Polri Telusuri ”Airgun”, Senjata Pelaku Teror di Mabes Polri
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, Kamis (1/3/2021) di Jakarta, menyatakan, pelaku menggunakan ”airgun” berkaliber 4,5 milimeter. Untuk itu, Polri telusuri asal usul senjata tersebut.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan senjata berjenis airgun oleh pelaku teror di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia masih terus didalami. Meski berjenis senapan angin, airgun dapat melukai atau mematikan orang jika ditembakkan dari jarak dekat.
Hal itu diungkapkan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, Kamis (1/3/2021), di Jakarta. Menurut Argo, pelaku menggunakan airgun berkaliber 4,5 milimeter.
”Dari hasil pengamatan gambar senjata yang dipergunakan pelaku, jenis pistol Airgun BB bullet call 4,5 mm. Asal senjata masih diselidiki karena yang bersangkutan sudah meninggal,” ujar Argo.
Dari hasil pengamatan gambar senjata yang dipergunakan pelaku, jenis pistol Airgun BB bullet call 4,5 mm. Asal senjata masih diselidiki karena yang bersangkutan sudah meninggal.
Argo mengatakan, airgun adalah salah satu jenis senapan angin. Bedanya, airgun menggunakan tekanan dari gas karbondioksida (CO2) sebagai pendorong peluru yang dipasang pada bagian popor senjata. Hal yang sama dapat ditemukan pada senapan angin atau airsoft gun.
Demikian pula peluru yang digunakan juga sama dengan senapan angin, berbentuk bola kecil atau gotri yang terbuat dari logam. Sementara airsoft gun menggunakan peluru dari plastik yang lebih ringan.
Meski demikian, menurut Argo, airgun memiliki kekuatan dan lebih berbahaya dibandingkan airsoft gun. ”Jika ditembak dari jarak dekat, airgun bisa melukai atau bahkan mematikan orang,” ujar Argo.
Menurut Argo, hingga saat ini aparat keamanan masih menyelidiki asal airgun yang digunakan pelaku untuk melakukan aksi teror di Mabes Polri. Selain itu, aparat juga masih mendalami alur pelaku pada akhirnya bisa memperoleh senjata tersebut.
Tindakan polisi dibenarkan
Secara terpisah, Ketua SETARA Institute Hendardi berpandangan, tindakan kepolisian dengan melumpuhkan pelaku dibenarkan. Sebab, hal itu merupakan upaya untuk melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga.
”Tindakan polisional yang terukur dan akuntabel untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia,” kata Hendardi sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis.
Terorisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari semua lapisan masyarakat. Sebab, salah satu penyebab eksisnya para pelaku teror adalah mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat.
Menurut Hendardi, terorisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari semua lapisan masyarakat. Sebab, salah satu penyebab eksisnya para pelaku teror adalah mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat.
Di sisi lain, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme. Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu.
”Masyarakat mesti berpartisipasi dalam pencegahan sementara aparatur negara harus melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan,” ujar Hendardi.