPU, mereka mesti memprioritaskan untuk mengejar aset yang merupakan hasil tindak pidana. Dengan pendekatan mengikuti aliran uang (follow the money), PPNS melakukan pendekatan dari bawah ke atas.
Dalam penegakan hukum menggunakan UU Pemberantasan dan Pencegahan TPPU, lanjut Yunus, tindak pidana asal mutlak harus ada, tetapi tidak wajib dibuktikan terlebih dulu. Selain itu, UU 8/2010 juga mengatur hukum acara yang berbeda dari Kitab Undang-ondang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti pembuktian terbalik dan pengecualian kerahasiaan bank.
”Pendekatan mengejar tersangka dan mengejar uang harus digabungkan. Dimulai dari melihat hasil kejahatannya,” tutur Yunus.
Peningkatan kapasitas
Agar penyidikan tindak pidana pencucian uang meningkat dan optimal, menurut Dian, kapasitas dan kemampuan PPNS mesti terus ditingkatkan melalui pelatihan. Diperlukan pula sistem pertukaran informasi yang efektif antarpemangku kepentingan untuk memastikan semua komponen bergerak bersama-sama
Menurut Dian, selain kapasitas, hal paling penting yang dibutuhkan oleh penyidik TPPU adalah integritas. Sebab, nantinya penyidik akan mendapatkan akses detail, termasuk informasi intelijen yang akan diberikan PPATK kepada PPNS.
”Saya kira, jika tidak memiliki integritas, maka akan menimbulkan banyak persoalan. Karena data informasi yang diberikan PPATK adalah data yang sangat detail yang dapat menimbulkan godaan-godaan dalam proses penyidikan kasus TPPU,” ujar Dian.
Hal senada dikatakan Yenti. Menurut Yenti, PPNS mestinya mampu melakukan tugasnya karena sebagian besar dari mereka telah dibekali pengetahuan dan teori mengenai TPPU. Namun, jam terbang juga dibutuhkan agar kompetensi dan intuisi sebagai penyidik TPPU lebih baik lagi.
”TPPU itu kan konteksnya kejahatan ganda dan merupakan kejahatan yang sangat serius karena tidak mungkin ada atau terjadi tanpa ada kejahatan asal. Maka, menjadi seorang penyidik itu perlu diasah, perlu jam terbang, bukan sekadar brevet,” kata Yenti.
Menurut Yenti, dalam sebuah tindak pidana, bisa jadi yang terdeteksi adalah dugaan pencucian uang terlebih dulu karena ada data berupa aliran dana yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profil yang dimaksud. Untuk itu, PPNS harus bisa menyelidiki dan mencari kejahatan asal. Kemampuan untuk mengembangkan dari data awal itulah yang harus dimiliki penyidik TPPU.
Dalam forum ”Workshop Penguatan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021”, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani mengatakan, sebagai ujung tombak penegakan hukum terkait dengan sumber daya alam, kualitas penegakan hukum bergantung pada para penyidik. Sementara kejahatan terkait lingkungan hidup dan kehutanan, seperti pembalakan liar, perambahan kawasan hutan, serta kejahatan terhadap satwa yang dilindungi, merupakan kejahatan ekonomi yang merusak sumber daya alam serta merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
”Dengan keputusan MK yang memberi kewenangan bagi para penyidik PNS untuk melakukan penyidikan TPPU, kita akan dapat mengembalikan kerugian negara. Dengan TPPU, proses pembuktian akan semakin lebih mudah karena bisa menggunakan pembuktian terbalik,” ujar Rasio.
Saat ini, lanjut Rasio, di Kementerian LHK terdapat 180 PPNS yang sudah mendapat kewenangan menyidik TPPU. Menurut rencana, Kementerian LHK akan menambah jumlah PPNS penyidik TPPU. Dengan demikian, diharapkan pemulihan kerugian negara dapat semakin optimal.