Hakim Dinilai Keliru, Mantan Presiden PKS Ajukan PK
Menyusul banyaknya permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan MA, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pun mengajukan PK dalam perkara penyalahgunaan kekuasaan elektoral demi imbalan dari pengusaha daging sapi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara penyalahgunaan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Sebelumnya, putusan kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara serta mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Dalam perkara tersebut, Luthfi terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, senilai Rp 1,3 miliar, diterima melalui Ahmad Fathanah. Sejauh ini, Luthfi sudah menjalani hukuman selama 7 tahun sejak divonis hakim tipikor pada 2013.
Kuasa hukum Luthfi, Sugiono, dalam sidang pembacaan memori PK, Rabu, mengatakan, setelah menjalani masa pidana 7 tahun penjara dan mempelajari putusan pengadilan, pemohon menilai ada kekeliruan hakim yang nyata dalam putusan perkara korupsi impor daging sapi tersebut. Pemohon juga melakukan komparasi terhadap putusan hakim dalam perkara lain yang dianggap serupa. Perkara itu di antaranya kasus suap impor gula dengan terpidana mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman.
Melalui putusan PK, MA sebelumnya menganulir hukuman Irman Gusman dari 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Setelah putusan tersebut, Irman bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada September 2019.
Setelah menjalani masa pidana 7 tahun penjara dan mempelajari putusan pengadilan, pemohon menilai ada kekeliruan hakim yang nyata dalam putusan perkara korupsi impor daging sapi tersebut. Pemohon juga melakukan komparasi terhadap putusan hakim dalam perkara lain yang dianggap serupa. Perkara itu di antaranya kasus suap impor gula dengan terpidana mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman.
Selain itu, penasihat hukum juga membandingkan putusan dengan perkara lain, yaitu kasus korupsi fee proyek pembangunan PLTU MT-1 Riau dengan terpidana mantan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham. Melalui putusan kasasi, MA menganulir hukuman Idrus dari 3 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. Setelah putusan itu, Idrus bebas lepas pada September 2020 karena telah menjalani masa tahanan sesuai vonis pengadilan.
”Ketiga terpidana sama-sama didakwa menerima uang dari pihak swasta, tetapi subyek hukum tidak memiliki kewenangan yang berhubungan langsung dengan kasus korupsi tersebut. Pemohon juga dinyatakan terbukti menerima suap sehingga pemohon merasa diperlakukan tidak adil,” kata Sugiono.
Terpidana juga merasa ada disparitas putusan hakim dalam perkara yang hampir sama. Saat Irman Gusman divonis 3 tahun penjara dan Idrus Marham divonis 2 tahun penjara, Luthfi mendapatkan hukuman 18 tahun penjara. Adanya disparitas pemidanaan itu membuat terpidana berpendapat ada kekeliruan yang nyata dari majelis hakim dalam menjatuhkan putusan.
”Ada persamaan dalam tiga perkara tersebut, yaitu obyek hukumnya sama, tetapi subyek hukum tidak memiliki wewenang dalam jabatannya yang berkaitan langsung dengan kasus korupsi,” kata Sugiono.
Sebagai mantan Ketua DPD, Irman Gusman dinilai tidak memiliki wewenang langsung dalam impor gula. Demikian juga dengan Idrus Marham yang saat itu menjabat Menteri Sosial dan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar tidak memiliki wewenang dalam urusan kelistrikan. Adapun Luthfi Hasan, yang saat itu menjabat anggota Komisi I DPR, juga dinilai tidak memiliki wewenang langsung dalam penambahan impor daging sapi.
”Berdasarkan uraian di atas, baik judex juris maupun judex facti, hakim dianggap melakukan kekhilafan maupun kelalaian dalam memutus perkara. Dengan demikian, putusan ini harus dibatalkan,” kata Sugiono.
Ada persamaan dalam tiga perkara tersebut, yaitu obyek hukumnya sama, tetapi subyek hukum tidak memiliki wewenang dalam jabatannya yang berkaitan langsung dengan kasus korupsi.
Terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU), menurut kuasa hukum, hal itu hanya merupakan praduga semata. Jaksa penuntut umum dinilai tidak bisa membuktikan asal muasal harta yang dianggap sebagai hasil korupsi. Apalagi jika dikaitkan dengan periode korupsi yang terjadi pada tahun 2010.
Apabila TPPU tidak terbukti, pemohon meminta agar harta kekayaan yang disita dikembalikan kepada pemohon. ”Kapan korupsinya, di mana kerugian negaranya tidak jelas. Kami menilai perampasan barang-barang terpidana seperti mobil Pajero Sport tidak sah menurut hukum,” kata Sugiono.
Terkait dengan permohonan PK tersebut, pihak termohon, yaitu jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan, pihaknya meminta waktu untuk menyusun jawaban dan menanggapi memori PK tersebut. Agenda persidangan dilanjutkan pada Rabu, 6 Januari 2021.