Konsultasi Hukum: Hak Waris Sesuai Wasiat Ayah
Dalam hal ini ayah Anda telah membuat wasiat dengan akta umum, karena dibuat di hadapan notaris. Oleh karenanya, secara formalitas akta wasiat tersebut sah menurut hukum.
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat, melalui konsultasi hukum yang dimuat di Kompas.id. Warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Pertanyaan dan jawaban akan dimuat setiap hari Sabtu. Terima kasih
Pertanyaan :
Tahun 1978 sebelum meninggal, ayah saya membuat wasiat tertulis di depan notaris, memberikan tanah dan rumah yang kami tempati saat ini kepada saya, dengan pesan jika tanah dan rumah itu dijual, dua adik lelaki saya diberikan bagian. Tahun 1979 ayah saya meninggal. Salah seorang adik lelaki saya meninggal tahun 2006, dan memiliki empat anak di bawah tangan. Apakah anak-anak itu berhak atas tanah dan bangunan yang kami tempati? Mereka membuat sertifikat tanah yang diduga palsu atas tanah dan bangunan yang dihibahkan kepada saya. Tahun 2018 anak-anak dan ibunya itu mengajukan penetapan di pengadilan sebagai anak-anak sah Adik lelaki saya dan dikabulkan. Apakah mereka punya hak atas tanah dan bangunan yang kami pakai? Sertifikat tanah yang kami tempati itu dipalsukan menjadi atas nama mereka dan saya, atas bantuan seorang notaris. Apakah ini sah dan apa langkah hukum yang bisa kami lakukan? Bisakah saya menggugat secara perdata dan melaporkan secara pidana secara bersamaan? (RP, Kota Pekalongan, Jawa Tengah)
Jawaban:
Oleh Advokat Dr Euis Mulyati Sukarya SH MH CTA, Sekretaris Bidang Publikasi, Hubungan Masyarakat dan Protokoler DPN Peradi.
Terima kasih Bapak/Ibu RP di Kota Pekalongan, Jawa Tengah atas beberapa pertanyaan yang disampaikan. Sebelum menjawab pada pokok masalah, terlebih dahulu kami akan menguraikan mengenai wasiat atau testamen.
Wasiat atau testamen adalah merupakan suatu akta yang berisi pernyataan yang diinginkan oleh seseorang atas harta kekayaannya yang baru berlaku, tatkala dia meninggal dunia dan dapat diubah sepanjang yang bersangkutan masih hidup (Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / KUH Perdata).
Wasiat juga dikenal dalam Hukum Islam, sebagaimana ketentuan Pasal 171 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam / KHI yang ditegaskan dengan Pasal 195 KHI yang menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Artinya, wasiat merupakan bentuk tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan berlaku dan dilaksanakan setelah orang yang memberi wasiat itu meninggal dunia.
Bentuk-bentuk Wasiat :
- Wasiat Olografis, yaitu surat wasiat yang ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup (Pasal 931 KUH Perdata)
Wasiat Olografis harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpan, dengan dua orang saksi. Notaris langsung membuat akta penitipan yang harus ditandatangani olehnya, oleh pewaris, dan para saksi. Akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat, bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel. Dalam hal terakhir ini, di hadapan Notaris dan para saksi pewaris harus membubuhkan di atas sampul itu sebuah catatan dengan tanda tangan yang menyatakan, bahwa sampul itu berisi surat wasiatnya (Pasal 932 KUH Perdata)
- Wasiat Umum, yaitu wasiat yang dibuat dengan akta umum harus dibuat di hadapan Notaris dan 2 (dua) orang saksi (Pasal 938 KUH Perdata)
Notaris harus menulis atau menuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas menurut apa adanya apa yang disampaikan oleh pewaris kepadanya.
- Wasiat Rahasia yaitu Surat Wasiat yang yang dilakukan oleh pewaris secara tertutup / rahasia, pewaris harus menandatangani penetapannya, baik jika ia sendiri yang menulisnya ataupun menyuruh orang lain menulisnya. Kertas yang memuat penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, harus tertutup dan disegel. (Pasal 940 KUH Perdata).
Pewaris juga harus menyampaikannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan 4 (empat) orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri atau ditulis orang lain dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.
- Wasiat Darurat yaitu surat wasiat yang dibuat dalam keadaan perang (Pasal 946 KUH Perdata), surat wasiat yang dibuat orang-orang yang sedang berlayar (Pasal 947 KUH Perdata), surat wasiat yang dibuat oleh mereka yang berada di tempat yang dilarang berhubungan dengan dunia luar, karena berjangkitnya penyakit pes atau penyakit menular lainnya, boleh membuat wasiat mereka di hadapan setiap pegawai negeri dan 2 (dua) oeang saksi. (Pasal 948 KUH Perdata).
Dalam hal ini ayah Anda telah membuat wasiat dengan akta umum, karena dibuat di hadapan notaris. Oleh karenanya, secara formalitas akta wasiat tersebut sah menurut hukum.
Persoalannya salah seorang adik laki-laki Anda pada tahun 2006 meninggal dunia dengan meninggalkan 4 (empat) orang anak di bawah tangan (mungkin maksud Anda menikah dengan isterinya secara dibawah tangan), kemudian apakah anak-anak itu berhak atas tanah dan bangunan yang Anda tempati ?
Mereka membuat sertifikat tanah yang diduga palsu atas tanah dan bangunan yang dihibahkan kepada Anda, lalu pada tahun 2018 anak-anak dan ibunya mengajukan penetapan pengadilan sebagai anak sah dari adik lelaki Anda dan dikabulkan, apakah mereka berhak atas tanah dan bangunan yang anda tempati?
