Presiden PKS Ahmad Syaikhu: Dibutuhkan Pemimpin Bervisi Pancasila
Bangsa ini membutuhkan kolaborasi, bukan segregasi, apalagi polarisasi. Jangan sekali-kali membenturkan identitas sesama anak bangsa demi meraih kekuasan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menuju 100 tahun Indonesia pada 2045, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu mengingatkan kepemimpinan nasional yang berbasis Pancasila untuk menyelesaikan permasalahan yang melilit bangsa. Visi tersebut adalah visi ketuhanan, visi kemanusiaan, visi kebangsaan, visi kerakyatan, serta visi keadilan.
Hal itu diungkapkan Presiden PKS dalam acara ”Pidato Kebangsaan Ketua Umum Partai Politik” dalam rangka Perayaan 50 tahun The Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jumat (20/8/2021). Pada kesempatan tersebut, Ahmad Syaikhu memberikan pidato kebangsaan yang dilakukan secara daring.
Dalam pidatonya, Ahmad mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 telah membawa banyak korban jiwa. Hal itu sangat memprihatinkan dan merupakan luka bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Menurut Ahmad, pandemi yang membawa krisis tersebut menampilkan ancaman di satu sisi sekaligus peluang di sisi yang lain. Peluang tersebut terbuka karena para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan visi kepemimpinan nasional yang termaktub di dalam Pancasila.
”Pancasila adalah pandangan hidup bangsa. Kita harus menjadikan visi kepemimpinan nasional berbasiskan Pancasila, menjadikan visi kepemimpinan nasional menjadi kompas moral dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang melilit bangsa,” kata Ahmad.
Visi yang pertama adalah visi ketuhanan. Menurut Ahmad, sebagai bangsa yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, agama merupakan aspirasi sekaligus inspirasi dalam merumuskan kebijakan publik yang maslahat dan beradab.
Oleh karena itu, tugas pemimpin adalah menjadikan agama sebagai sumber inspirasi untuk kemajuan bangsa. Demikian pula pembangunan semestinya tidak hanya menciptakan kemajuan peradaban material, tetapi sekaligus peradaban spiritual.
Kemudian, dalam visi kemanusiaan, tanggung jawab negara adalah memanusiakan, menjaga harkat dan martabat manusia, serta memajukan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, tujuan sejati pembangunan nasional adalah membangun manusia Indonesia, bukan sekadar membangun di wilayah Indonesia.
”Pembangunan tidak bisa direduksi menjadi pembangunan fisik infrastruktur semata. Justru yang paling utama adalah membangun kualitas dan kapasitas manusianya. Pembangunan infrastruktur hanyalah menopang pembangunan sumber daya manusia,” ujar Ahmad.
Mengutip Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2016 yang memproyeksikan Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045, Ahmad mengingatkan adanya masalah struktural yang akan menghambat, yakni kualitas dan kapasitas sumber daya manusia. Masih banyak masalah mendasar terkait hal itu, antara lain stunting atau kekurangan gizi kronis yang mengakibatkan gagal tumbuh serta kualitas pendidikan yang rendah.
Jika hal itu tidak diatasi melalui intervensi yang kuat dari negara, lanjut Ahmad, dikhawatirkan akan ada generasi yang hilang dari bangsa ini. Intervensi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia mesti dilakukan pertama-tama melalui kesehatan dan pendidikan.
Terkait visi kebangsaan, lanjut ahmad, Pancasila dapat menjadi energi besar yang menyatukan seluruh komponen bangsa. Terlebih dalam situasi seperti sekarang ini diperlukan kepemimpinan nasional yang mampu membangun rasa persatuan, rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, serta mampu menciptakan rasa senasib sepenanggungan untuk saling membantu dan menguatkan.
”Bangsa ini membutuhkan kolaborasi, bukan segregasi, apalagi polarisasi. Jangan sekali-kali membenturkan identitas sesama anak bangsa demi meraih kekuasan. Apalagi atas nama Pancasila ada unsur-unsur kekuasaan yang menstigma anak bangsa lainnya radikal dan anti-NKRI. Tindakan adu domba dan memecah bangsa ini jelas-jelas tidak pancasilais dan tidak nasionalis,” tutur Ahmad.
Ahmad menegaskan, Islam, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Demikian pula bagi PKS, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika adalah konsensus bangsa yang tidak perlu lagi diperdebatkan.
Untuk visi kerakyatan, Ahmad menilai, hari-hari ini demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Konsolidasi demokrasi pasca-Reformasi belum berjalan, sementara Indonesia terjebak pada demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Bahkan, pemerintahan hari ini dinilai telah berputar haluan dari demokrasi prosedural ke arah otoritarianisme. Demokrasi prosedural yang berjalan pun merupakan demokrasi yang berbiaya mahal dan mengalami pembajakan oligarki.
Terakhir, terkait visi keadilan, Ahmad mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu masalah yang menjadi pekerjaan rumah adalah persoalan ketimpangan, baik dalam hal ekonomi, di hadapan hukum, maupun dalam perlakuan politik. Melihat berbagai permasalahan tersebut, Ahmad mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk bergandengan tangan dan bekerja sama menuntaskan janji-janji kemerdekaan yang belum tuntas.
”Tentu penunaian janji-janji tersebut akan sangat ditentukan oleh kualitas pemimpin yang memiliki lima visi Pancasila tersebut. PKS sebagai bagian dari elemen bangsa telah menggariskan dengan tegas bahwa visi PKS sejalan dengan visi besar para pendiri bangsa,” tutur Ahmad.
Terkait dengan posisi PKS yang berada di luar pemerintahan, Ahmad memastikan bahwa sikap PKS bukan asal beda, melainkan didasarkan pada pemikiran yang kokoh dan rasional. Dan, untuk mencapai cita-cita 2045, PKS telah membuat platform kebijakan pembangunan yang meliputi pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Senior Fellow at CSIS, J Kristiadi, menggarisbawahi perhatian Ahmad Syaikhu yang menekankan pada pembangunan karakter manusia. Terkait partai politik, pengaderan merupakan aspek yang sangat penting. Terlepas dari pandangan politik, Kristiadi mengakui cara pengaderan PKS dapat sungguh-sungguh menanamkan karakter sesuai visi dan misi PKS.
Sementara itu, Ekonom senior CSIS, Djisman Simandjuntak, melihat bahwa berbagai permasalahan yang diungkapkan Ahmad merupakan masalah struktural yang memerlukan pemecahan. Untuk itu, mengatasinya, diperlukan kolaborasi dari semua pihak.
”Ini masalah yang sangat struktural, tidak ada pemecahan jangka pendek. Yang bisa kita lakukan adalah remedial untuk meringankan bebannya,” kata Djisman.
Catatan Redaksi: Di paragraf pertama berita ini awalnya tertulis Partai Keadilan Indonesia. Begitu pula di keterangan sejumlah foto di berita. Padahal seharusnya tertulis Partai Keadilan Sejahtera. Sejumlah kesalahan itu telah kami perbaiki. Kami mohon maaf atas kekeliruan tersebut dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Terima kasih.