Gus Dur, Lawatan ke Luar Negeri, dan Pendekatan Kemanusiaan
Saat menjabat sebagai Presiden, Gus Dur pernah mengunjungi 13 negara sekaligus secara maraton dalam sepekan. Padatnya jadwal kunjungan membuat rombongan harus berpindah negara dalam waktu setengah hari.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
Saat menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kerap melakukan kunjungan ke luar negeri. Intensitas lawatannya ke luar negeri itu bahkan sempat membuatnya dijuluki sebagai presiden wisatawan. Hal itu menjadi strategi Gus Dur untuk menyebarkan pengaruh Indonesia di komunitas internasional.
Lawatan intensif ke luar negeri itu juga sempat jadi bahan guyonan Gus Dur. Dalam sebuah perbincangan dengan Presiden ke-3 BJ Habibie di Brussels, Belgia, Gus Dur secara bergurau membandingkan para Presiden RI. ”Kalau Presiden Soekarno itu negarawan, Presiden Soeharto itu hartawan, lah kalau Pak Habibie Presiden ilmuwan. Sementara kalau saya sendiri Presiden wisatawan yang suka keluyuran,” canda Gus Dur, seperti disarikan NU Online (29/9/2019) dari ”Fragmen Sejarah NU”.
Dalam diskusi ”Gus Dur dan Ekonomi Politik Internasional” yang digelar Jaringan Gusdurian, Minggu (13/12/2020), mantan juru bicara Gus Dur, Yahya Cholil Staquf, menuturkan, saat menjabat sebagai Presiden, Gus Dur pernah mengunjungi 13 negara sekaligus secara maraton. Hal itu dilakukan Gus Dur dalam waktu satu minggu. Padatnya jadwal kunjungan itu membuat rombongan kenegaraan harus berpindah negara dalam waktu setengah hari.
Akibatnya, selang tiga hari kemudian, banyak anggota rombongan yang jatuh sakit karena kelelahan. Namun, hal itu tak pernah menyurutkan langkah Gus Dur. Dengan bersemangat, Gus Dur berkunjung ke negara-negara lain dengan membawa misi mengenalkan Indonesia ke dunia internasional.
”Yang dilakukan Gus Dur adalah membangun leverage (pengaruh) supaya Indonesia lebih diperhitungkan. Modalnya adalah Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Bagaimana agar Indonesia mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan dunia Islam,” kata Yahya.
Kebijakan luar negeri Gus Dur ini pun bukan tanpa alasan. Meskipun Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, di dunia internasional, Indonesia bukanlah negara yang diperhitungkan. Padahal, dinamika geopolitik dan ekonomi dunia akan sangat menentukan dinamika domestik. Indonesia saat itu membutuhkan pengaruh untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan.
Selain itu, sejumlah gagasan Gus Dur kala itu adalah membentuk forum negara Pasifik Barat, poros Indonesia-India-China, serta kunjungan ke negara-negara peserta Konferensi Asia-Afrika. Hal itu dilakukan untuk menarik kembali solidaritas negara Asia-Afrika yang dulu dibangun oleh Presiden ke-1 RI, Soekarno.
”Itu semua dilakukan agar Indonesia memiliki bargaining power (posisi tawar) yang lebih besar di panggung internasional,” kata Yahya.
Humanis
Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan, meskipun hanya menjabat sebagai Presiden RI selama 1,5 tahun, kepemimpinan Gus Dur meninggalkan warisan berupa politik luar negeri yang humanis, bermartabat, yang mengedepankan dialog. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman panjang Gus Dur sebagai tokoh agama yang memperjuangkan pluralitas dan kemanusiaan.
Kondisi politik Indonesia saat itu, yaitu tahun 1999, adalah masa peralihan antara pemerintahan otoriter militer ke rezim demokrasi. Apalagi, saat itu, Indonesia baru saja kehilangan Timor Timur yang melepaskan diri dari NKRI. Indonesia juga masih bersusah payah keluar dari krisis ekonomi 1998.
”Saat itu, konteks politiknya, Indonesia memang membutuhkan dukungan dari luar negeri untuk menghadapi situasi yang tidak mudah itu,” kata Hurriyah.
Dalam konteks diplomasi politik, Hurriyah juga melihat ada kemiripan antara Gus Dur dan Soekarno. Gur Dur dinilai merupakan kepala negara yang melakukan diplomasi aktif ke negara lain. Meskipun ada menteri luar negeri, Presiden sebagai simbol negara, memilih melakukan diplomasi politik secara aktif. Hal itu tepat dilakukan saat negara sedang membutuhkan posisi tawar agar diperhitungkan dunia.
Akan tetapi, menurut Hurriyah, pandangan Gus Dur yang visioner dalam hubungan politik luar negeri itu, ternyata kurang diimbangi kemampuannya mengonsolidasikan kekuatan di dalam negeri. Gus Dur dinilai kurang bisa melihat tantangan yang ada di dalam negeri.
Pada masa transisi, dukungan dari elite politik dalam negeri diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Akhirnya, kebijakan progresif Gus Dur kala itu, misalnya, reformasi TNI-Polri dan restrukturisasi birokrasi dianggap mengganggu kepentingan politik tertentu.
Puncaknya adalah saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi pembubaran DPR/MPR, mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mempercepat pemilu satu tahun, dan membekukan partai Golkar. Dekrit itu membuat Gus Dur lengser dari jabatannya karena dimakzulkan pada sidang istimewa Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) pada 23 Juli 2001.
Standar tinggi
Di sisi lain, Gus Dur telah meletakkan standar tinggi dalam menyelesaikan konflik di dalam negeri, yaitu dengan pendekatan kemanusiaan. Saat Gus Dur berkuasa, muncul konflik bersenjata di Aceh dan Papua. Alih-alih menggunakan pendekatan keamanan, Gus Dur memilih dialog dan pendekatan kemanusiaan.
Menurut Hurriyah, contoh ini yang seharusnya menjadi rujukan pemimpin penerusnya. Penyelesaian konflik vertikal dan horizontal seharusnya dapat diatasi dengan pendekatan humanis. Cara-cara kekerasan harus dikesampingkan dalam penyelesaian konflik seperti di Papua.
”Pendekatan humanis adalah warisan terbaik dari Gus Dur sebagai Presiden. Bagaimana Gus Dur membuka ruang dialog untuk menyelesaikan konflik menjadi benchmark sehingga ketika ada kecenderungan negara melakukan kekerasan, orang dengan mudah akan merujuk pada kebijakan humanis Gus Dur,” kata Hurriyah.
Dalam setiap kebijakannya, kata Yahya, Gus Dur melandasi tindakannya pada moralitas kemanusiaan. Motivasi utama kebijakannya adalah aspek kemanusiaan.
”Pada konteks sekarang, kebijakan dengan motivasi kemanusiaan itu yang sudah jarang diterapkan pemimpin. Padahal, landasan kemanusiaan itu bisa mencegah timbulnya tragedi lainnya yang lebih besar,” kata Yahya.