Proses Revisi UU Pemilu Harus Mendengar Suara Publik
Proses penyusunan revisi UU Pemilu yang terbuka dan mendengar masukan publik jadi salah satu kunci perbaikan demokrasi. Hasil survei IPI menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap pelaksanaan demokrasi kian tinggi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang terbuka dan mendengar masukan publik menjadi salah satu kunci perbaikan demokrasi. Hal ini penting menjadi pertimbangan DPR dan pemerintah karena kepuasan masyarakat terhadap demokrasi mengalami penurunan cukup signifikan dalam setahun terakhir.
Dalam survei oleh Indikator Politik Indonesia pada 1-3 Februari 2021, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi hanya 58 persen. Survei ini melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak dengan toleransi kesalahan sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya pada September 2020, tingkat kepuasan terhadap pelaksanaan demokrasi mencapai 68,3 persen. Artinya, tingkat kepuasan turun sekitar 10 persen.
Ketidakpuasan publik terhadap pelaksanaan demokrasi pun ikut meningkat tajam, dari semula 28,8 persen (September 2020) menjadi 42,6 persen (Februari 2021).
Bersamaan dengan itu, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik tergolong rendah, yakni 47,8 persen. Angka itu paling rendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan publik terhadap instansi lainnya, seperti TNI (89,9 persen), Presiden (82 persen), Gubernur (80 persen), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (73,2 persen).
Rendahnya kepercayaan terhadap partai ini lebih memprihatinkan lagi apabila dilihat dari tingkat ikatan psikologis pemilih dengan partai. Dalam survei terakhir ini, hanya 6,8 persen warga secara nasional yang merasa dekat dengan partai tertentu.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi ”Aspirasi Publik Terkait Undang-Undang Pemilu dan Pilkada” mengatakan, upaya perbaikan kinerja demokrasi, salah satunya, ditentukan melalui revisi UU Pemilu, yang saat ini tengah dibahas di DPR. Karena itu, DPR dan pemerintah diharapkan mendengar masukan publik dalam proses pembahasannya.
”Semakin tidak mendengar aspirasi publik yang berkaitan dengan poin-poin revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, maka semakin negatif evaluasi publik terhadap DPR maupun pemerintah. Jadi, tak cukup hanya bersandar pada pertimbangan teknokratik para legislator, tetapi juga didasarkan pada proses sejauh mana poin-poin tersebut menyerap aspirasi publik,” ujar Burhanuddin.
Dalam diskusi itu hadir pula Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, serta Gubernur Sumatera Barat terpilih Mahyeldi Ansharullah.
Dari hasil survei IPI, ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan oleh DPR terkait urgensi revisi UU Pemilu. Misalnya, sebesar 63,2 persen tidak setuju jika pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan serentak dalam tahun yang sama pada tahun 2024.
Sebanyak 54,8 persen responden menginginkan agar pilkada pada 2022 tetap digelar. Seiring dengan itu, 53,7 persen responden berharap pilkada pada 2023 juga tetap digelar pada 2023.
Burhanuddin berpandangan, itu artinya publik menghendaki ada revisi UU Pemilu sehingga tidak terjadi keserentakan pemilu pada 2024. Ketika masa jabatan kepala daerah habis pada 2022 dan 2023, pemilu seyogianya tidak ditunda. Sebab, menurut dia, daerah-daerah itu akan dijabat oleh pelaksana tugas atau penjabat kepala daerah yang tidak demokratis.
”Jadi, sebenarnya, argumen beberapa partai, termasuk Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang menghendaki pemilihan legislatif, pilpres, dan pilkada tidak dilakukan di tahun yang sama, mendapatkan dukungan publik mayoritas,” ujar Burhanuddin.
Sebelumnya, enam fraksi di DPR sudah menyatakan akan menolak revisi UU Pemilu. Keenam fraksi itu meliputi Partai Golkar, Gerindra, Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Alasan yang dikemukakan mirip, yaitu karena saat ini negara sedang fokus menghadapi Covid-19.
Adapun PDI-P sebagai fraksi dengan kursi terbanyak di DPR memberi sinyal akan menolak revisi karena pertimbangan kondisi pandemi Covid-19. Sementara itu, dua fraksi lainnya di DPR, Demokrat dan PKS, masih tetap dengan sikapnya, menyetujui revisi UU Pemilu.
Publik dan KPU dirugikan
Dari hasil survei IPI terakhir, sebesar 68,4 persen responden mengetahui bahwa banyak petugas pemilu yang meninggal akibat beban kerja yang berat di Pemilu 2019. Dari persentase itu, 59,9 persen responden menilai situasi itu tidak bisa dimaklumi.
Atas dasar itu, sebesar 71,8 persen responden menyatakan, sebaiknya pemilu serentak dihindari sehingga tak memunculkan korban jiwa lagi.
Burhanuddin mengatakan, Pemilu 2019 hanya terdiri dari pileg dan pilpres. Sementara di Pemilu 2024 nanti, jika tidak ada revisi UU Pemilu, penyelenggaraan pemilu ditambah dengan pilkada. Secara rasional, menurut dia, hal itu menyulitkan KPU dari segi teknis penyelenggaraan.
”Yang dirugikan adalah KPU karena KPU, kan, pelaksana undang-undang. Tetapi, kalau desainnya masih seperti sekarang, saya tidak yakin KPU bisa melaksanakan pemilu secara serentak di tahun yang sama untuk pileg, pilpres, dan pilkada,” ucapnya.
Selain KPU, lanjut Burhanuddin, yang paling dirugikan lagi adalah rakyat. Sebab, hak rakyat untuk memilih secara langsung harus ditunda dua tahun dan kepala daerah diserahkan kepada pelaksana tugas atau penjabat kepala daerah yang tidak sah dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
”Kalau, misal, muncul terkait dugaan abuse of power untuk kepentingan 2024, baik pileg maupun pilpres, saya khawatir legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan karena penggunaan pelaksana tugas dan penjabat,” kata Burhanuddin.
Luqman Hakim berharap, jika sampai jelang pelaksanaan Pemilu 2024 tidak terbuka kesempatan untuk merevisi UU Pemilu, terpaksa Komisi II DPR harus bisa meyakinkan Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu itu, menurut dia, terutama berkaitan dengan Pasal 383 UU Pemilu, yang mengatur penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara.
”Kalau aturan ini tidak diubah, kita bisa membayangkan 2024 nanti, korban yang jatuh dari penyelenggara pemilu akan persis kayak kemarin, bisa bertambah jumlahnya. Itu dosa kita semua kalau kita tidak mengubah (aturan) itu,” kata Luqman.
Sementara itu, Khofifah Indar Parawansa menyampaikan, akhir masa jabatan gubernur Jawa Timur masih sampai Februari 2024. Menurut dia, ada tidaknya pelaksana tugas tidak terlalu masalah. ”Kalaupun ada pelaksana tugas, tidak terlalu lama kalau di Jatim,” ujarnya.
Adapun Mahyeldi Ansharullah menilai, pemerintahan daerah tidak akan berjalan optimal jika dijabat pelaksana tugas atau penjabat. Karena itu, sebaiknya pilkada tetap digelar normal, baik pada 2022 maupun pada 2023. ”Kalau pelaksana tugas atau penjabat sampai pemilihan serentak, nanti tidak maksimal pelaksanaan pemerintahannya,” ucapnya.