BPK Nilai Kinerja Pencegahan KPK Tak Efektif
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020 BPK menyebutkan pengelolaan fungsi pencegahan korupsi di KPK belum efektif. Penyebabnya di antaranya perubahan aturan terkait tugas dan fungsi koordinasi pencegahan.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada semester II 2020 menyebutkan bahwa kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di bidang pencegahan tidak efektif. Tidak efektifnya kinerja pencegahan itu disebabkan oleh regulasi yang tidak mendukung.
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 yang dipublikasi di situs resmi BPK menyebutkan bahwa efektivitas pengelolaan fungsi pencegahan korupsi di KPK belum sepenuhnya efektif.
Penyebabnya di antaranya perubahan aturan terkait tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan. Penyusunan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 belum didukung kajian, analisis, dan penyelarasan yang memadai.
Anggota BPK, Harry Azhar Azis, saat dikonfirmasi mengenai IHPS Semester II-2020 itu membenarkan. Namun, terkait substansi audit kinerja KPK, dia mengaku tak berwenang menjelaskan. Sebab, audit itu dipimpin oleh anggota BPK lainnya.
Temuan BPK juga menunjukkan ada fungsi yang tidak lagi diatur dalam Perkom No 7/2020, yaitu kewenangan dan unit kerja pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan terkait pengelolaan titipan uang sitaan dan uang gratifikasi.
Akibatnya, upaya untuk memperkuat fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Ada potensi tidak terlaksananya payung hukum tersebut.
Selain itu, BPK juga mengungkap pencegahan korupsi melalui fungsi kooordinasi dan monitoring pada kegiatan monitoring center for prevention (MCP) belum dilaksanakan secara memadai. Dukungan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring pencegahan korupsi belum optimal. Selain itu, proses penyusunan indikator dan subindikator serta pembobotan nilai area intervensi pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum memadai.
Baca juga: Organ Baru KPK dan Pemberantasan Korupsi di Daerah
Kegiatan itu juga belum melibatkan kementerian, lembaga, dan pemda sebagai pemangku kepentingan. Akibatnya, penerapan pedoman kegiatan monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemda juga belum konsisten. Kegiatan pengawasan pada pusat pencegahan oleh Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) juga belum optimal dalam mendukung upaya pencegahan korupsi.
Tidak ada penyimpanan
Audit BPK juga menyebutkan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tindak pidana korupsi belum efektif. Fungsi penindakan dan eksekusi belum mendukung pengelolaan benda sitaan, rampasan, dan sita eksekusi secara memadai.
Di Direktorat Penyelidikan, pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolan barang sitaan masih dikuasai oleh penyelidik atau satgas penyelidikan. Selain itu, Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum menyusun dan menetapkan prosedur standar operasi (SOP) yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data surat tanda penerimaan barang bukti (STPBB).
BPK juga mengingatkan, KPK juga belum memiliki fasilitas penyimpanan barang bukti yang memadai. Akibatnya, tujuan pengembangan aplikasi untuk mendukung pengelolaan data dan informasi administrasi penindakan secara lengkap, terintegrasi, mutakhir, dan akurat tak tercapai.
Pengelolaan barang titipan di tahap penyelidikan tak terukur dan belum dapat dievaluasi kinerjanya secara akurat. Selain itu, masih ada inkonsistensi pelaksanaan penyimpanan barang sitaan dengan SOP sehingga informasi barang dalam tahap penyedilikan tidak akurat dan transparan.
BPK juga mengeluarkan tiga rekomendasi kepada Ketua KPK, yakni agar menyempurnakan Perkom No 7/2020 sesuai UU No 19/2019 tentang KPK, menyusun SOP terkait penetapan dan perubahan kegiatan MCP, serta menetapkan SOP terkait mekanisme pengelolaan benda sitaan di tahap penyelidikan dan menginventarisasi secara lebih transparan.
Sudah ditindaklanjuti
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati saat dikonfirmasi mengatakan, audit BPK adalah dalam konteks pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas kinerja KPK pada semester II tahun 2020 di unit Kerja Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi). Saat audit berlangsung, KPK juga berinisiatif meminta cakupan audit diperluas ke Kedeputian Pencegahan.
