Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan, masa depan Indonesia milik bersama sehingga para elite dan warga bertanggung jawab menjaga. Kepentingan pribadi tak boleh merusak sistem berbangsa dan bernegara.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO DAN NINUK MARDIANA PAMBUDY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegaduhan yang muncul akibat silang kepentingan di tubuh bangsa harus segera diakhiri. Para elite dan masyarakat harus memiliki jiwa kenegarawanan dalam menyelesaikan setiap masalah bangsa, apalagi saat ini bangsa dan negara tengah dilanda pandemi Covid-19.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (24/11/2020), di Jakarta, menyatakan, masa depan Indonesia merupakan milik bersama sehingga para elite dan warga bertanggung jawab menjaganya bersama-sama. Kepentingan pribadi tidak boleh merusak sistem berbangsa dan bernegara. ”Harus ada komitmen bersama selesaikan tiap masalah bangsa dengan jiwa kenegarawanan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.
Haedar mengingatkan kembali, jika para elite merasa semaunya sendiri, masa depan Indonesia akan menjadi pertaruhan berat. Situasi akan semakin parah apabila elite di tingkat puncak sampai bawah serba pragmatis dan miskin visi kenegaraannya. Namun, hal itu tak berhenti pada para elitenya semata, juga kelompok masyarakat harus bertanggung jawab memberi solusi untuk mengatasi masalah negeri.
Jangan memolitisasi sehingga masalah bangsa menjadi tak berkesudahan. Kepentingan politik siapa pun wajar di negara demokratis, tetapi jangan sampai mengorbankan tatanan keindonesiaan yang sudah dibangun susah payah dalam kebinekaan dan persatuan Indonesia sejak lama.
”Jangan memolitisasi sehingga masalah bangsa menjadi tak berkesudahan. Kepentingan politik siapa pun wajar di negara demokratis, tetapi jangan sampai mengorbankan tatanan keindonesiaan yang sudah dibangun susah payah dalam kebinekaan dan persatuan Indonesia sejak lama,” ucap Haedar.
Lebih jauh, Haedar menekankan, saatnya semua pihak membangun optimisme sambil waspada dan berintrospeksi diri menjadikan hari esok Indonesia lebih baik dari sebelumnya dengan berpijak kokoh di atas jati diri keindonesiaan yang telah diletakkan para pendiri negara 75 tahun silam.
Untuk itu, Haedar menegaskan, jadikan Indonesia negara hukum yang demokratis serta berdiri tegak di atas dasar Pancasila dan UUD 1945. Kedua, segenap warga bangsa memiliki kewajiban dan tanggung jawab kolektif menghadapi pandemi dan memecahkan masalah negeri dengan semangat gotong royong.
Ketiga, umat Islam dituntut uswah hasanah disertai sikap cerdas dan bijaksana menghadapi situasi keumatan dan kebangsaan yang kompleks dan sarat perbedaan. Keempat, seluruh warga Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi dan situasi negeri mesti menjadi pemberi solusi sejalan kepribadian dan khitah gerakan dalam perspektif Islam berkemajuan.
Keadaban publik
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menambahkan, di tengah krisis global akibat pandemi sekarang ini, semua elemen bangsa harus bersatu padu. Tanpa persatuan dan kebersamaan, bangsa ini tidak akan mampu menghadapi krisis, bahkan terperosok jauh mundur ke belakang.
”Maka, semuanya harus satu kata dan satu perbuatan. Yang dibutuhkan sekarang, bagaimana mewujudkan Indonesia yang tak lagi dipenuhi terus-menerus polemik seperti soal-soal ini,” kata Benny.
Maka, semuanya harus satu kata dan satu perbuatan. Yang dibutuhkan sekarang, bagaimana mewujudkan Indonesia yang tak lagi dipenuhi terus-menerus polemik seperti soal-soal ini.
Segala polemik, lanjut Benny, harus diakhiri segera. Seluruh pihak harus menjalankan keadaban publik. Keadaban publik berarti fungsi antara negara, pasar, dan warga, harus bersinergi. ”Satu dengan yang lain tak bisa saling menyalahkan. Jangan merasa dirinya menang sendiri. Itu tak akan selesai dan selalu terjadi seperti itu,” kata Benny.
Keadaban publik hanya bisa terjadi jika setiap unsur anak bangsa taat pada aturan main bersama, misalnya kepatuhan pada protokol kesehatan selama pandemi Covid-19. Siapa pun yang melanggar harus dikenai sanksi, tak melihat status sosialnya. Jika tak ada ketaatan pada aturan, akhirnya yang terjadi bisa menimbulkan apatisme publik di tengah bangsa.
Hal itulah, menurut Benny, terjadi belakangan ini. Ada hak istimewa, baik pejabat publik, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat, yang seolah-olah berhak melanggar protokol kesehatan Covid-19. Sementara pedagang kaki lima dan pedagang kecil harus patuh dan mengikuti aturan itu. Bahkan, tak jarang mereka menerima sanksi. ”Nah, ini yang melukai hati nurani publik,” kata Benny.