Di tengah kritik masyarakat sipil terhadap Polri yang acap bertindak keras dan represif, Kapolri yang baru, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, diharapkan menjadikan Polri institusi pengayom dan pelindung masyarakat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang baru, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, diharapkan menjadikan institusi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Beberapa catatan kritis dari elemen masyarakat sipil bagi Kapolri terkait adanya praktik kekerasan, pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, serta penegakan hak asasi manusia di era pimpinan Polri sebelumnya.
Hal itu terungkap dalam seminar daring berjudul ”Reformasi Polri: Berharap kepada Kapolri Baru?” yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LHKP PP Muhammadiyah), Kamis (4/2/2021). Para pembicara dalam seminar itu adalah Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas; Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Wahyu Widada yang mewakili Kapolri; Ketua LHKP PP Muhammadiyah Yono Reksoprodjo; anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti; Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab; Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati; serta Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf.
Menurut Busyro, keberadaan Polri terkait erat dengan situasi dan kondisi saat ini yang dinilai dalam situasi darurat serta defisit demokrasi dan demoralisasi birokrasi negara. Masalah yang lebih spesifik terkait Polri adalah praktik kekerasan oleh anggota Polri, intransparansi penegakan hukum terhadap terduga teroris, serta ada dugaan kuat penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keberadaan Polri terkait erat dengan situasi dan kondisi saat ini yang dinilai dalam situasi darurat serta defisit demokrasi dan demoralisasi birokrasi negara. Masalah yang lebih spesifik terkait Polri adalah praktik kekerasan oleh anggota Polri, intransparansi penegakan hukum terhadap terduga teroris, serta ada dugaan kuat penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Di sisi lain, terjadi ketimpangan antara kedigdayaan antara negara yang beririsan dengan oligarki bisnis, sementara di sisi lain terdapat elemen masyarakat sipil. Ketimpangan itu tampak melalui adanya regulasi yang dipengaruhi oligarki bisnis, seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Untuk menghadapi situasi itu, terdapat harapan besar bagi Polri dan masyarakat Indonesia yang memiliki modal konstitusional serta sosial. Pertama adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan kedua adalah budaya luhur masyarakat di akar rumput berupa ikatan sosial dan kerja sama.
”Besar harapan kepada Kapolri yang baru untuk siap membangun dan memperkuat kerja sama yang integratif, etis, dan konstruktif bagi bangsa dan masyarakat tercinta,” kata Busyro.
Wahyu mengatakan, tantangan Polri adalah mengantisipasi dinamika lingkungan strategis yang cepat berubah dan tidak mudah ditebak, termasuk di ruang siber. Di lain pihak, masyarakat berharap agar Polri mampu memberikan jaminan rasa aman, merespons laporan, dan hadir secara cepat ketika masyarakat membutuhkan.
Menurut Wahyu, banyak masukan, harapan, dan kritik kepada Polri. Hal itu, antara lain, pelayanan yang mudah dan cepat tidak berbelit-belit, sikap anggota Polri yang humanis, bersikap netral, tidak berpihak, tidak menjadi alat kekuasaan, khususnya pada kelompok-kelompok rentan.
Kapolri yang baru, lanjut Wahyu, mengajukan konsep Polri Presisi untuk mengubah wajah Polri menjadi lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat. Hal itu diwujudkan melalui pemolisian yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan.
”Isu-isu yang berkembang di masyarakat tentu menjadi otokritik yang harus diterima dan nantinya diperbaiki bersama. Masukan dari masyarakat sipil sangat berguna bagi perbaikan Polri,” kata Wahyu.
Yono Reksoprodjo mengarisbawahi amanat UUD 1945 bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum. Maka, diharapkan seluruh insan kepolisian memahami hal ini.
Hal lainnya, lanjut Yono, anggota Polri diharapkan memahami konsep pemolisian demokratis tidak hanya berarti mengintegrasikan institusi kepolisian pada sistem demokrasi. Hal itulah yang kini dilihat masyarakat bahwa sosok kepolisian semakin lama semakin kuat.