Sebab, KPK ingin mendapatkan penilaian yang obyketif dari BPK tentang kinerja fungsi pencegahan yang dilakukan oleh Direktorat LHKPN, Gratifikasi, Litbang, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas), dan Korsupgah.
”Namun, BPK hanya menyetujui unit kerja Korsupgah yang akan diaudit kinerjanya karena keterbatasan sumber daya manusia,” kata Ipi.
Terkait dengan rekomendasi BPK, KPK juga akan menindaklanjutinya. BPK merekomendasikan perbaikan Perkom No 7/2020. Secara spesifik, BPK juga menyebutkan tupoksi Direktorat Labuksi membuat aplikasi terkait pengelolaan aset, barang bukti, dan eksekusi. Sekarang, hal itu merupakan tugas pada Direktorat Pengelolaan Data dan Informasi atau Direktorat Manajemen Informasi.
Baca juga: Curi Barang Bukti 1,9 Kg Emas, Pegawai KPK Dipecat dan Dipidana
”KPK menghormati hasil audit BPK dan telah menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan. Tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan Perkom No 7/2020 saat ini sedang berjalan sebagaimana telah diputuskan dalam rapat evaluasi atas audit kinerja pada April 2021,” kata Ipi.
Rekomendasi lain yaitu BPK meminta perbaikan MCP berupa penguatan dukungan sarana dan prasarana di pemda, revisi indikator penilaian agar lebih tajam dan realistis, dan pelibatan kementerian/lembaga/pemda sebagai pemangku kepentingan, serta penerapan pedoman monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemda.
Atas rekomendasi itu, KPK telah menindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian kerja sama antara Deputi Koordinasi dan Supervisi dengan Deputi Bidang Akuntan Negara dan Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di antaranya untuk pengelolaan MCP melalui perwakilan BPKP di 34 provinsi. KPK juga sedang memproses pengelolaan delapan elemen MCP bersama Kemendagri, BPKP, dan 34 kantor perwakilan BPKP.
”Permintaan KPK agar BPK mengaudit pencegahan yang dilakukan oleh KPK juga didasarkan pada tujuan untuk terus meningkatkan kinerja di bidang pencegahan. Dengan demikian,, menurut kami, kurang tepat jika menyimpulkan efektivitas upaya pencegahan KPK hanya dengan sampel dari unit Korsupgah,” kata Ipi.
Masalah serius
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, temuan BPK menunjukkan bahwa Perkom No 7/2020 dibuat oleh KPK dengan terburu-buru sehingga tidak matang. Perkom itu juga berpotensi bertentangan dengan pasal-pasal di UU KPK, yang tidak mengubah ketentuan pada UU KPK lama. Kebijakan pimpinan KPK untuk menambah nomenklatur jabatan baru justru dianggap membuat struktur organisasi dan jabatan di KPK membengkak. Adapun di UU KPK, Kedeputian di KPK hanya mencakup empat bidang.
”Selain itu, kalau audit BPK ini menyasar pada fungsi pencegahan di KPK, ternyata tidak menunjukkan hal positif. Padahal, itu fokus komisioner KPK periode 2019-2023 yang sering digembar-gemborkan. Ternyata ada masalah serius di aspek pencegahan,” kata Kurnia.
Terkait dengan pengelolaan barang sitaan dan rampasan, menurut Kurnia, isu itu menjadi penting dalam aspek penindakan. Sebab, barang sitaan berfungsi untuk pembuktian dalam penanganan perkara atau berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Adapun terkait dengan barang rampasan, hal itu berkaitan erat dengan pemulihan kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi.
”Sangat janggal jika ditemukan fakta pengaturan tidak terlalu rinci di dalam perkom. Bahkan, hasil audit BPK menyebutkan tak ada pos untuk menyimpan barang bukti. Ini akhirnya membuka celah penyelewengan, yaitu pencurian barang sitaan,” kata Kurnia.