Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Ardiansyah mengatakan pihaknya masih melakukan pemetaan dan pengejaran aset para tersangka korupsi Asabri di dalam dan di luar negeri.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar dan Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik terus memetakan aset para tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero). Selain mengejar aset di dalam negeri, penyidik juga akan lebih fokus untuk menelusuri aset yang ditempatkan di luar negeri.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah, Rabu (3/2/2021), di Jakarta mengatakan, hingga saat ini, pihaknya masih melakukan pemetaan dan pengejaran terhadap aset para tersangka kasus dugaan tipikor PT Asabri. Menurut Febrie, selain mengejar aset di dalam negeri, penyidik akan lebih berkonsentrasi mengejar aset-aset yang terindikasi berada di luar negeri.
”Aset masih dikejar. Sudah ada beberapa aset yang dipetakan penyidik, tetapi masih rahasia penyidik, kasihan di lapangan (kalau dibuka),” kata Febrie.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, dari para tersangka perkara dugaan tipikor PT Asabri, terdapat dua orang yang juga adalah terdakwa dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Dalam kasus itu, kejaksaan telah menyita aset senilai Rp 18 triliun.
Aset masih dikejar. Sudah ada beberapa aset yang dipetakan penyidik, tetapi masih rahasia penyidik, kasihan di lapangan (kalau dibuka).
Menurut Burhanuddin, pihaknya juga akan menyita aset-aset para tersangka. Sebab, dari perhitungan sementara, kerugian dalam kasus PT Asabri mencapai Rp 23 triliun.
”Asetnya masih ada. Yang kemarin kami sita sekitar Rp 18 triliun, itu masih ada. Kami akan lacak terus walaupun mungkin akan berat,” kata Burhanuddin.
Menurut Febrie, antara kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri memiliki kesamaan, salah satunya adalah adanya beberapa perusahaan manajer investasi yang terlibat dalam kedua perkara itu. Pola atau kesamaan itu kini sedang ditelaah dan dianalisis oleh penyidik.
Secara terpisah, peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, berpandangan, dengan jumlah dana investasi yang sangat besar, kemungkinan aset milik PT Asabri bisa ada di dalam ataupun di luar negeri. Aset tersebut bisa milik negara atau korporasi untuk kepentingan pribadi.
”Yang jadi persoalan jika asetnya berada di luar negeri karena proses pembekuan dan penyitaan akan berhubungan dengan yurisdiksi negara lain, dan penegak hukum kita kurang memiliki track record baik soal ini,” kata Alvin.
Menurut Alvin, proses pengembalian aset dapat dilakukan secara pidana, perdata, atau administratif. Pengembalian aset di luar negeri memakan banyak sumber daya karena harus ada kerja sama yang kuat antarpenegak hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Kementerian Hukum dan HAM diharapkan dapat bekerja sama. Sementara pada saat bersamaan, diperlukan kerja sama dengan penegak hukum di luar negeri dan melakukan perjanjian bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance dengan pemerintahnya.
Untuk menelusuri aset di dalam negeri, Kejagung dapat menggunakan Pasal 3, 4, 5, dan 77-78 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 38B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Penempatan di properti
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo berpandangan, seharusnya Kejagung menerapkan UU TPPU dan UU Tipikor untuk mencari aset para tersangka seperti saat mengungkap kasus korupsi PT Jiwasraya. Menurut Irvan, ada kemungkinan para tersangka menempatkan asetnya dalam bentuk properti di samping saham dan reksa dana seperti yang terjadi pada kasus korupsi PT Jiwasraya.
Namun, ada kemungkinan TPPU dalam kasus PT Asabri berbeda dengan PT Asuransi Jiwasraya. Sebab, pendapatan premi PT Asabri berasal dari APBN yang merupakan upah dan gaji anggota TNI serta Polri. Selain itu, sensitivitas kasus ini jauh lebih tinggi karena menyangkut kesejahteraan anggota TNI dan Polri.
”Ini bisa mengganggu konsentrasi mereka dalam menjalankan tugas negara,” ujarnya.
Irvan juga menduga, ada kemungkinan pelaku korupsi kasus ini lebih dari delapan orang seperti yang telah ditetapkan penyidik. Hal tersebut dapat terlihat seperti saat Kejagung mengusut kasus Jiwasraya.
Dalam perkara dugaan tipikor PT Asabri, dua tersangka dari swasta, yaitu Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro, bersama dengan LP, Direktur Utama PT Prima Jaringan, diduga mengendalikan dan memanipulasi saham dalam portofolio PT Asabri. Heru dan Benny telah divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Bilamana dalam proses penyelidikan muncul sejumlah saksi yang bersedia menjadi saksi pelaku atau justice collaborator, LPSK menyatakan siap memberikan perlindungan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan akan melindungi sejumlah saksi perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Asabri. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo meminta kepada Kejaksaan Agung untuk merekomendasikan sejumlah saksi yang memiliki keterangan penting guna mengajukan permohonan kepada LPSK.
”Dalam kesempatan ini LPSK ingin menyampaikan kepada Kejaksaan Agung, bilamana dalam proses penyelidikan muncul sejumlah saksi yang bersedia menjadi saksi pelaku atau justice collaborator, LPSK menyatakan siap memberikan perlindungan sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujar Hasto, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Berdasarkan nilai kerugian yang timbul, dia meyakini perkara dugaan tipikor PT Asabri melibatkan banyak aktor yang memiliki kekuatan besar. Untuk itu, saksi maupun justice collaborator memiliki andil besar untuk memberi petunjuk kepada penyidik.