Sebagian sumbangan dimanfaatkan kelompok-kelompok teroris untuk pendanaan aksi teror. Karena itu, publik harus selektif memberi sumbangan ke lembaga amal yang tak dikenal. PPATK mengungkap 1.300 transaksi mencurigakan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik harus selektif memberikan sumbangan kepada lembaga amal. Pasalnya, sebagian sumbangan ternyata dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris untuk pendanaan aksi teror. Sumbangan melalui lembaga-lembaga yang sudah jelas dan dikenal publik menjadi salah satu solusi untuk menghindari penyalahgunaan sumbangan.
Wakil Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamli mengatakan, kelompok-kelompok teroris di Indonesia memanfaatkan sumbangan dari publik sebagai salah satu sumber pendanaan aksi terorisme. Sumbangan dibuka secara luar jaringan (daring) dan dalam jaringan (daring) berkedok bantuan kemanusiaan.
Ia mencontohkan, lembaga amal yang telah teridentifikasi memiliki afiliasi dengan kelompok teroris di antaranya Azzam Dakwah Center (ADC), Baitul Mal Ummah (BMU), dan Gerakan Sehari Seribu (GASHIBU). Gerakan itu dilakukan secara daring dan luring untuk mengajak lebih banyak publik mendonasikan uangnya. Gerakan ini dimanfaatkan oleh dua kelompok teroris di Indonesia, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jemaah Islamiyah (JI).
”Kalau memberikan sumbangan, sebaiknya ke lembaga yang rutin memberikan laporan audit dan pilih yang diketahui afiliasinya,” kata Hamli dalam webinar bertajuk ”Pendanaan Terorisme”, Rabu (10/2/2021), di Jakarta.
Kalau memberikan sumbangan, sebaiknya ke lembaga yang rutin memberikan laporan audit dan pilih yang diketahui afiliasinya.
Selain Hamli, hadir sebagai pembicara Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, Regional Head Counter-Terrorist Financing Division (IACSP) Southeast Asia Garnadi Walanda, dan mantan narapidana terorisme Arif Budi Setyawan.
Hamli menuturkan, kelompok teroris memiliki struktur kepengurusan yang cukup baik sehingga mampu menggerakkan anggotanya untuk menarik berbagai sumbangan. Bahkan, ada kelompok yang mengorganisasikan pengumpulan sumbangan dan memberikan gaji kepada anggotanya. Dana tersebut digunakan untuk operasional, seperti pelatihan aksi teror, memberangkatkan anggota ke daerah-daerah konflik, serta aksi terorisme.
Guna menghindari penyalahgunaan sumbangan amal, ia mengimbau kepada publik untuk selektif memberikan sumbangan. Lembaga yang dipercaya untuk menyalurkan sumbangan sebaiknya lembaga yang sudah jelas afiliasinya dan memberikan laporan audit penggunaan sumbangan.
”Bisa juga memberikan sumbangan langsung kepada tetangga yang membutuhkan atau memberikan bantuan secara langsung kepada penerima tanpa melalui lembaga amal,” katanya.
Menurut Garnadi, sumbangan yang berkedok korporasi terselubung biasanya menggunakan propaganda penggalangan dana amal kemanusiaan. Konflik-konflik di dalam dan di luar negeri dimanfaatkan untuk menarik simpati masyarakat agar mau menyisihkan dananya untuk membantu meringankan beban.
Bentuk penggalangan sumbangan dilakukan, antara lain, menggunakan kotak amal, sumbangan melalui badan amal, dan crowdfunding secara daring. Bahkan, penetrasi internet yang cukup tinggi membuat propaganda dan crowdfunding semakin mudah dilakukan oleh kelompok terorisme. ”Ada pula sumbangan melalui badan amal disalahgunakan oleh pemiliknya untuk tujuan pendanaan terorisme,” ucapnya.
Arif mengatakan, donasi dari perorangan cenderung lebih mudah dilakukan. Namun, kelemahannya, dana yang bisa dihimpun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan metode perampokan dan pencurian. Bahkan, jika ada donatur yang mengetahui tujuan penggunaan sumbangan, mereka bisa enggan memberikan sumbangan.
”Modus penggalangan dana yang mulai marak adalah untuk bantuan bagi keluarga tersangka terorisme,” ujarnya.
Transaksi mencurigakan
Selama dua tahun terakhir ada 174 laporan hasil analisis yang diserahkan ke Detasemen Khusus 88 Antiteror. Selain itu, pada 2020, ada lebih dari 1.300 transaksi mencurigakan yang diduga terkait dengan aliran dana terorisme. Transaksi biasanya menggunakan metode yang bervariasi, seperti transfer bank, ATM, transaksi nontunai, dan menukarkan mata uang asing.
Lebih jauh Dian menuturkan, selama dua tahun terakhir ada 174 laporan hasil analisis yang diserahkan ke Detasemen Khusus 88 Antiteror. Selain itu, pada 2020, ada lebih dari 1.300 transaksi mencurigakan yang diduga terkait dengan aliran dana terorisme. Transaksi biasanya menggunakan metode yang bervariasi, seperti transfer bank, ATM, transaksi nontunai, dan menukarkan mata uang asing. ”Ini menunjukkan aktivitas pendanaan terorisme sangat tinggi,” katanya.
Indonesia juga melakukan pertukaran informasi terkait pendanaan terorisme dengan 163 negara lain. Kerja sama ini dilakukan karena jaringan terorisme sering kali melibatkan anggota-anggota dari berbagai negara.
”Ada indikator tertentu untuk mendeteksi aliran uang terkait terorisme. Jumlah tidak menjadi indikator utama seperti pada kasus korupsi,” ujar Dian.