Investigasi Harus Bisa Bongkar Pemilik ”Seaglider”
Temuan kapal nirawak jenis seaglider di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Desember 2020, mendorong Pushidrosal untuk membongkar pemilik, negara asal, kepentingan dan data. Temuan ini jadi tantangan TNI AL menjaganya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi I DPR meminta Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL membongkar seluk-beluk temuan kapal nirawak jenis seaglider di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Desember 2020. Investigasi yang dilakukan Pushidrosal diharapkan dapat membongkar pemilik, negara asal, kepentingan dan data yang telah direkam.
Anggota Komisi I dari Partai Nasdem, Willy Aditya, saat dihubungi, Selasa (5/1/2021), mengatakan, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) harus menginvestigasi lebih jauh temuan seaglider tersebut. Apalagi, temuan tersebut bukanlah yang pertama kali.
Pada 3 Maret 2019, ditemukan benda yang hampir sama dengan identitas aksara China di Pulau Tengge, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Di dalam kapal nirawak itu ditemukan aksara China bertuliskan nama China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences. Setelah itu, pada 20 Januari 2020, nelayan di Masalembu, Madura, juga menemukan benda serupa yang dilengkapi kamera dan beraksara China, (Kompas, 3 Januari 2021).
Sesuai hukum laut internasional UNCLOS 1982, wilayah lautan dalam sepenuhnya berada dalam kedaulatan negara kepulauan. Indonesia memiliki hak dan kedaulatan dan data yang harus dihormati negara lain. Oleh karena itu, KSAL harus mengungkap pemilik, negara asal, kepentingan, dan sejauh mana data yang telah direkam oleh seaglider itu. Jika diketahui asal dan pemilik peralatan itu, Indonesia bisa menuntut kembalinya data maupun penghapusan data yang telah terekam oleh operator.
Jika terbukti ada negara lain yang mengoperasikan seaglider, perlu ada tindak lanjut resmi dari pemerintah, baik secara diplomatik maupun secara hukum.
”Jika terbukti ada negara lain yang mengoperasikan seaglider, perlu ada tindak lanjut resmi dari pemerintah baik secara diplomatik maupun secara hukum,” kata Willy.
Willy menambahkan, investigasi dari TNI AL, Mabes TNI, dan Kementerian Pertahanan harus bisa mengungkap secara gamblang asal muasal, penanggung jawab, dan kegiatan yang dilakukan kapal nirawak itu. Setelah semua data itu diketahui, baru bisa dilakukan langkah selanjutnya, baik secara diplomatik maupun hukum.
”UNCLOS secara tegas telah memberi batasan laut yang menjadi kedaulatan suatu negara. Di atas kedaulatan itulah, TNI berwenang menindak,” kata Willy.
Harus bisa memastikan
Sementara itu, anggota Komisi I dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menambahkan, investigasi dari TNI AL harus bisa memastikan siapa pemilik, asal negara, dan motif operasi kapal nirawak. Setelah fakta-fakta tersebut diketahui, Kementerian Luar Negeri bisa melakukan langkah diplomatik untuk mengklarifikasi temuan alat. Apalagi jika data yang dimiliki valid, meskipun negara asal tidak mengakui kepemilikannya, Indonesia dapat melapor ke PBB atau organisasi terkait lainnya.
”Harus dipastikan siapa pemiliknya, motifnya apa. Supaya kita tidak keliru dalam mengambil langkah,” kata Karding.
Menurut Karding, temuan tiga kapal nirawak di perairan Indonesia juga menunjukkan bahwa sistem pertahanan laut Indonesia masih lemah. Ada banyak aspek yang harus ditingkatkan, baik dari sisi sistem pertahanan, teknologi, maupun sumber daya manusia. Ini dapat menjadi pintu masuk evaluasi menyeluruh sistem pertahanan di matra laut.
Sementara itu, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono dalam konferensi pers, Senin (4/1/2021), mengatakan, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) akan bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi untuk membongkar isi seaglider. Pembongkaran itu bertujuan untuk menyelidiki pemilik alat serta data apa saja yang terekam dalam alat tersebut. KSAL menargetkan pembongkaran akan selesai dalam waktu satu bulan.
Menurut Yudo, berbeda dengan kapal dan kapal selam, keberadaan kapal nirawak di bawah laut belum diatur dalam peraturan laut internasional. Terkadang alat tersebut dilepaskan dari kapal yang beroperasi di laut bebas. Alat kemudian menyelam di kedalaman laut dan masuk ke wilayah Indonesia. Dengan mudah, pemilik alat bisa berdalih, alat tidak dilepaskan di zona ekonomi ekslusif atau alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Namun, alat mengapung di air, kemudian lepas dari kendali dari atas kapal. Adapun, di perairan Indonesia sendiri diperkirakan ada banyak benda sejenis yang mengapung di bawah laut.
”Ke depan, tentunya TNI AL akan lebih ketat lagi mengawasi kapal yang riset di perairan kita. Kita juga akan usulkan agar teknologi pengawasan bisa ditingkatkan supaya bisa mendeteksi benda-benda seperti itu di lautan kita,” kata Yudo.
Pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie berpendapat, beberapa negara, seperti Perancis, Australia, India, Amerika Serikat, dan China, berpotensi sebagai pemilik peralatan tersebut. Sebab, negara-negara tersebut memiliki teknologi pembuatan kapal nirawak bawah laut. Namun, untuk kejelasan siapa pemilik peralatan tersebut, harus dipastikan melalui investigasi Pushidrosal.
Beberapa negara, seperti Perancis, Australia, India, Amerika Serikat, dan China, berpotensi sebagai pemilik peralatan tersebut. Sebab, negara-negara tersebut memiliki teknologi pembuatan kapal nirawak bawah laut.
Menurut Connie, 10 tahun lalu pun, temuan kapal nirawak sudah ada di Banten. Jadi, seharusnya TNI harus lebih siap. Apalagi, di era perang modern saat ini, fisik alutsista lawan kerap tidak terlihat. Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pertahanan setidaknya di tiga hal mendasar. Sistem deteksi dini, kemampuan pertahanan maritim yang pasif ofensif, pertahanan maritim aktif dengan doktrin poros maritim dunia.
”Yang terakhir, presiden jangan bebankan Menhan dengan tugas-tugas lain seperti food estate karena beban di Kementerian Pertahanan masih banyak,” kata Connie.