Tingginya permohonan perselisihan hasil pilkada kali ini, di antaranya dipicu pergeseran pemeriksaan ambang batas selisih suara hasil yang tak lagi jadi syarat di MK. Ini beri harapan pasangan calon yang kalah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi pada Minggu (27/12/2020), menerima 135 permohonan perkara pemilihan kepala daerah serentak 2020. Tingginya permohonan perselisihan hasil pilkada, salah satunya, dipicu pergeseran pemeriksaan ambang batas selisih suara hasil yang tidak lagi dijadikan syarat permohonan uji materi di MK. Hal itu karena memberi harapan baru pasangan calon yang kalah mengajukan gugatan ke MK dengan indikasi dugaan adanya kecurangan yang bersifat terstruktut, masif, dan sistematis.
Koordinator Harian Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, dihubungi dari Jakarta, Minggu (27/12/2020) mengatakan, permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) diperkirakan masih akan bertambah karena pengajuannya masih berlangsung hingga 30 Desember mendatang. “Jumlahnya mungkin akan sama dengan sengketa hasil pilkada 2015 atau sekitar 140 permohonan,” katanya.
Pada Pilkada 2015, sengketa perselisihan hasil pilkada mencapai 147 kasus. Kemudian pada Pilkada 2017 turun menjadi 53 kasus dan 2018 sebanyak 72 kasus. Adapun 135 permohonan Pilkada 2020 terdiri atas 7 pemilihan gubernur, 114 pemilihan bupati, dan 14 pemilihan wali kota.
"Tingginya sengketa Pilkada 2020 salah satunya dipengaruhi pergeseran pemeriksaan ambang batas selisih suara. Saat mengajukan sengketa, Mahkamah Konstitusi (MK) melihat tiga hal, yakni legal standing, batas waktu, dan ambang batas selisih suara. Namun saat ini, ambang batas selisih suara tidak lagi menjadi syarat formil dalam pengajuan sengketa"
Menurut Ihsan, tingginya sengketa Pilkada 2020 salah satunya dipengaruhi pergeseran pemeriksaan ambang batas selisih suara. Saat mengajukan sengketa, Mahkamah Konstitusi (MK) melihat tiga hal, yakni legal standing, batas waktu, dan ambang batas selisih suara. Namun saat ini, ambang batas selisih suara tidak lagi menjadi syarat formil dalam pengajuan sengketa.
Hal tersebut terjadi usai MK menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Tahun 2020 pada akhir November. Salah satu yang krusial dari PMK terbaru itu mengenai penggunaan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Di Pasal 158 disebutkan syarat bagi peserta Pilkada 2020 yang dapat mengajukan gugatan hasil sengketa pilkada ke MK. Syarat dimaksud, perbedaan selisih suara harus berkisar antara 0,5 dan 2 persen dari total surat suara sah hasil rekapitulasi akhir yang ditetapkan oleh KPU daerah.
”Dalam PMK yang baru ini, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 (UU Pilkada) pada akhir perkara. Artinya, Pasal 158 tetap dipatuhi, tetapi itu menjadi kewenangan dari majelis hakim. Majelis memeriksa perkara dahulu dengan menggali informasi, mencari bukti-bukti, dan memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 (UU Pilkada) itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Menurut Ihsan, pergeseran pemeriksaan ambang batas ini memberikan harapan baru kepada pasangan calon (paslon) yang kalah untuk mengajukan gugatan ke MK. Gugatan mereka diprediksi berkaitan dengan kecurangan yang bersifat terstruktut, masif, dan sistematis (TSM) karena sebagian penggugat memiliki selisih suara yang cukup besar.
“Pelanggaran TSM menjadi ruang bagi penggugat untuk bisa merubah hasil pilkada meskipun selisihnya besar karena banyak kesempatan untuk mengubah hasil Pilkada,” ucapnya.
Dengan demikian, ia memprediksi cukup banyak permohonan yang akan diterima oleh MK, berbeda dengan sengketa Pilkada 2018 yang sebagian besar ditolak karena sebelumnya tidak memenuhi syarat formil berupa selisih ambang batas suara. “Meskipun permohonan sengketa diterima, tantangan terbesarnya tetap berupa pembuktian di persidangan karena semua dalil akan diuji,” tutur Ihsan.
Belum tahu pokok perkara
"Hingga saat ini pihaknya belum mengetahui pokok perkara yang menjadi materi gugatan di MK karena belum mendapatkan salinan materi gugatan. Namun, pihaknya sudah berkirim surat dengan MK untuk meminta konfirmasi terhadap perkara yang diregister MK"
Anggota Komisi Pemilihan Umum Hasyim As’ari mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum mengetahui pokok perkara yang menjadi materi gugatan di MK karena belum mendapatkan salinan materi gugatan. Namun, pihaknya sudah berkirim surat dengan MK untuk meminta konfirmasi terhadap perkara yang diregister MK.
Konfirmasi tersebut diperlukan untuk mengetahui perkara mana saja yang tidak berlanjut ke pemeriksaan perkara dalam persidangan perselisihan hasil Pilkada sehingga KPU daerah bisa melanjutkan ke tahapan penetapan paslon terpilih. Namun jika perkara berlanjut ke persidangan, maka KPU daerah agar bersiap menghadapi persidangan di MK.