Ancaman Intoleransi dan Urgensi Moderasi Beragama
Intoleransi ibarat janin, radikalisme ibarat bayi, dan terorisme adalah wujud dewasanya. Untuk menangkal semua itu, moderasi beragama mesti terus digaungkan dalam setiap masa dan generasi.

Warga melintas di depan spanduk raksasa bergambar Garuda Pancasila di kawasan Cawang, Jakarta, Minggu (9/6/2013).
Peristiwa intoleran, khususnya terkait kehidupan beragama, masih terus terjadi. Tercatat pada 16 Maret 2020, sekelompok massa menekan Bupati Bogor agar melarang kegiatan jemaat Ahmadiyah di wilayah tersebut.
Pada 6 April 2020, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) berupaya menyegel Masjid Al-Aqso milik jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Singaparna. Kemudian pada 20 Juli 2020 terjadi penyegelan terhadap pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Kuningan oleh Satuan Polisi Pamong Praja.
Kemudian pada Agustus 2020, sekelompok massa membubarkan acara doa di Mertodranan, Solo, hingga menyebabkan 3 orang terluka. Acara tersebut dianggap sebagai tradisi Syiah. Termasuk munculnya stigma kepada etnis tertentu sebagai pembawa Covid-19.
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, intoleransi masih menjadi ancaman. Salah satu cara untuk melawannya adalah melalui moderasi beragama. Hal itulah yang terungkap di dalam diskusi daring bertajuk ”Urgensi Penguatan Moderasi Beragama dalam Menangkal Arus Intoleransi” yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia, Kamis (29/4/2021).
Baca juga: Darurat Pancasila

Umat lintas agama berbincang di patung Garuda Pancasila di Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka puasa bersama lintas agama dengan tema ”Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan”, Jumat (1/6/2018).
Para pembicara lain dalam forum tersebut adalah Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga intelektual Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani; Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Media Zainul Bahri; Koordinator Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Viva Yoga Mauladi; politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Mohamad Guntur Romli; dan intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Moch Eksan.
”Kita banyak sekali melihat kasus-kasus intoleransi tanpa melihat suasana masih pandemi Covid-19. Tantangan intoleransi itu tidak jauh, tetapi dekat dengan kita dan berada di dalam lingkungan kita,” kata Ahmad.
Ahmad berpandangan, moderasi beragama berarti memoderasi pemahaman beragama. Namun, meletakkan sikap moderatisme di antara liberalisme dan radikalisme juga memiliki dilema. Sebab interpretasi terhadap moderatisme antara satu dan kelompok lain bisa berbeda-beda.
Untuk memahami moderasi beragama, perlu dilihat kriteria atau ciri fundamentalisme. Pertama adalah selalu mengambil sikap oposisi. Khususnya dalam hidup beragama, orang berpaham radikal dan fundamental menganggap hanya penafsirannya sendiri yang benar atau menjadi satu-satunya kebenaran. Sikap berikutnya adalah ekslusif serta bersikap reaktif dan defensif terhadap sesuatu yang berbeda.

Perwakilan penerima bantuan paket bahan pokok berfoto bersama dengan kelompok masyarakat lintas agama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (18/4/2020).
Salah satu masalah yang muncul terkait intoleransi adalah paradigma eksklusivisme. Sederhananya, pemahaman bahwa kehidupan akan lebih sempurna ketika kelompok yang berbeda tidak hidup bersama. ”Problem moderatisme kadangkala menjadi permasalahan kultural, lalu politis,” ujar Ahmad.
Menurut Eksan, intoleransi ibarat janin, radikalisme ibarat bayi, dan terorisme adalah wujud dewasa dari kekerasan. Persoalan muncul ketika instrumen kekerasan digunakan untuk memengaruhi, menekan, dan membentuk suatu keyakinan tertentu di masyarakat.
”Saya melihat problem intoleransi akan terus ada karena ada generasi yang keras. Ketika mereka berada di wilayah penuh kekerasan, dia berpotensi melakukan kekerasan atau korban kekerasan. Maka, yang dibutuhkan dari kita adalah Islam yang moderat, baik di lembaga masyarakat, kampus, sekolah, maupun institusi pemerintah, untuk mengetengahkan Islam yang moderat,” kata Eksan.
Menurut Eksan, intoleransi adalah anasir di tengah masyarakat Indonesia. Mengutip Kementerian Agama, Indeks Kerukunan Beragama pada 2019 adalah 73,83. Itu berarti dari 100 orang, hanya 73 orang yang toleran. Lebih spesifik, di wilayah yang mayoritas beragama Islam, angkanya justru di bawah rata-rata, yakni seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Aceh.

