Generasi “Imigran Digital” Rentan Terpapar Hoaks Seputar Covid-19
Generasi imigran digital yang lahir sebelum 1980 dan tidak tumbuh dalam budaya digital rentan terpapar hoaks seputar Covid-19, salah satunya penyangkalan terkait Covid-19 yang disebarkan dokter Lois.
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok imigran digital, generasi yang lahir sebelum tahun 1980 dan tidak tumbuh dalam budaya digital, merupakan kelompok yang paling rentan terpapar berita bohong di tengah penyebaran hoaks seputar Covid-19. Keterbatasan kemampuan memverifikasi informasi membuat mereka mudah terpengaruh hoaks.
Berita bohong atau hoaks menyebar luas seiring dengan lonjakan kasus Covid-19. Pada periode Januari-Desember 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 787 hoaks seputar Covid-19 atau 37 persen dari total hoaks yang ditemukan. Adapun pada Januari— Juli 2021, sudah ada 271 hoaks Covid-19 yang beredar di dunia maya.
Lebih dari seribu jenis hoaks itu menyebar di berbagai platform media sosial. Pada 2020, sebagian besar tersebar di Facebook (63 persen), disusul aplikasi percakapan Whatsapp (14 persen), Twitter (10 persen), Instagram (2 persen), dan Youtube (1 persen). Sisanya ada di blog, dan media lainnya.
Selain baru mengenal dunia digital saat dewasa, kelompok imigran digital ini rentan menjadi korban hoaks karena kemampuan dalam memverifikasi informasi di dunia maya dinilai terbatas.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, hoaks Covid-19 tidak ditujukan pada kalangan tertentu. Sasaran penerima hoaks sangat bervariasi karena kelompok penyangkal Covid-19 pun bermacam-macam, bergantung pada basis penyangkalan mereka. Misalnya, kelompok yang menolak karena alasan agama akan mudah menerima berita bohong terkait vaksinasi Covid-19. Adapun mereka yang anti-farmasi akan mudah terpapar hoaks seputar terapi herbal.
”Dari segi usia, yang paling rentan adalah kelompok digital immigrant atau berusia 35 tahun ke atas,” kata Septiaji dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/7/2021).
Selain baru mengenal dunia digital saat dewasa, kelompok imigran digital ini rentan menjadi korban hoaks karena kemampuan dalam memverifikasi informasi di dunia maya dinilai terbatas. Sementara itu, umumnya mereka menempati posisi pengambil keputusan di lingkungannya.
Baca juga: Skeptisisme Kunci Menghadapi Infodemi
Oleh karena itu, kata Septiaji, antisipasi penyebaran hoaks semestinya dilakuan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama sebagai agen edukasi. Masyarakat perlu mengetahui perkembangan informasi secara rutin, terutama untuk isu prioritas yang berpotensi berdampak pada perilaku mereka.
”Akan lebih baik lagi jika pemerintah berinisiatif memasang poster di kantor desa, kecamatan, puskesmas, atau rumah sakit tentang hoaks yang terkini sehingga masyarakat bisa lebih waspada,” ujarnya.
Salah satu yang ditengarai dapat memengaruhi masyarakat adalah hoaks yang disebarkan dokter Lois Owien, praktisi antipenuaan yang juga seorang pemengaruh (influencer) di media sosial. Sepekan terakhir, ia menyebarkan narasi penyangkalan Covid-19 di berbagai platform media sosial.
Narasi yang dimaksud di antaranya terkait kematian pasien Covid-19 bukan disebabkan oleh virus, melainkan keracunan obat, vaksin Covid-19 dapat menurunkan imunitas, Covid-19 bukanlah virus. Akibat unggahannya, Lois pun ditangkap polisi.
Narasi yang disebarkan Lois melalui akun @LsOwien beririsan dengan tiga kelompok, yakni antivaksin, pendukung teori konspirasi, dan sebagian kelompok oposisi pemerintah. Ketiga kelompok itu pun menjadi pendukung narasi penyangkalan Covid-19.
Dihubungi terpisah, Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi menjelaskan, mengacu analisis jejaring sosial (social network analysis) yang dilakukan dari Twitter pada periode 5-11 Juli 2021, narasi yang disebarkan Lois melalui akun @LsOwien beririsan dengan tiga kelompok, yakni antivaksin, pendukung teori konspirasi, dan sebagian kelompok oposisi pemerintah. Ketiga kelompok itu pun menjadi pendukung narasi penyangkalan Covid-19 yang disampaikan.
