Pasal tentang Sifat Putusan DKPP Final dan Mengikat Digugat ke MK
Ketentuan yang mengatur keputusan DKPP bersifat final dan mengikat dalam UU Pemilu digugat ke MK. Pasal itu dinilai menghambat penyelenggara pemilu mengajukan keberatan setelah diputus melanggar etik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Komisi Pemilihan Umum, Evi Novida Ginting dan Arief Budiman, mengajukan uji materi Pasal 458 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/6/2021). Pasal tersebut mengatur tentang putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang bersifat final dan mengikat.
Kuasa hukum penggugat, Fauzi Heri, seusai mendaftarkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, alasan uji materi tersebut adalah para pemohon prinsipal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat. Dengan keberadaan pasal itu, hak para pemohon untuk melakukan upaya hukum di pengadilan terhalangi.
Seperti diberitakan sebelumnya, DKPP melalui putusannya memberhentikan Evi Novida Ginting karena dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Putusan itu dijatuhkan pada 18 Maret 2020. Pemohon, yaitu Hendri Makaluasc, menganggap Evi tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan pemilu berintegritas yang memastikan kemurnian suara pemilih sesuai desain sistem pemilu proporsional terbuka dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Evi kemudian melakukan upaya hukum, yaitu menggugat keputusan presiden yang memberhentikan jabatannya secara tidak hormat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Evi pun menang sehingga kembali diangkat sebagai komisioner KPU.
Kemudian, pada 13 Januari 2021, DKPP kembali menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Arief Budiman sebagai ketua KPU. DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU. Arief diadukan kepada DKPP karena menemani Evi yang berstatus non-aktif sebagai anggota KPU saat mendaftarkan gugatan ke PTUN. Arief juga diadukan karena membuat putusan yang dianggap melampaui kewenangannya saat meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU.
”Para pemohon yang saat ini masih menjabat anggota KPU periode 2017-2022 yang telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat untuk mendapat perlakuan yang sama di mata hukum,” ujar Fauzi.
Batu uji yang digunakan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 458 Ayat (1) UU Pemilu itu adalah Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945. Pasal-pasal itu mengatur tentang negara hukum, persamaan kedudukan di dalam hukum, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, serta hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai persamaan dan keadilan.
”Pengujian pada Pasal 458 Ayat (13) terutama adalah pada sebagian frasa dan kata tentang putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ujar Fauzi.
Selain batu uji pasal-pasal dalam konstitusi, Fauzi juga mendalilkan Putusan MK No 31/2012 yang menyatakan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hukum, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak tepat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Sebab, DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU. Oleh karena itu, sifat final dan mengikat dari putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, maupun Bawaslu.
Adapun untuk keputusan presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, maupun Bawaslu, dinilai merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi obyek gugatan di PTUN. Keputusan untuk memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan presiden, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, maupun Bawaslu dianggap merupakan kewenangan PTUN.
”DKPP bukanlah badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang menjalankan peradilan,” kata Fauzi.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, menyatakan sejumlah ketentuan pasal yang mengatur soal sifat putusan DKPP sebagai pasal konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai keputusan yang dapat diuji langsung ke PTUN.
Terkait dengan gugatan itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK telah menerima pengajuan permohonan uji materi UU Pemilu. Selanjutnya, bagian kepaniteraan MK akan memeriksa kelengkapan permohonan dan bukti-bukti yang diajukan. Apabila telah lengkap dan memenuhi syarat formil pengajuan permohonan, MK segera meregistrasi perkara tersebut.
”Setelah perkara diregistrasi, Ketua MK segera menunjuk majelis panel dan menjadwalkan sidang pemeriksaan pendahuluan,” ujar Fajar.