Menolak Vaksin, Warga Bisa Terkena Sanksi Administratif dan Pidana
Presiden teken Perpres No 14/2021 tentang Perubahan atas Perpres No 99/2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi untuk Penanggulangan Pandemi Covid-19. Dengan perpres itu, menolak vaksin terkena sanksi.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya menetapkan sanksi untuk warga yang menolak mengikuti vaksinasi Covid-19. Sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Adapun mereka yang menjalani vaksinasi dan dirugikan akibat efek samping, negara menjamin akan memberikan santunan.
Keputusan ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2021 dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Perpres tersebut diunggah dalam situs resmi Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara akhir pekan ini serta dicantumkan beberapa penambahan aturan.
Saat dihubungi, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman membenarkan adanya sanksi administratif dan pidana tersebut. ”Hak asasi manusia memang ada yang tidak bisa dicabut, seperti hak hidup dan hak tidak disiksa. Tapi, dalam keadaan darurat, ada yang bisa dikecualikan, salah satunya yang ditetapkan negara, seperti melalui penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat,” tuturnya kepada Kompas, Minggu (14/2/2021) sore.
Penambahan aturan tersebut berkaitan dengan sanksi yang diberikan kepada warga yang menolak vaksinasi Covid-19, santunan kepada penerima vaksin yang mengalami efek samping berat, dan kerja sama penelitian pengembangan vaksin Covid-19.
Hak asasi manusia memang ada yang tidak bisa dicabut, seperti hak hidup dan hak tidak disiksa. Tapi, dalam keadaan darurat, ada yang bisa dikecualikan, salah satunya yang ditetapkan negara, seperti melalui penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Vaksinasi Covid-19 ditetapkan wajib diikuti setiap orang yang ditetapkan menjadi sasaran penerima vaksin Covid-19. Adapun pendataan dan penetapan sasaran penerima vaksin dilakukan Kementerian Kesehatan. Kendati vaksinasi bersifat wajib, warga yang tidak memenuhi kriteria sebagai penerima vaksin Covid-19 sesuai indikasi yang tersedia dikecualikan dari kewajiban tersebut. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 13A Ayat 1, 2, dan 3 Perpres No 14/2021.
Lebih jauh, sanksi yang terdiri atas sanksi administratif dan sanksi pidana ini diatur pada Pasal 13A Ayat 4 dan 5. Sanksi administratif ini berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda. Pengenaan sanksi ini dilakukan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya.
Sanksi pidana juga disiapkan di Pasal 13B. Di pasal tersebut disebutkan, sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Wabah Penyakit Menular.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pada Pasal 14 disebutkan, warga yang sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah bisa dikenai pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 juta.
Lebih jauh, menurut Fadjroel, setiap orang punya hak untuk hidup dan tidak tertular Covid-19. Karena itu, semestinya semua bersama-sama berupaya untuk tidak tertular dan menularkan Covid-19.
Opsi lain yang sempat diusulkan, kata Fadjroel, adalah mendorong sanksi sosial yang tumbuh secara organik di masyarakat. Misalnya, tanpa kartu vaksin seseorang tidak bisa ke mal, tidak bisa masuk sekolah, tidak bisa masuk kampus, tidak bisa umrah, ataupun naik pesawat.
Namun, pemerintah memutuskan sanksi administratif. ”Sanksi administratif itu jalan tengah karena kalau 181,5 juta warga tidak divaksinasi, kekebalan komunitas itu tidak akan tercapai,” tutur Fadjroel lagi.
Kendati demikian, Fadjroel meminta sanksi administratif ini dilihat dari manfaatnya. Apabila divaksin Covid-19, warga bisa tetap menerima bansos dan menerima layanan administrasi pemerintah.
Adapun sanksi pidana, disebut Fadjroel, sebagai pilihan terakhir. ”Tekanannya lebih pada sanksi administratif,” ujarnya.
Minta dipertimbangkan
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, meminta keputusan pemerintah memberikan sanksi kepada warga yang menolak vaksinasi Covid-19 dipertimbangkan ulang. Sejak rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan pada 14 Januari 2021, katanya, Komisi IX DPR sudah menolak dan meminta pemerintah tidak memberlakukan sanksi kepada mereka yang tidak mau divaksin Covid-19.
”Vaksinasi itu hak warga negara. Kalau hak, boleh diambil, boleh tidak. Karena itu, kami berharap tidak ada sanksi jika warga negara tidak mengambil hak itu,” tuturnya, Minggu sore.
Selain itu, Saleh meyakini, mayoritas warga mau divaksin Covid-19. Untuk warga yang menolak divaksin, semestinya sosialisasi masif dilakukan. Sebab, masih banyak warga yang tidak memahami efek samping, efikasi, dan manfaat setiap jenis vaksin yang akan diadakan pemerintah.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana, menjelaskan, secara norma, vaksin adalah bagian tak terpisah dari layanan kesehatan yang menjadi kewajiban negara. Dalam mengakses layanan kesehatan itu, warga berhak memperoleh layanan kesehatan atau jaminan kesehatan yang diberikan negara.
”Dengan demikian, sebenarnya tidak harus ada (sanksi). Tidak harus sampai memberikan sanksi untuk mendorong orang menerima layanan kesehatan. Dalam situasi yang baik, masyarakat pasti ingin mengakses layanan kesehatan terbaik, seperti vaksin cacar, vaksin polio, atau makanan tambahan,” tutur Herlambang.
Dengan demikian, sebenarnya tidak harus ada (sanksi). Tidak harus sampai memberikan sanksi untuk mendorong orang menerima layanan kesehatan. Dalam situasi yang baik, masyarakat pasti ingin mengakses layanan kesehatan terbaik, seperti vaksin cacar, vaksin polio, atau makanan tambahan.
Namun, pemberian sanksi menunjukkan ada masalah yang sebenarnya. Ketidakpercayaan publik yang terakumulasi sejak awal penanganan Covid-19 membuat masih ada warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Bahkan, di awal-awal, karena ketidakterbukaan pemerintah, para dokter sempat menolak vaksinasi Covid-19.
”Jadi, tantangan pemerintah bukan memaksa dan menerapkan sanksi, tetapi mendorong literasi terkait layanan kesehatan ini. Sanksi itu ultimum remedium, semestinya pilihan paling akhir,” ucap Herlambang.
Dicontohkan, ketika masyarakat diminta menjalankan 3M—memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak—kewajiban negara dalam menjalankan 3T, yaitu testing, tracing, treatment, tampak tak optimal. Justru ketika gagal menjalankan kewajiban 3T tersebut, negara gagal memastikan warga mendapat layanan kesehatan terbaik.