Polri akan mengaudit keamanan Mabes Polri dan seluruh markas kepolisian di seluruh Indonesia. Pengamanan akan diperketat setelah masuknya pelaku teror ke Mabes Polri Rabu lalu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasca-penyerangan di Markas Besar Kepolisian Negara RI, kepolisian akan mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengamanan di sana dan di seluruh markas kepolisian di Indonesia untuk meminimalkan potensi aksi teror. Namun, Polri memastikan hal itu tidak akan menghambat kegiatan pelayanan kepada masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, Kamis (1/3/2021), mengatakan, polisi akan mengaudit sistem pengamanan di markas kepolisian. Tidak hanya di Mabes Polri, audit keamanan juga dilakukan di markas kepolisian di seluruh Indonesia. Hal itu dilakukan setelah peristiwa pelaku teror dapat membawa senjata masuk ke dalam kompleks Mabes Polri.
”Tetap kami lakukan audit masalah pengamanan. Kami lihat nanti dari hasil audit. Apabila ditemukan kekurangan atau kelemahan, ini akan kami perbaiki. Sementara didalami mengapa sampai lolos seperti itu dan sekali lagi itu menjadi bagian audit pengamanan di Mabes Polri dan markas-markas polisi di kewilayahan,” kata Rusdi.
Polisi akan mengaudit sistem pengamanan di markas kepolisian. Tidak hanya di Mabes Polri, audit keamanan juga dilakukan di markas kepolisian di seluruh Indonesia.
Menurut Rusdi, pelaku berinisial ZA datang sebagaimana masyarakat lain yang datang untuk mendapatkan pelayanan dari polisi. Hal itu tidak bisa dihindari karena salah satu tugas pokok kepolisian adalah sebagai pelayan masyarakat sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebelum memasuki Kompleks Mabes Polri, lanjutnya, petugas telah melaksanakan prosedur pemeriksaan sebagaimana ditetapkan untuk markas kepolisian, khususnya di Mabes Polri. Namun, terkait dengan senjata yang lolos pemeriksaan, hal itu akan menjadi bahan evaluasi bagi Polri untuk meningkatkan pengamanan, termasuk melihat kemungkinan terjadinya kelalaian.
"Penjagaan tetap, hanya diperketat masalah pemeriksaan dan sebagainya " ujar Rusdi.
Mengenai jenis senjata yang digunakan pelaku, Rusdi memastikan bahwa pistol yang dibawa pelaku adalah sebuah senjata. Namun ia menolak menyebutkan jenis senjata yang dibawa. Menurut dia, petugas masih mendalami hal itu, termasuk adanya kartu tanda anggota (KTA) Persatuan Berburu dan Menembak Indonesia (Perbakin) Basis Shooting Club.
"Nanti kita koordinasi dengan klub karena biasanya yang mengeluarkan itu bisa didapatkan dari klub dan langsung dengan KTA-nya. Ini sedang kita dalami masalah senjatanya," sambung Rusdi.
Terkait dengan pelaku penyerangan, kepolisian memastikan pelaku bertindak sendirian atau lone wolf. Namun, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri tetap mendalami kemungkinan adanya orang atau jaringan teroris di belakang aksi ZA.
Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia (IACSP) Haryoko R Wirjosoetomo berpandangan, pengamanan obyek vital seperti Mabes Polri memiliki lapis pengamanan, yakni area terbuka, area terbatas, dan area tertutup. Pelaku penyerangan kemarin telah melewati penjagaan di perimeter terluar yang membatasi wilayah publik dengan kompleks Mabes Polri.
"Mabes Polri memang memiliki fungsi pelayanan masyarakat. Jadi siapapun bisa masuk ke dalam halaman. Jadi masuknya pelaku itu bukan berarti pengamanan Polri tertembus," kata Haryoko.
Faktor lain yang memengaruhi petugas jaga adalah pelaku adalah seorang perempuan. Terdapat pandangan umum bahwa perempuan dan juga anak-anak, dianggap tidak berbahaya
Menurut Haryoko, faktor lain yang memengaruhi petugas jaga adalah pelaku adalah seorang perempuan. Terdapat pandangan umum bahwa perempuan dan juga anak-anak, dianggap tidak berbahaya. Hal lain yang mungkin juga memengaruhi petugas jaga adalah pelaku penyerangan menggunakan busana muslimah sehingga petugas jaga yang kebanyakan pria cenderung tidak akan memeriksa mereka.
Di sisi lain, sebagaimana banyak bangunan kepolisian lain tidak didesain khusus untuk memisahkan antara bangunan untuk pelayanan publik dengan bangunan untuk internal kepolisian. Sehingga, orang pun dapat berada di dekat kawasan yang sebenarnya vital dan hanya boleh dimasuki aparat saja.
Untuk memperbaiki hal itu, menurut Haryoko, kepolisian dapat menggunakan alat pemindai tubuh (body scanner) sebagaimana ada di bandara. Dengan demikian petugas dapat mengetahui benda yang menempel di tubuh seseorang tanpa harus menyentuhnya. Di sisi lain, Polri mesti memeriksa secara lebih ketat terhadap seseorang yang hendak masuk ke markas kepolisian, semisal dengan memindai KTP orang yang hendak masuk.
"Kemudian untuk petugas pengamanan harus dirotasi dalam jangka waktu tertentu karena kalau terus-menerus berada di situ pasti ada titik kebosanan. Selain itu, pengamanan oleh manusia memiliki faktor psikologis," ujar Haryoko.