Setahun pandemi Covid-19, berbagai kritik dan saran atas kebijakan pemerintah terus berseliweran. Di tengah keterbatasan ruang gerak akibat pandemi, anggota DPR mengoptimalkan medsos agar tetap bisa menyerap aspirasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.15, Minggu (7/3/2021). Sebuah pesan masuk ke Facebook Messenger Nihayatul Wafiroh, Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seorang dokter magang di salah satu rumah sakit di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengadu, lebih dari 10 dokter belum mendapat insentif Covid-19 sesuai dengan janji Komite Internsip Dokter Indonesia dan Kementerian Kesehatan.
Dokter tersebut mengaku telah melaporkan masalah itu melalui lapor.go.id, wadah pengaduan online yang dikembangkan pemerintah. Namun, hasilnya nihil. Ia malah ”dilempar-lempar” ke Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah setempat.
”Kami tidak tahu lagi bagaimana menyampaikan aspirasi serta keluh kesah kami. Kami hanya ingin hak kami dapat diberikan kepada kami. Hak kami sampai sekarang belum juga diberikan, padahal sudah berganti tahun,” tulis sang dokter.
Melihat aduan tersebut, Ahmad Zubaidi, tenaga ahli bidang media Nihayatul, yang telah bersiap istirahat, bergegas melapor ke Nihayatul. Tak butuh waktu lama, Nihayatul pun langsung menghubungi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar masalah itu bisa segera tertangani.
Itu menjadi salah satu potret kerja tenaga ahli bidang media anggota DPR. Setahun pandemi, aduan mengenai kebijakan kesehatan seakan tak pernah berhenti. Selain menyoal kebijakan, ada pula warga yang meminta bantuan untuk dicarikan rumah sakit saat salah satu anggota keluarganya terpapar Covid-19.
Zubaidi mengungkapkan, laporan yang masuk kadang tak mengenal waktu. Bahkan, laporan kerap kali tidak sesuai dengan tugas Nihayatul sebagai unsur pimpinan Komisi IX yang membawahkan bidang ketenagakerjaan dan kesehatan.
”Yang jadi tantangan, ketika kami menghubungi lebih lanjut ke akun pengadu dan meminta informasi lebih lanjut, itu lebih seringnya (pesan kami) tidak dibalas. Mungkin ini karena di media sosial, kan, siapa pun bisa memberikan komentar,” kata Zubaidi yang bekerja menjadi tenaga ahli sejak pertengahan 2014.
Makin intens
Nihayatul menuturkan, sejak Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia, selalu ada saja aduan masyarakat soal kesehatan. Aduan tak hanya didapatkan saat kunjungan ke daerah pemilihan (dapil), tetapi juga melalui media sosial. Sementara di Instagram, Nihayatul memiliki 16.500 pengikut, sedangkan di Twitter ia diikuti 11.500 akun.
”Sering, sih (aduan warga), entah itu aspirasi, kritik, tetapi nyinyir lebih sering, ya. Tetapi, tidak apa-apa, saya tanggapi biasa saja,” kata Nihayatul.
Peningkatan intensitas pelaporan juga dirasakan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Puteri Anetta Komarudin. Apalagi, selain dihadapkan pada persoalan pandemi, dapilnya juga masuk daerah rawan bencana alam, seperti banjir. Adapun dapil Puteri meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta di Jawa Barat.
”Jadi, laporan yang masuk ke saya sekarang tak melulu soal kesehatan. Laporan warga yang terdampak banjir, permintaan normalisasi sungai juga banyak sekali,” katanya.
Setiap hari, Puteri selalu mendapat rekapitulasi laporan aduan masyarakat dari tim tenaga ahlinya. Aduan-aduan itu disampaikan masyarakat melalui nomor telepon dan alamat surat elektronik, yang sengaja Puteri tampilkan di akun Instagram-nya.
”Yang minta dibayarkan utangnya, banyak. Terus ada juga yang bilang, minta dibelikan laptop, minta dibelikan handphone. Wah, kalau misal lihat isi-isi pesannya, sebenarnya lucu-lucu. Tetapi, bagaimana, ya, kan, kami juga bukan Pegadaian gitu,” ungkap Puteri sambil tertawa.
