Transformasi TNI AU dari sisi organisasi dan teknologi penting sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tingkat operasinya. Adanya berbagai jenis pesawat dari produsen yang berbeda menjadi tantangan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi TNI AU dari sisi organisasi dan teknologi penting sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tingkat operasinya. Adanya berbagai jenis pesawat dari produsen yang berbeda menjadi tantangan terkait jalur logistik, pelatihan, dan pemeliharaan.
TNI AU perlu mentransformasi dirinya agar bisa menjadi alat negara yang bersifat strategis terutama terkait dinamika regional yang eskalasinya terus meningkat.
Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Marsekal Muda Samsul Rizal dalam Seminar Internasional Air Power 2021, Rabu (31/3/2021), mengatakan, TNI AU seharusnya lebih gesit, efektif, dan efisien. Sementara untuk variabel teknologi, TNI AU diharapkan bisa membeli persenjataan dengan pendekatan berbasis efek (effect based approach).
”Kedua hal ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kesiapan operasional TNI AU,” kata Samsul.
Wakil Menteri Pertahanan Herindra mengatakan, walaupun dari sisi jumlah pesawat TNI AU sudah cukup seimbang dengan negara-negara lain di kawasan, harus dipertanyakan bagaimana kesiapannya.
Menurut dia, pembangunan matra udara dilakukan untuk mencapai kekuatan udara dan supremasi di udara untuk mengatasi tiga masalah pada saat yang sama. ”Kita inginkan mobilitas udara yang tinggi didukung sistem pertahanan udara yang diintegrasikan dalam peperangan berpusat pada jaringan atau network centric warfare,” kata Herindra.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, konsep Network Centric Warfare (NCW) menjadi visi TNI untuk melakukan integrasi kesisteman seluruh alutsista TNI sehingga ke depan interoperabilitas akan menjadi budaya organisasi TNI dan berfungsi sebagai jantung kekuatan gabungan matra-matra TNI. ”Tantangan tersebut harus dicermati dan disikapi serta menjadi alasan utama mengapa kita membutuhkan transformasi Airpower TNI Angkatan Udara,” ujarnya.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, saat ini kekuatan udara lebih terintegrasi dan kompleks. Teknologi membuat senjata menjadi lebih presisi. Pertempuran ke depan perlu ada integrasi berbagai unsur secara tepat dan tepat, terutama dari kecepatan pengambilan keputusan. Kekuatan udara tidak saja ditentukan oleh alat utama sistem persenjataan, tetapi juga lewat organisasi dan sumber daya manusia.
Di sisi lain, Fadjar mengatakan, TNI telah melalui berbagai era dan menghadapi paradigma yang terus berganti. Dengan terus mengikuti prinsip politik bebas dan aktif, TNI AU menyesuaikan diri dengan mengakuisisi berbagai platform tempur dari negara dan blok berbeda. Di satu sisi, hal ini membuat TNI AU kaya dari sisi variasi dan menguasai berbagai platform.
Akan tetapi, hal ini juga menyebabkan penguasaan tidak bisa mendalam dan harus ada penyesuaian sarana dan prasarana yang membutuhkan biaya tinggi. Integrasi sistem jadi lebih kompleks. ”Akibatnya, kekuatan TNI AU belum optimal,” kata Fadjar.
Peneliti dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Ollie Pekka Soursa menyoroti jumlah pesawat tempur Indonesia yang sedikit, tetapi berasal dari berbagai produsen dan memiliki banyak versi.
Ada tiga jenis pesawat tempur yang dimiliki TNI AU saat ini, yaitu F16, Hawk, dan Sukhoi. Akan tetapi, dari tiga itu ada delapan versi yang berbeda. Hal ini membuat pemeliharaan dan rantai suplai menjadi problematik karena harus dibuat untuk setiap tipe dan versi.
Interoperabilitas di antara tiga jenis pesawat tempur itu juga belum maksimal. Hal ini disebabkan komunikasi antara jenis-jenis pesawat itu belum memiliki standar dan menggunakan algoritma yang sama.