Kompleksitas penanganan pandemi diperkirakan akan menjadi pertimbangan Presiden dalam mengusulkan calon Panglima TNI ke DPR. Manakala pandemi tak terkendali, dibutuhkan pertahanan keamanan yang optimal.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menilai setiap kepala staf dari tiga matra di Tentara Nasional Indonesia sama-sama berpeluang menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto, yang akan memasuki masa pensiun pada November 2021.
Pengganti Hadi akan bergantung pada pertimbangan obyektif dan subyektivitas presiden. Meskipun Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan posisi itu dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi dari setiap matra, penetapan calon adalah hak prerogatif presiden.
Pengganti Hadi akan bergantung pada pertimbangan obyektif dan subyektivitas presiden.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Effendi Simbolon, saat dihubungi, Rabu (4/8/2021) dari Jakarta, mengatakan, jika mengacu kepada UU TNI, pergantian jabatan Panglima TNI itu memang dapat dilakukan secara bergiliran antara satu matra ke matra lainnya. Namun, keputusan itu akan berpulang kembali kepada pertimbangan presiden selaku pemilik hak yang mengusulkan calon kepada DPR.
”Berpulang lagi kepada presiden, apakah yang dipertimbangkan sepenuhnya obyektivitas semata, atau ada unsur subyektivitasnya dalam memilih seorang Panglima TNI. Banyak varian yang harus dihitung tentunya, karena tidak bisa dihindarkan ada kepentingan, yang itu semua akan kembali kepada keputusan presiden,” katanya.
Effendi mengatakan, presiden tentunya juga mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh bangsa sehingga dalam pemilihan calon panglima, unsur obyektivitas juga akan mengemuka. Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang masih harus dihadapi oleh bangsa, presiden akan mempertimbangkan calon yang paling kompeten dan siap menghadapi kompleksitas persoalan.
Jika merujuk pada UU dan mengandaikan ada pergiliran jabatan panglima antara satu matra dengan matra lainnya, maka setelah Marsekal Hadi Tjahjanto dari Angkatan Udara (AU) menjabat panglima, maka selanjutnya giliran perwira tinggi dari Angkatan Laut (AL). Namun, ketentuan pergiliran itu, menurut anggota DPR, bukan sesuatu hal yang wajib dilakukan.
Ketentuan mengenai pergiliran jabatan panglima antarmatra itu tercantum di dalam Pasal 13 Ayat (4) UU TNI. Pasal itu berbunyi, ”Jabatan panglima sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.”
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golongan Karya Christina Aryani mengatakan, ketentuan di dalam UU itu bukan sesuatu hal yang wajib dilakukan. ”Soal ketentuan dapat dijabat bergantian juga bukan hal yang wajib. Itu sepenuhnya hak prerogatif presiden,” ucapnya.
Kendati demikian, Chistina berharap siapa pun yang nanti diajukan oleh presiden harus sanggup menguatkan soliditas antarmatra, visioner terukur, dan penuh inovasi di tengah segala keterbatasan. ”Ketiga Kepala Staf tentunya punya peluang yang sama,” ujarnya.
Siapa pun yang nantinya dicalonkan oleh presiden, lanjut Christina, Komisi I DPR akan terus mengawal kebijakannya, mulai dari keberpihakan anggaran, kesejahteraan matra, serta rencana strategis pertahanan negara secara umum di dalam rapat-rapat dengan panglima.
Semua berpeluang
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, semua Kepala Staf, baik dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara, secara formal bisa diangkat menjadi panglima. ”Semua memenuhi syarat. Tinggal saat ini (kriteria Panglima TNI) seperti apa yang diperlukan oleh situasi kondisi negara kita dan seperti apa yang diinginkan presiden. Bisa jadi dua hal itu bertemu bisa jadi terpisah,” katanya.
Tinggal saat ini (kriteria Panglima TNI) seperti apa yang diperlukan oleh situasi kondisi negara kita dan seperti apa yang diinginkan presiden.
Jika dilihat secara obyektif, menurut Sukamta, Indonesia sedang mengalami situasi sulit karena pandemi, sebagaimana juga negara-negara lain di dunia. Namun, yang harus diwaspadai ialah situasi ini bisa jadi segera terkendali, ataukah justru berubah menjadi tidak stabil. Baik situasi di dalam negeri maupun di lingkungan strategis di sekitar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
”Kalau pandemi segera dapat diatasi dengan parameter korban meninggal berhenti dan ekonomi mulai membaik, NKRI akan aman. Tetapi kalau sebaliknya, boleh jadi akan muncul ketidak puasan di mana-mana. Orang-orang kelaparan, buruh dikenai PHK, pedagang dan UMKM ambruk karena PPKM sambil ketakutan jiwanya terancam kena pandemi, itu akan menjadi kondisi yang berbahaya. Juga potensi separatisme yang boleh jadi menguat kalau melihat kondisi tidak terkendali,” katanya.
Apalagi jika lingkungan strategis Indonesia berubah drastis manakala pandemi tidak terkendali dan ketika semua negara dalam kondisi kacau. ”Pasti setiap negara akan mencari jalan sendiri-sendiri untuk bertahan. Belum lagi pergeseran kekuatan politik, ekonomi, militer negara adidaya yang boleh jadi akan mengambil panggung besar di laut China Selatan,” katanya.
Kombinasi kedua hal tersebut, menurut Sukamta, memerlukan kesiapan pertahanan dan keamanan negara paling optimal. Kesiapan tersebut pasti juga akan berkorelasi dengan Panglima TNI yang sedang memegang kepemimpinan saat itu. ”Mudah-mudahan presiden juga mempertimbangkan semua itu dengan hati-hati, cermat, dan tepat. Kami berharap kalau semua calon panglima memiliki kemampuan yang sama, paling tidak ya yang paling sedikit kesalahannya,” ucapnya.