Siswa kelas 1 dan kelas 2 SD Suka Damai di Tuapukan Kabupaten Kupang sedang santap siang usai mendengarkan pelajaran tentang Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Kerukunan hidup antarumat beragama di Taman Nostalgia Kupang, Senin (24/4).
Untuk itu, lanjut Eksan, kampanye moderasi beragama untuk menekan intoleransi mesti dimulai dari para pendidik di sekolah formal dan institusi pendidikan lainnya. Sebab, merekalah ujung tombak yang langsung bersentuhan dengan generasi muda dan masyarakat serta memiliki andil besar dalam membentuk pemahaman dalam masyarakat.
Dari sisi historis, menurut Media, kesadaran moderasi beragama sudah lama tertanam di memori kolektif dan praktik orang-orang beragama di Nusantara. Pada masa kolonialisme Belanda, antara 1901-1940, terdapat organisasi bernama Masyarakat Teosofi Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah mendiskusikan kerukunan umat beragama, melihat perbedaan dalam agama, dan mencari titik temu dari agama-agama.
Kelompok tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan kalangan priayi dengan jumlah anggota mencapai 2.000 orang. Kelompok tersebut menyadari kemajemukan Indonesia memerlukan pemahaman bersama.
”Pemerintah kolonial belanda mendukung mereka karena menguntungkan. Bagi pemerintah kolonialisme Belanda, yang penting masyarakat tenang. Riset saya berikutnya juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda justru tidak mendukung kristenisasi dan ingin membatasi misionaris,” kata Media.

Peresmian Rumah Moderasi Beragama di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (19/12/2019).
Pada masa Orde Baru, lanjut Media, negara berkepentingan dengan kerukunan beragama dengan menyebarkan gagasan keagamaan yang moderat. Saat itu muncul tokoh-tokoh intelektual Islam, seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid.
Pada masa reformasi, yang terjadi justru berkebalikan dari Orde Baru. Ketika masa Orde Baru terjadi depolitisasi agama, pada masa reformasi yang terjadi adalah politisasi agama yang memunculkan kelompok-kelompok Islam radikal. Sejak reformasi, yang menghadapi mereka adalah masyarakat dan organisasi masyarakat, serta intelektual Islam yang bergabung pada kelompok moderat.
”Untuk menangkal intoleransi ini diperlukan masyarakat dan negara. Kalau hanya masyarakat sipil yang menghadapi, yang bisa terjadi adalah konflik. Maka, negara harus ada,” ujar Media.
Guntur berpandangan, sebagai sebuah diskursus, pandangan Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam dapat memperkaya spektrum. Namun, ketika ruang publik yang beragam kemudian dikooptasi oleh mereka dengan disertai agenda untuk mengganti konstitusi Indonesia, di titik itulah negara harus hadir. ”Negara mesti hadir untuk melindungi negara itu sendiri dan memastikan bahwa Indonesia yang beragam, yang damai, yang toleran tetap terjaga," kata Guntur.
Baca juga: Intoleransi yang Mencemaskan

Meski demikian, lanjut Guntur, moderatisme perlu diperluas tidak hanya untuk melawan intoleransi dan radikalisme. Moderatisme perlu ditanamkan sebagai nilai yang terpuji.
Sebab, ketika intoleransi dan radikalisme sudah dapat diatasi, bisa jadi kelompok yang sebelumnya mengaku moderat akan jatuh pada konservatisme. Semisal, ketika dihadapkan pada persaingan politik terkait pemilihan pimpinan non-Muslim, tanggapan di dalam kelompok moderat akan berbeda-beda.
Menurut Viva, antara agama dan politik dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Dalam beberapa kasus politik, agama digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan elektoral. ”Ketika agama sudah masuk ke proses politik, maka akan mengalami proses turbulensi sehingga pembelahan itu akan terjadi,” ujar Viva.
Menurut Viva, moderasi beragama mesti digaungkan dalam setiap masa dan generasi. Hal itu perlu dilakukan dengan pendekatan persuasif rasional dan obyektif. Dalam kondisi bangsa yang majemuk, baik dalam suku, agama, ras, dan golongan, maka permasalahan terkait hal itu akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.