Dibutuhkan Obyektivitas dalam Menentukan Calon Panglima TNI
Di tengah tarikan kepentingan Pemilu 2024, presiden diharap bersikap obyektif dalam menentukan calon Panglima TNI. Ada empat pendekatan yang bisa digunakan untuk menentukan calon itu, salah satunya rotasi antarmatra.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden diminta menentukan calon Panglima Tentara Nasional Indonesia secara obyektif. Pertimbangan rotasi matra penting untuk menjaga soliditas di tubuh TNI. Selain itu, rekam jejak calon panglima yang antikorupsi dan menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia juga perlu diperhatikan.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun pada November 2021. Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, masa dinas keprajuritan untuk perwira paling tinggi sampai usia 58 tahun. Merujuk Pasal 13 UU TNI, untuk mengangkat panglima, presiden mengusulkan satu calon untuk mendapatkan persetujuan dari DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Peneliti senior Imparsial, Al Araf, mengatakan, presiden hendaknya tidak terjebak dalam ruang politik saat menentukan calon Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Menurut dia, tidak bisa dimungkiri presiden dikelilingi banyak pihak yang akan saling merekomendasikan nama calon. Rekomendasi yang dimaksud cenderung menggunakan cara pandang politis terkait Pemilu 2024.
”Dalam konteks tersebut, proses penggantian Panglima TNI harus benar-benar dilakukan secara obyektif,” kata Al Araf saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Ia menambahkan, proses yang obyektif mengacu pada norma yang diatur dalam UU TNI. Pada Pasal 13 Ayat (4) UU TNI disebutkan bahwa jabatan panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi dari setiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Artinya, terdapat tiga kandidat yang berpeluang untuk dicalonkan, yakni Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo. ”Ketiganya sama-sama punya peluang,” ujarnya.
Menurut Araf, tanpa mempertimbangkan pola rotasi antarmatra, penggantian Panglima TNI dapat menimbulkan kecemburuan antarmatra. Kecenderungan dominasi salah satu matra dalam pengisian jabatan tertinggi itu juga bisa mengancam soliditas internal TNI. ”Pola rotasi penting untuk memastikan keseimbangan dan keadilan serta membangun soliditas di tubuh TNI,” ujarnya.
Meski demikian, kata Araf, pertimbangan rotasi juga harus diikuti dengan rekam jejak bersih dari korupsi serta bebas dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komnas HAM perlu dilibatkan untuk melacak rekam jejak ketiga kepala staf.
Segera ajukan
Sekalipun masa pensiun Hadi Tjahjanto akan tiba tiga bulan mendatang, hingga saat ini Presiden Joko Widodo belum mengajukan nama calon pengganti Panglima TNI ke DPR. Araf menilai, hal itu menunjukkan bahwa presiden masih memercayai Hadi Tjahjanto untuk memimpin TNI hingga memasuki masa pensiun.
Meski demikian, kata Araf, pengajuan calon Panglima TNI perlu segera dilakukan. Sebab, setelah diajukan, DPR berhak untuk tidak menyetujuinya. Jika demikian, presiden perlu untuk mengajukan nama lain. Selain itu, calon yang diajukan juga masih perlu mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR, sebelum dilantik.
Peneliti Lab 45, Andi Widjajanto, mengatakan, merujuk pada UU TNI, presiden berwenang untuk mengganti panglima kapan saja. Dari segi waktu pengajuan, ia menilai ada dua pertimbangan utama presiden, yakni menunggu masa sidang DPR untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan atau menunggu momentum Hari TNI 5 Oktober 2021.
Terkait nominasi Panglima TNI, terdapat empat pendekatan yang bisa digunakan presiden menentukan calon. ”Pendekatan yang dimaksud, yakni rotasi antarmatra, regenerasi kepemimpinan, operasi gabungan, dan stabilitas politik,” kata dia.
Dalam pendekatan rotasi antarmatra, Panglima TNI sebaiknya dijabat oleh KSAL Yudo Margono. Sebab, sejak 2002 sudah ada tujuh panglima yang memimpin TNI, empat di antaranya dari AD, dua panglima dari AU, dan satu panglima dari AL. Terlebih, sejak doktrin Poros Maritim Dunia diinisiasi pada 2014, jabatan Panglima TNI belum pernah dijabat oleh perwira dari AL.
Dalam pendekatan regenerasi kepemimpinan, ia menambahkan, sebaiknya Panglima TNI dijabat oleh KSAL Yudo Margono atau KSAU Fadjar Prasetyo yang berasal dari Angkatan 1988. Pendekatan ini mengutamakan pengangkatan panglima dengan memperhatikan kebutuhan untuk mengelola pergerakan gerbong perwira. Sebab, Angkatan 1988 jumlahnya dua kali lipat lebih besar ketimbang angkatan lainnya.
Jika dilihat dari doktrin operasi gabungan, idealnya Panglima TNI pernah menduduki jabatan strategis kotama operasi atau pembinaan gabungan seperti Panglima Kogabwilhan, Komandan Kodiklat TNI, dan Kasum TNI. Dalam pendekatan tersebut, kandidat kuatnya adalah KSAL dan KSAU yang sama-sama pernah menjadi Pangkogabwilhan. Adapun Yudo Margono pernah menjabat Pangkogabwilhan I, sedangkan Fadjar Prasetyo pernah menjabat sebagai Pangkogabwilhan II.
Dari segi stabilitas politik, presiden sebaiknya memilih KSAD Jenderal Andika Perkasa. Sebab, pendekatan ini mengedepankan kemampuan kandidat dari matra AD yang lebih memiliki kendali terhadap kotama kewilayahan yang diperlukan untuk memelihara stabilitas politik.