Kaderisasi Jamaah Islamiyah atau JI dilakukan secara rapi. Kepolisian mengidentifikasi, terdapat 91 kader yang telah dilatih JI. Dari jumlah itu, 66 orang dikirim ke Suriah dan sebagian sudah kembali ke Tanah Air.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara RI menemukan indikasi bahwa jaringan teroris Jamaah Islamiyah masih terus merekrut kader dan menyiapkan mereka agar siap tempur. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengirimkan mereka ke Suriah.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam keterangan tertulis, Minggu (20/12/2020), mengatakan, jaringan Jamaah Islamiyah (JI) melakukan pengaderan dengan rapi. Kepolisian mengidentifikasi, terdapat 91 kader yang telah dilatih oleh JI.
”Sebanyak 66 orang di antaranya sudah dikirim ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok teror di sana dan beberapa sudah kembali ke Indonesia. Kemampuan yang sudah diasah di tempat pelatihan dan medan tempur sebenarnya menjadikan mereka sebagai potensi ancaman nyata,” kata Argo.
Menurut dia, para kader tersebut sudah menyiapkan diri melalui pelatihan-pelatihan khusus. Mereka dipersiapkan untuk melawan musuh, yakni negara dan aparat. Dalam struktur JI, penanggung jawab JI adalah Para Wijayanto yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri tahun lalu dengan koordinator pelatihan adalah Joko Priyono alias Karso.
”Spesifiknya, Densus 88 Antiteror sudah melakukan penegakan hukum terhadap 20 peserta pelatihan JI,” kata Argo.
Untuk mencegah penyebaran paham atau ideologi radikal di kalangan anak muda, lanjutnya, diperlukan keterlibatan semua pihak, terutama yang bersentuhan langsung dalam dunia pendidikan, sosial, dan keagamaan. Sebab, sejak dulu, radikalisasi terbentuk sebagai bagian dari respons atas ketidakadilan dan semakin melebarnya kesenjangan sosial di masyarakat.
Sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap 23 tersangka teroris dari kelompok JI di delapan lokasi. Dua dari 23 orang yang ditangkap merupakan panglima askari JI, yakni Taufik Bulaga alias Upik Lawanga dan Zulkarnaen alias Arif Sunarso.
Dari 21 tersangka yang ditangkap, mereka rata-rata memiliki senjata rakitan. Senjata itu diperoleh dari tersangka Upik Lawanga. Berdasarkan pemeriksaan, Upik Lawanga telah diminta untuk membuat senjata rakitan sejak Agustus 2020. Di rumahnya, Upik Lawanga juga membuat bunker.
Secara terpisah, peneliti di Kreasi Prasasti Perdamaian yang juga mantan narapidana tindak pidana terorisme, Arief Budi Setyawan, berpandangan, di dalam JI terdapat narasi bahwa mempersiapkan kekuatan atau keterampilan itu wajib dilakukan dalam kondisi apa pun.
”Dari yang sudah-sudah, kalau konteksnya pelatihan, itu mesti dilakukan terus-menerus, juga dalam konteks regenerasi. Namun, untuk melakukan aksi, mereka akan melihat dukungan umat. Dan itu dilakukan hanya kalau ada konflik komunal di suatu wilayah,” tutur Arief.
Menurut Arief, kiprah JI meredup pada tahun 2010. Saat itu, banyak anggota JI yang ditangkap aparat kepolisian. Peristiwa penangkapan terduga teroris serta pengungkapan adanya bengkel perakitan senjata di Klaten, Jawa Tengah, mengungkap adanya kelompok ”new” JI pimpinan Para Wijayanto.
Dari penangkapan itu pula diketahui bahwa JI masih memberangkatkan anggotanya ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok Jabhat al-Nusra. Pengiriman itu dilakukan, selain untuk meningkatkan keahlian, juga agar tetap terjalin relasi dengan jaringan teror internasional.
Di dalam negeri, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme semakin membatasi ruang gerak mereka, semisal untuk melakukan pelatihan.
Sebenarnya, lanjut Arief, Upik Lawanga sudah dilarang membuat senjata pada 2016 setelah pengungkapan bengkel perakitan senjata di Klaten. Jika kemudian pada Agustus 2020 Upik menerima perintah untuk membuat senjata kembali, Arief melihatnya sebagai upaya untuk melatih diri para anggota.