Akibatnya, akan selalu ada pihak-pihak yang menggunakan narasi, grafis, dan video Lois dalam konteks yang berbeda sesuai dengan narasi yang ingin mereka sampaikan. Narasi campuran itu yang selanjutnya disebarkan ke grup aplikasi percakapan Whatsapp.
Penyebaran di grup Whatsapp yang akan membuat narasi hoaks cepat viral. Penyebaran juga tidak bisa dipantau, khususnya di dalam jejaring tiga kelompok pendukung Lois. ”Ini mudah memengaruhi pengguna, khususnya dari kalangan yang tidak bisa melakukan verifikasi, seperti orang tua dan pemercaya pandangan post-truth,” kata Ismail.
Baca juga: Riset Mendalam Hindarkan Kebijakan dari Disinformasi
Menurut Ismail, diskusi dengan pemengaruh yang menyangkal Covid-19 terbukti tidak efektif. Selain berkeyakinan kuat, mereka juga didukung kelompok satu frekuensi yang cukup besar.
”Dalam kondisi pandemi yang masih berat ini, perlu ketegasan pemerintah terhadap pemengaruh yang menyebarkan pandangan kontroversial bagi kesehatan atau nyawa orang lewat jalur hukum yang adil,” kata Ismail.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menunjukkan konsistensi dalam membuat kebijakan dan implementasinya. Itu dibutuhkan untuk membangun kepercayaan publik. Selama ini, ketidakpercayaan publik terhadap penangangan pandemi Covid-19 mendominasi kecenderungan emosi publik. ”Ketidakpercayaan ini yang membuat sebagian masyarakat mempercayai pemengaruh penyangkal Covid-19 yang memiliki irisan narasi,” tutur Ismail.
Penanganan
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, penanganan hoaks dan disinformasi dilakukan secara komprehensif, dari hulu hingga ke hilir. Di hulu, pihaknya membangun Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, yaitu peningkatan kecakapan 12,4 juta masyarakat di 514 kabupaten/kota pada 34 provinsi setiap tahun. Ditargetkan, gerakan ini Sudah menyentuh 50 juta masyarakat pada 2024.
Kominfo bekerja sama dengan platform digital untuk memutus akses konten yang mengandung hoaks dan disinformasi. Kerja sama juga dijalin dengan kepolisian untuk penegakan hukum di ruang digital secara selektif. ”Kami juga melakukan hoax debunking bersama pemeriksa fakta dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan pelaku industri dengan menerbitkan klarifikasi terhadap hoaks dan disinformasi yang beredar,” kata Johnny.
Baca juga: Orang-orang Resah di Tengah Kegelapan Digital
Terkait penyebaran hoaks oleh pemengaruh berprofesi dokter, Johnny mengajak semua tenaga kesehatan menggunakan ilmu yang dimiliki untuk kebaikan bersama. Kebaikan yang dimaksud adalah menyehatkan dan menguatkan persatuan bangsa.
”Kami tentu sangat menyesalkan ada para tenaga terdidik, para profesional kesehatan dan ilmuwan yang dengan dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan false information merugikan masyarakat. Ini berpotensi dianggap sebagi bagian dari kejahatan intelektual,” ujarnya.
Kami tentu sangat menyesalkan ada para tenaga terdidik, para profesional kesehatan dan ilmuwan yang dengan dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan false information merugikan masyarakat. (Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate)
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Slamet Uliandi menjelaskan, hingga Selasa, Lois telah menjalani serangkaian pemeriksaan. Ia mengklarifikasi pernyataan-pernyataannya tentang pandemi Covid-19 sebagai dokter.
Menurut Slamet, Lois mengakui bahwa pandangannya merupakan opini pribadi yang tidak didasarkan pada penelitian. Pernyataannya tidak memiliki pembenaran dari otoritas kedokteran. Perbuatannya pun diakui tidak dapat dibenarkan dalam kode etik profesi kedokteran.
Baca juga: Membangun Daya Kritis Masyarakat di Era Banjir Informasi
Dari pengakuan itu, polisi menyimpulkan bahwa Lois tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia dinilai tidak akan menghilangkan barang bukti dan melarikan diri. Oleh karena itu, Lois dipulangkan dan tidak ditahan.
Mengenai reproduksi konten yang dimaksudkan memengaruhi opini publik, kata Slamet, Polri mengedepankan upaya keadilan restoratif. Itu dilakukan agar permasalahan serupa tidak terulang. Namun, ia memberikan catatan bahwa Lois bisa diproses lebih lanjut oleh otoritas profesi kedokteran.
”Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remidium. Polri dalam hal ini mengendepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain,” kata Slamet.