Kemenhan Targetkan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional Masuk Prolegnas 2022
Ide untuk mengelola ruang udara nasional sudah ada sejak 2003 dan belum kunjung tuntas hingga saat ini. Kini, Kementerian Pertahanan menargetkan draf RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional bisa masuk Prolegnas 2022.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertahanan menargetkan draf Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional bisa masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas pada 2022. Regulasi untuk mengatur wilayah udara Indonesia dibutuhkan guna menindak pelanggaran, sekaligus menyelesaikan tumpang tindih pengendalian wilayah dengan negara lain.
Hal itu mengemuka dalam seminar bertajuk ”Sinergitas Pengelolaan Ruang Udara Nasional”, Rabu (2/6/2021), yang diselenggarakan secara hibrid, daring dan luring. Seminar dihadiri Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Novyan Samyoga, Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Pertama Muhammad Idris, dan Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almahsyari.
Marsekal Pertama Muhammad Idris mengatakan, penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU PRUN) ditargetkan selesai akhir 2021. Dengan begitu, pemerintah dapat pula mencapai target untuk mengajukannya ke DPR sebagai salah satu RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2019-2024 dan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022.
Idris menambahkan, penyelesaian draf RUU PRUN penting karena ide untuk mengelola ruang udara nasional sudah ada sejak 2003 dan belum kunjung tuntas hingga saat ini. Selama belasan tahun, pembahasan berpindah ke beberapa instansi, mulai dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), hingga Kemenhan mulai dari 2018.
Padahal, UU tersebut dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum pengelolaan ruang udara nasional. Tanpa regulasi yang jelas, kerap terjadi pelanggaran dan konflik kepentingan dalam penggunaan ruang udara Indonesia.
Menurut Idris, dalam rancangan yang kini tengah dibahas, RUU PRUN mengatur beberapa hal, di antaranya soal pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Ruang Udara. Badan yang dimaksud bersifat koordinatif, tugasnya menyusun kepentingan strategis nasional terkait pengelolaan ruang udara serta mengoordinasikan pembinaan, penaatan, dan pengendalian udara.
RUU PRUN juga memberikan kewenangan kepada TNI Angkatan Udara sebagai penyidik khusus dalam pidana pengelolaan ruang udara. Hal ini dimungkinkan karena UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan kewenangan penegakan hukum kepada TNI.
TNI AU juga dinilai mampu menjadi penyidik, baik dari segi sumber daya manusia maupun fasilitas yang dibutuhkan. Dengan begitu, pelanggaran yang terjadi di lingkup pengelolaan ruang udara akan disidik TNI AU, lalu diserahkan ke kejaksaan.
Pelanggaran
KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, pelanggaran wilayah udara nasional masih sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir, baik dilakukan masyarakat sipil maupun pesawat militer asing. Ia mencontohkan, di wilayah timur Indonesia terdapat ratusan air street yang belum dikelola pemerintah sehingga masih kerap dilalui penerbangan perintis yang tidak bisa diawasi secara komprehensif.
Pada 2018 dan 2019, TNI AU juga pernah mengintervensi penerbangan sipil yang melintas di wilayah udara bagian barat Indonesia. Namun, dalam penindakan selanjutnya belum ada payung hukum dan wewenang yang mengatur secara rinci.
”Berbagai penerbangan itu berpotensi digunakan untuk aktivitas ilegal. Mulai dari penyelundupan narkotika, minuman keras, hingga (perdagangan) manusia,” kata Fadjar.
Fadjar menambahkan, angka penerbangan pesawat militer asing di eks MTA-2 (military training area/area latihan militer) dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) juga masih tinggi. Eks MTA-2 yang dimaksud membentang dari timur Singapura hingga Kepulauan Natuna yang juga masuk Kepulauan Riau. Tempat latihan yang sudah tidak beroperasi lagi itu kini dijadikan tempat latihan pesawat negara tetangga.
Pangkohanudnas Marsekal Muda Novyan Samyoga menjelaskan, catatan TNI AU pada 1 Januari-17 Mei 2021, terjadi 498 kali pelanggaran. Ia menduga, sampai hari ini pelanggaran sudah mencapai 600 kali.
Selain persoalan kekosongan hukum, Novyan menambahkan, penegakan hukum di ruang udara juga masih terkendala hal lain. Di antaranya keterbatasan alutsista di tengah luasnya wilayah udara Indonesia dan pengendalian sebagian ruang udara oleh negara lain.
Menurut Fadjar, perkembangan teknologi kedirgantaraan dan teknologi informasi juga membuat ancaman udara semakin luas dan kompleks. Pemanfaatan pesawat nirawak untuk survei dan pemetaan udara oleh pihak asing sangat mungkin terjadi tanpa disadari.
”Untuk itulah, guna mengoptimalkan pelaksanaan tugas penegakan kedaulatan di wilayah udara nasional, diperlukan pengaturan pengelolaan wilayah udara yang menampung kepentingan bersama dan terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia,” ujar Fadjar.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari sepakat bahwa ruang udara merupakan bagian dari wilayah negara yang mesti dipertahankan. Perkembangan teknologi saat ini juga semakin meningkatkan nilai dan signifikansi ruang udara bagi sebuah negara. Bahkan, beberapa negara sudah memasukkan ruang udara dan angkasa dalam unsur pertahanan.
Ia menyambut baik rencana penyusunan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional. Ia juga mendorong Kemenhan untuk membuat postur pertahanan sesuai dengan tren ancaman, termasuk terhadap ruang udara. Selain itu, ia juga meminta Kementerian Luar Negeri agar mengoptimalkan diplomasi untuk bisa mengambil alih flight information region (FIR) Indonesia yang saat ini ada di bawah kendali negara lain.