Dengan adanya Penetapan Pengadilan, bahwa anak-anak dari adik lelaki Anda adalah anak sah, maka kedudukan anak-anak tersebut menjadi ahli waris yang sah dari ayahnya (adik lelaki Ada). Oleh karena ayahnya telah meninggal dunia lebih dahulu, maka dalam hukum kewarisan mereka menggantikan kedudukan ayahnya, sebagaimana diatur sebagai berikut :
Pewarisan menurut KUH Perdata dikenal adanya dua macam cara untuk memperoleh kedudukan sebagai waris yaitu :
- Atas diri sendiri ( uit eigen hoofed)
- Penggantian waris ( plaat vervulling)
Adapun menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 841 - Pasal 848 KUH Perdata, juga pada Pasal 975 KUH Perdata yang mengatur masalah tersebut menyebutkan bahwa :
“Memungkinkan bahwa ahli waris pengganti itu dalam garis lancang ke bawah dan dalam garis lancang ke samping dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan”.
Pasal 852 KUH Perdata :
“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka atau keluarga sedarah mereka, selanjutnya dalam garis keatas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan si mati mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri. Mereka mewarisi pancang, bila mereka semua atau sebagian mewarisi sebagai pengganti”.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai ahli waris pengganti pada Pasal 185 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa :
“Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”. Serta Pasal 185 ayat (2) KHI menyatakan bahwa : “Bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
Dalam wasiat yang diterima oleh anda menyatakan: “jika tanah dan rumah itu dijual, dua adik lelaki diberikan bagian, oleh karena salah seorang adik lelaki Anda telah meninggal dunia terlebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh keempat orang anak tersebut, sehingga keempat orang anak tersebut berhak atas bagian dari tanah dan bangunan yang Anda tempati".
Dugaan Anda pada tahun 2006 mereka telah membuat sertifikat palsu atas tanah dan bangunan yang dihibahkan kepada anda, hal tersebut perlu dibuktikan dulu secara pidana, dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan mereka telah dinyatakan bersalah memalsukan sertifikat tersebut, namun jika belum dibuktikan sebaliknya, maka mereka sah mendapat bagian sesuai porsinya.
Menurut dugaan anda sertifikat tanah yang ditempati Anda dipalsukan menjadi atas nama mereka dan atas nama Anda, atas bantuan seorang notaris. Apakah ini sah dan langkah hukum apa yang bisa dilakukan ? Bisakah menggugat secara perdata dan melaporkan secara pidana secara bersamaan ?
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, jika sertifikat tanah dan bangunan tersebut belum dibuktikan palsu atau tidaknya berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka sertifikat tersebut sah adanya.
Langkah hukum yang bisa anda lakukan :
- Dapat mengajukan gugatan pembatalan sertifikat tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada Wilayah Hukum di mana Badan / Pejabat Tata Usaha Negara (dalam hal ini Kantor Pertanahan yang menerbitkan sertipikat tersebut) sebagai Tergugat;
Jika Badan / Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan sertifikat berbeda dengan yang menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak tersebut, misalnya yang menerbitkan SK-nya, adalah Kanwil BPN Wilayah tersebut, maka harus dijadikan Tergugat juga;
Namun, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara perlu diingat adanya tenggang waktu 90 (Sembilan puluh hari) sejak diterimanya / diketahuinya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut, baik berupa Sertipikat maupun SK Pemberian Haknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).
Sebelum diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif. Yang mensyaratkan pengadilan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif, yaitu diajukan surat keberatan kepada Pejabat TUN penerbit KTUN tersebut, jika tidak dibalas dalam 10 (sepuluh) hari dianggap ditolak Pasal 75 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka diajukan Banding Administrasi kepada Instansi atasannya langsung Pasal 76 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jika ditolak atau tidak ditanggapi dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari, baru dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
- Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) secara Perdata pada Pengadilan Negeri di mana Tergugat atau Para Tergugat atau salah seorang Tergugat bertempat tinggal/ berdomisili Pasal 118 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau dimana benda itu (tanah yang menjadi obyek sengketa itu) berada. Jika Notaris dianggap terlibat maka dapat dijadikan Tergugat atau Turut Tergugat, selain Ibu dan 4 (empat) orang anak-anaknya yang menjadi Para Tergugat;
- Membuat Laporan Pidana pada kepolisian setempat, biasanya untuk masalah pertanahan bisa dilaporkan di Polres atau di Polda di mana Tempat Kejadian Perkara (TKP) berada, dengan dugaan adanya pemalsuan baik membuat surat palsu, akta palsu atau memberikan keterangan palsu kedalam akta otentik, sesuai dengan ketentuan Pasal 263, 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). yang menjadi Terlapor Ibu dan 4 (keempat) anaknya tersebut, serta Notaris yang turut serta/ membantu melakukan.
Sepengetahuan saya, tidak ada larangan bagi anda untuk mengajukan gugatan perdata maupun membuat laporan pidana secara bersamaan.
Anda jangan terjebak dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 (PERMA) tentang Acara Pengadilan yang berlaku di Indonesia, dalam Pasal 1 yang meyatakan:
“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”
Hal ini berlaku jika perkara perdata sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri, maka pemeriksaan perkara pidana tersebut seharusnya ditangguhkan terlebih dahulu menunggu putusan perdata berkekuatan hukum tetap. Sebab tidak menutup kemungkinan jika putusan perdata menyatakan bahwa seseorang itu merupakan pemiliknya, namun seseorang itu terlanjur dihukum. Guna menghindari putusan yang bertentangan tersebut, sebaiknya pemeriksaan perkara pidana tersebut ditangguhkan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat, salam sehat.
Dasar Hukum dan Peraturan lainnya :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun1986
- Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI)
- Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1956 Tentang Acara Pengadilan yang berlaku di Indonesia.