Sejak terpisah dari ABRI, Polri adalah aparatur sipil yang dipercaya memegang senjata. Dengan dasar bahwa polisi adalah aparatur sipil, maka kultur yang harus benar-benar dibangun adalah sikap sebagai pengayom.
”Terakhir, dari catatan kami adalah mengedepankan kata adil yang sebenar-benarnya dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab,” ujar Yono.
Menurut Amiruddin, sejak terpisah dari ABRI, Polri adalah aparatur sipil yang dipercaya memegang senjata. Dengan dasar bahwa polisi adalah aparatur sipil, maka kultur yang harus benar-benar dibangun adalah sikap sebagai pengayom.
Tantangan ke depan, lanjut Amiruddin, semakin berat karena masyarakat semakin mudah bergolak, berada pada situasi ketidakpastian dengan kompleksitas makin tinggi, dan individu ataupun kelompok selalu berada pada situasi yang ambigu. Dalam konteks itu, konsep prediktif dapat dilakukan jika Polri didukung kemampuan intelektual, selain teknologi.
”Kita membutuhkan polisi yang mampu membaca keadaan lebih baik sehingga cara bertindaknya juga intelek. Itu karena beranjak dari fakta yang ada pada Komnas HAM bahwa setiap tahun konstan menerima keluhan dan pengaduan masyarakat mengenai perilaku anggota kepolisian,” kata Amiruddin.
Menurut Asfinawati, Polri akhir-akhir ini tampak menjadi alat pemerintah dengan ikut melakukan kontranarasi terhadap apa saja yang menentang pemerintah. Padahal, Polri seharusnya netral karena merupakan alat negara, bukan alat pemerintah.
Rencana untuk mengalihkan fungsi penegakan hukum dari tingkat kepolisian sektor (polsek) ke kepolisian resor (polres) dinilai akan memperlambat kinerja penegakan hukum. Sebab, dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, lokasi polres yang hanya ada di beberapa tempat akan mempersulit masyarakat yang memerlukan pelayanan kepolisian dalam bidang penegakan hukum.
Menurut Poengky, dari sekitar 3.500 pengaduan yang diterima Kompolnas, 90 persennya terkait dengan anggota kepolisian yang adalah reserse. Masyarakat mengeluhkan mengenai hal-hal yang terkait penegakan hukum, seperti dalam memonitor perkembangan suatu kasus.
Isu-isu yang berkembang di masyarakat tentu menjadi otokritik yang harus diterima dan nantinya diperbaiki bersama. Masukan dari masyarakat sipil sangat berguna bagi perbaikan Polri.
”Saya menyambut baik pemanfaatan teknologi untuk memudahkan masyarakat mengakses kasus. Misalnya, ada 1 model aplikasi yang lebih memudahkan agar masyarakat tidak perlu repot-repot dalam mencari tahu,” kata Poengky.
Menurut Poengky, terkait reformasi kultural Polri, diperlukan waktu yang panjang. Masalah kultural itu seperti penggunaan kekerasan secara berlebihan, berwatak arogan, dan memamerkan gaya hidup mewah. Meski sudah ada peraturan Kapolri (perkap) yang mengatur itu semua, masih diperlukan implementasi secara nyata oleh anggota kepolisian.
Menurut Al Araf, posisi Polri sangat terkait dengan variabel baik eksternal, khususnya relasi Polri dengan kekuasaan. Jika realitas politik berjalan sehat, kemudian demokrasi berjalan dengan baik, arah perkembangan Polri juga akan lebih baik.
Sebagai aktor keamanan, lanjut Al Araf, Polri berada dalam ruang dinamika politik yang berkembang. Langkah atau hal-hal yang dilakukan Polri selama ini sebenarnya adalah residu dari realitas politik yang ada, selain adanya faktor internal.