Penurunan skor IPK Indonesia tahun 2020 dinilai mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan pelaku usaha, investor, dan para ahli. Pembenahan sistemik menjadi amat dibutuhkan.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menurunnya Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia 2020 bisa berdampak pada citra Indonesia di dunia internasional, sekaligus menurunkan kepercayaan investor. Untuk memperbaiki IPK dibutuhkan pembenahan sistemik terutama di sektor politik.
IPK 2020 yang diluncurkan Transparency International Indonesia (TII) pada 28 Januari lalu menunjukkan Indonesia mendapat skor 37, turun tiga poin dari 2019. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor sebuah negara makin dipersepsikan bebas dari korupsi. Dengan skor 37, Indonesia ada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei.
Sejak 1999, dua kali Indonesia mengalami penurunan IPK. Penurunan pertama terjadi pada 2007, yang saat itu skor IPK Indonesia 2,3 yang berarti lebih rendah dari 2006 dengan skor 2,4 (sebelum tahun 2012, rentang skor IPK 0-10).
Peneliti TII Alvin Nicola, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/1/2021), mengatakan, penurunan skor IPK Indonesia tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan pelaku usaha, investor, dan para ahli. ”Persepsi terhadap maraknya korupsi akan menyebabkan semakin kuatnya pandangan bahwa biaya berpolitik dan biaya berbisnis di Indonesia sangat mahal serta berisiko,” katanya.
Menurut Alvin, hal itu berkorelasi dengan makin tak berkualitasnya sektor ekonomi, penegakan hukum, dan integritas politik, serta demokrasi. Dampak buruknya, investor berkualitas menjadi ragu. Mereka ialah investor yang ingin berusaha dengan mematuhi kaidah sustainabilitas, penghormatan lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengatakan, penurunan IPK terjadi karena imbas dari perundang-undangan, kebijakan, dan tindakan dari negara yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Adapun dari indikator-indikator penyusun IPK 2020, untuk Indonesia ada lima sumber data yang merosot dibandingkan temuan tahun lalu. Kelimanya adalah Global Insight Country Risk Ratings yang merosot hingga 12 poin, PRS International Country Risk Guide merosot 8 poin, IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, PERC Asia Risk Guide turun 3 poin, dan Varieties of Democracy Project turun 2 poin.
Adapun tiga indikator lainnya mengalami stagnasi dan satu indikator naik 2 poin, yakni World Justice Project- Rule of Law Index.
Perbaikan sistem
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji menuturkan, perbaikan IPK Indonesia dapat dilakukan dengan kembali pada sistem penegakan hukum kelembagaan. Selain dari sisi struktur birokrasi, substansi regulasi, juga yang terpenting adalah atensi pada budaya hukum.
Menurut Indriyanto, reformasi kultur menjadi kunci perbaikan melalui pendekatan sistemis. Rendahnya budaya tertib hukum dan sosial sangat mengganggu struktur serta substansi sistem hukum
Selain itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra juga menyarankan agar ada perbaikan dalam layanan birokrasi. Pengangkatan pejabat di tingkat pusat ataupun daerah dilakukan berdasarkan sistem merit, prestasi kinerja, dan integritas.
Di sisi lain, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati mengingatkan, episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik.
”Sistem politik saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik koruptif. KPK telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di dalamnya pembenahan partai politik,” kata Ipi.
Dari hasil studi dan penelitian KPK di sektor politik, rekrutmen dan kaderisasi parpol menjadi faktor yang harus diperbaiki. Pendanaan parpol juga masih jadi persoalan. Sumber pendanaan konvensional, seperti iuran anggota, belum mampu menutup biaya kegiatan parpol. Akibatnya, parpol berpotensi mencari jalan lain yang kadang dekat dengan korupsi untuk mendanai kegiatannya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan tidak kaget atau keberatan dengan turunnya IPK Indonesia. Persepsi itu bukan fakta. Persepsi adalah semacam kesan setelah orang melihat sesuatu. Karena itu, bagi pemerintah, hasil IPK yang dikeluarkan TII tersebut diterima sebagai masukan yang baik untuk perbaikan.