Karena itu, Nadia Anindya Ahmadi, tenaga ahli bidang media Puteri, menambahkan, setiap aduan yang masuk tidak asal ditindaklanjuti. Biasanya, ia akan menelusuri terlebih dahulu secara langsung ke lapangan untuk mencari kebenaran atas laporan tersebut.
”Kita, kan, harus bicara berdasarkan data. Jangan pakai katanya A, B, C, D gitu, kan. Itu, kan, tidak baik juga. Jadi, kami selalu cross check,” tutur Nadia.
Jika benar, laporan akan langsung ditindaklanjuti ke mitra kerja yang ada di bawah naungan Komisi XI. Tim Puteri yang berada di dapil pun akan ikut memantau hasil dari tindak lanjut laporan tersebut.
Kehadiran fisik
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Charles Honoris mengungkapkan, ada sejumlah tantangan yang tidak bisa terjawab melalui komunikasi di media sosial. Misalnya, laporan tidak bisa diverifikasi secara langsung. Tak jarang pula, aspirasi dari medsos belum tentu menggambarkan kondisi riil di lapangan. Lagi pula, di medsos, banyak akun yang tidak memiliki identitas jelas.
”Artinya, dalam hal-hal tertentu kunjungan langsung atau pertemuan langsung tak bisa digantikan sepenuhnya melalui komunikasi melalui medsos. Banyak hal tidak bisa diekspresikan secara jelas ketika komunikasi melalui medsos. Temu langsung penting untuk melihat kondisi masyarakat di dapil,” ucap Charles.
Namun, ia tak memungkiri, banyak kemudahan pula dengan berkomunikasi di
medsos. Di tengah pembatasan pertemuan langsung dengan masyarakat akibat pandemi, medsos bisa jadi sarana sosialisasi kinerja anggota DPR.
Meski demikian, ia tak memungkiri, banyak kemudahan pula dengan berkomunikasi di medsos. Di tengah pembatasan pertemuan langsung dengan masyarakat akibat pandemi, medsos bisa menjadi sarana menyosialisasikan kinerja anggota Dewan.
”Ini, kan, menjadi salah satu pertanggungjawaban kami kepada publik. Jadi, part of accountability (bagian dari akuntabilitas) ke publik juga,” kata Charles.
Penggunaan media sosial memang tak bisa terelakkan. Sebab, hingga Januari 2021, ada 170 juta orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite, pengguna medsos paling banyak secara berurutan adalah Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter.
Pedang bermata dua
Pengajar dari Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, berpandangan, penggunaan medsos memang bisa menjadi satu cara alternatif menyiasati situasi pandemi Covid-19 karena minim risiko.
Namun, lanjutnya, transformasi masyarakat media dalam arena politik ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, berfungsi untuk mengontrol kekuasaan, tetapi juga bisa untuk sekadar pencitraan politisi.
”Tantangannya, bagaimana kita memanfaatkan medsos bukan semata pencitraan. Namun, jaring aspirasi dan kontrol publik pada politisi. Saya yakin ruang ini perlu diisi,” kata Arie.
Penjaringan aspirasi melalui medsos ini akan lebih optimal jika anggota Dewan mengoptimalkan peran sejumlah sistem pendukung (supporting system), yakni tenaga ahli, dana, dan jaringan. Tentu, ke depan medsos harus bermakna sebagai saluran aspirasi dan alat kontrol.
”Tantangannya lagi adalah komitmen mengolah aspirasi jadi kebijakan,” ucap Arie.
Pengajar Komunikasi Politik di UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menyayangkan, aspirasi publik masih kerap terpental jika dihadapkan dengan isu-isu besar. Misalnya, belakangan, penolakan publik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Seharusnya, jika anggota Dewan serius ingin mendengarkan suara rakyat, isu-isu itu tidak mentah begitu saja. ”Itu yang disebut dengan political engagement. Jadi, pelibatan politik warga bukan hanya pada saat pemilu, melainkan juga dalam mengagregasi isu-isu publik,” tutur Gun Gun.