Cegah Mobilitas Warga di Akhir Tahun, Pemerintah Siapkan Aturan Baru
Pemerintah menyiapkan aturan baru bagi pelaku perjalanan pada masa liburan akhir tahun. Ini penting untuk menekan mobilitas warga yang berpotensi memperluas penularan Covid-19.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan Covid-19 yang biasanya mengalami peningkatan kasus di setiap libur panjang. Tak hanya mempersingkat hari libur akhir tahun, pemerintah juga menyiapkan aturan atau kebijakan baru bagi pelaku perjalanan sebagai upaya mitigasi penularan Covid-19.
Dalam jumpa wartawan virtual dari Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (15/12/2020), juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, mengungkapkan, berdasarkan pengalaman selama sembilan bulan pandemi, selalu ada tren kenaikan kasus positif di setiap libur panjang. Kenaikan kasus ditengarai terjadi karena tingginya mobilitas warga saat libur panjang.
Berdasarkan pengalaman selama sembilan bulan pandemi, selalu ada tren kenaikan kasus positif di setiap libur panjang. Kenaikan kasus ditengarai terjadi karena tingginya mobilitas warga saat libur panjang.
Karena itu, pemerintah memutuskan untuk memitigasi risiko mobilitas warga dengan membuat kebijakan baru terkait perjalanan. ”Pemerintah saat ini sedang memfinalisasi kebijakan untuk pelaku perjalanan, terutama perjalanan antarkota,” kata Wiku dalam video yang disiarkan secara langsung oleh akun Youtube Sekretariat Presiden.
Kebijakan baru itu berisi persyaratan yang harus dipenuhi warga yang akan melakukan perjalanan. Selain itu, diatur pula mekanisme perjalanan, dari keberangkatan hingga kembali ke tempat asal.
Wiku kembali mengingatkan bahwa pergerakan manusia berisiko meningkatkan penularan Covid-19. Tak hanya di Indonesia, peningkatan kasus positif Covid-19 dalam kurun waktu satu-dua pekan setelah libur panjang juga dialami negara lain, seperti China dan Taiwan.
Laporan dari sebuah penelitian di China menyebutkan, libur hari raya Imlek di negara itu telah mengakibatkan peningkatan kasus positif Covid-19 di kota-kota yang letaknya lebih dekat dengan pusat epidemi serta kota dengan penduduk padat. Pembatasan mobilitas antarkota juga disebut bisa menekan risiko penularan hingga 70 persen. Sementara pembatasan pergerakan warga di dalam kota terbukti bisa menekan risiko penularan hingga 40 persen. Hasil penelitian di Taiwan juga menyimpulkan, durasi dan tingkat pembatasan perjalanan memiliki andil dalam menentukan besar-kecilnya kasus Covid-19.
Satgas juga mengimbau masyarakat untuk menunda perjalanan jika tak mendesak untuk mencegah penularan di daerah asal ataupun tujuan.
Karena itulah Satgas juga mengimbau masyarakat untuk menunda perjalanan jika tak mendesak, untuk mencegah penularan di daerah asal ataupun tujuan.
”Saya imbau masyarakat, jika perjalanan yang dilakukan tidak mendesak, diharapkan tidak melakukan perjalanan. Perjalanan memang tidak selalu berbahaya, tetapi orang yang berasal dari daerah risiko transmisi tinggi berisiko membawa penyakit ke daerah tujuan,” ujar Wiku.
Penegakan disiplin protokol kesehatan secara konsisten juga harus dilakukan, terutama oleh pemerintah daerah. Peran satuan tugas penanganan Covid-19 di daerah dalam menegakkan disiplin protokol kesehatan harus dioptimalkan dengan menindak pelanggar tanpa pandang bulu. Ketegasan dalam menegakkan disiplin protokol kesehatan penting dilakukan karena lonjakan penularan terjadi akibat semakin kendurnya masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
”Perlu diingat, positivity rate yang memburuk disebabkan terjadinya penularan di masyarakat akibat kurang disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan,” tutur Wiku.
Memburuk
Sementara dalam paparannya, Wiku menyampaikan bahwa positivity rate di Indonesia, satu pekan terakhir, semakin memburuk. Pekan ini, positivity rate naik menjadi 18,1 persen dari pekan sebelumnya yang masih 13,81 persen. Angka tersebut tergolong tinggi, jauh di atas standar WHO yang ditetapkan maksimal 5 persen.
”Hal ini sangat berbahaya, menandakan masih tingginya penularan di masyarakat,” ujar Wiku.
Angka positivity rate hanya bisa ditekan melalui kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Karena itu, masyarakat harus memahami bahwa protokol kesehatan merupakan sebuah kewajiban untuk memutus mata rantai Covid-19.
Sementara itu, kasus harian Covid-19 juga konsisten tinggi hingga di atas 6.000 kasus. Pada Selasa, misalnya, terjadi penambahan 6.120 kasus positif baru. Adapun kasus aktif saat ini sebanyak 93.622 atau 14,9 persen dari total warga yang terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara kasus sembuh secara kumulatif mencapai 516.656 atau 82,1 persen, sedangkan kasus meninggal 19.111 atau 3 persen.
Sanksi tegas diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Terkait lonjakan kasus positif akibat tingginya pelanggaran protokol kesehatan, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo meminta pemerintah pusat dan daerah mempertegas sanksi bagi para pelanggar. Sanksi tegas diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta menggencarkan pengetesan, penelusuran, serta pengobatan bersamaan dengan penerapan kebijakan pembatasan sosial secara mikro untuk mencegah penularan. Pemberian izin kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan juga diminta untuk diperketat.
”Pengetatan izin oleh pemda dan kepolisian ini penting karena nyatanya masih ditemukan banyak kegiatan berkerumun dengan tidak mematuhi protokol kesehatan,” tuturnya.
Politikus Partai Golkar itu pun meminta pemerintah dan Satgas Penanganan Covid-19 bersinergi dengan rumah sakit rujukan untuk memaksimalkan penanganan pasien dengan memprioritaskan kesembuhan. Dengan penanganan pasien yang tepat, pemerintah dapat menekan angka kematian yang saat ini berada di atas rata-rata kasus kematian akibat Covid-19 di dunia.