18 Tahun Lolos, Densus 88 Telusuri Jaringan Jemaah Islamiyah
Pasca tertangkapnya dua buronan kasus pidana terorisme, yakni Zulkarnaen dan Upik Lawanga, Detasemen Khusus 88 Polri terus menelusuri jaringan Jemaah lslamiyah (JI). Tertangkapnya mereka membuktikan JI masih eksis.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih menelusuri jaringan Jemaah Islamiyah yang telah menyembunyikan dua buronan kasus tindak pidana terorisme, yakni Zulkarnaen dan Upik Lawanga. Kedua pentolan Jemaah Islamiyah itu merupakan arsitek dari berbagai aksi teror dan dinilai sangat berbahaya.
Pada Rabu (16/12/2020) siang, Densus 88 Antiteror Polri memindahkan 23 tersangka tindak pidana terorisme dari Lampung ke Jakarta. Mereka adalah kelompok teroris dari jaringan Jemaah Islamiyah (JI).
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, dari 23 tersangka tindak pidana terorisme yang dipindahkan, terdapat dua orang yang sudah berstatus buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO).
Pertama adalah Zulkarnaen yang sudah menjadi DPO Polri selama 18 tahun. Kedua adalah Upik Lawanga yang menjadi DPO sejak tahun 2006 atau sudah menjadi buronan selama 14 tahun. Keduanya disebut sebagai sosok yang berbahaya, baik di Indonesia maupun secara global.
”Setelah ini ke-23 tersangka akan dibawa ke tahanan teroris. Nanti kita
sampaikan update,” kata Ahmad.
Polri masih menelusuri jaringan Jemaah Islamiyah yang telah menyembunyikan dua buronan kasus tindak pidana terorisme, yakni Zulkarnaen dan Upik Lawanga. Kedua pentolan Jemaah Islamiyah itu merupakan arsitek dari berbagai aksi teror dan dinilai sangat berbahaya.
Ahmad mengatakan, Upik Lawanga adalah anggota JI yang mempunyai keahlian membuat senjata dan bom. Upik Lawanga juga terlibat berbagai aksi teror, seperti Bom Tentena, Bom Poso, serta rangkaian tindakan teror pada 2004 sampai 2006.
Demikian pula Zulkarnaen juga memiliki kemampuan membuat bom berdaya ledak tinggi, merakit senjata, dan memiliki kemampuan militer. Zulkarnaen terlibat dalam berbagai aksi teror, antara lain peledakan kediaman Dubes Filipina di Menteng (1999), peledakan gereja pada malam Natal dan Tahun Baru (2000 dan 2001), Bom Bali I (2002), Bom JW Mariott (2003), Bom Kedubes Australia (2004), dan Bom Bali II (2005), serta arsitek kerusuhan di wilayah Ambon, Ternate, dan Poso, pada 1998 sampai 2000.
”Sedangkan 21 tersangka lainnya memiliki peran dan berpotensi serta berkontribusi dalam perencanaan tindak pidana teror di kemudian hari,” kata Ahmad.
Saat ini, Densus 88 Antiteror Polri masih mendalami jaringan JI tersebut. Sebab, jaringan tersebut terbukti dapat menyembunyikan kedua buronan selama bertahun-tahun.
Diapresiasi
Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia (IACSP) Haryoko R Wirjosoetomo berpandangan, penangkapan dua tokoh JI oleh Densus 88 Antiteror Polri mesti diapresiasi. Namun, dari situ juga tampak bahwa kedua orang buronan, terutama Zulkarnaen, benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi karena bisa menghindari kejaran aparat hingga 18 tahun.
Kedua orang itu, lanjut Haryoko, memang benar-benar berbahaya. Upik Lawanga adalah murid Dr Azahari yang terlatih untuk membuat bom berdaya ledak tinggi, seperti bom mobil. Demikian pula dengan Zulkarnaen yang memiliki kemampuan serupa.
”Mereka benar-benar terlatih menggunakan material berstandar militer dan keahlian mereka itu meramu. Jadi, warisan Dr Azahari adalah meramu. Hasilnya seperti Bom Bali I, bom Kedubes Australia, dan bom JW Marriot sehingga wajar Densus 88 Antiteror mengatakan mereka berbahaya,” tutur Haryoko.
Menurut Haryoko, yang patut dicermati dari penangkapan itu adalah wilayah Lampung yang dipilih untuk menjadi lokasi persembunyian pentolan JI. Sebab, meski tampak tidak ada aktivitas sejak tahun 2009, sebenarnya mereka tetap melakukan perekrutan dan mengembangkan jaringan.
Demikian pula mereka mengembangkan strategi baru untuk memperoleh pendanaan. Jika dulu JI mendanai aksinya dengan melakukan fa’i dengan merampok bank atau toko emas, saat ini mereka mendanai JI dengan bisnis legal, seperti perkebunan kakao, sawit, dan cengkeh.
Ini mengkhawatirkan karena, kalau dulu JI lebih mudah dideteksi, sekarang menjadi lebih sulit. Bisa jadi JI menjadi lebih berbahaya.
Demikian pula temuan kepolisian bahwa kotak amal di beberapa wilayah, termasuk Lampung, yang terafiliasi dengan jaringan teror menunjukkan bahwa ada suatu organisasi yang rapi. ”Ini mengkhawatirkan karena kalau dulu JI lebih mudah dideteksi, sekarang menjadi lebih sulit. Bisa jadi JI menjadi lebih berbahaya,” ujar Haryoko.
Untuk menghadapi jaringan teror yang bersifat dinamis, lanjut Haryoko, tidak bisa jika hanya mengandalkan Densus 88 Antiteror Polri. Sebab, Densus 88 Antiteror hanya melakukan penindakan yang berada di sisi hilir, sementara pelaku teror lahir dari masyarakat.
Oleh karena itu, pencegahan terhadap terorisme mesti melibatkan semua pihak dan masyarakat, bukan hanya aparat. Maka, diperlukan suatu perangkat regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme yang dapat disusun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang bertujuan agar masyarakat dan pemerintah waspada dan tahu apa yang harus dilakukan.