Komnas HAM menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin. Dalam pertemuan itu, Komnas HAM meminta langkah yang diambil pemerintah bersifat dialog dan dengan pendekatan damai yang menyeluruh.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk memutus siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta langkah yang diambil bersifat dialog dan dengan pendekatan perdamaian. Dialog ini diharapkan mampu mendapatkan solusi komprehensif untuk perdamaian di tanah Papua.
Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/11/2020). Taufan didampingi Amiruddin, Sandrayati Moniaga, Beka Ulung Hapsara, dan Mohammad Choirul Anam.
Adapun Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Sejauh ini, Presiden Jokowi belum mengeluarkan pernyataan terkait hasil pertemuan dengan Komnas HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta langkah yang diambil bersifat dialog dan dengan pendekatan perdamaian. Dialog ini diharapkan mampu mendapatkan solusi komprehensif untuk perdamaian di tanah Papua.
Beberapa insiden kekerasan di Papua juga dibicarakan, salah satunya kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 19 September 2020.
Dalam hasil investigasi Komnas HAM yang disampaikan komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, pada 2 November lalu diketahui bahwa Pendeta Yeremia ditembak dari jarak dekat dan meninggal karena kehabisan darah. Yeremia mengalami luka tembak di lengan sebelah kiri, tetapi itu bukan luka tunggal karena di bagian tubuh lainnya, yakni di leher, juga ditemukan bekas luka yang diduga luka jeratan. Karena itu, diduga ada kontak fisik antara pelaku dan korban.
Penembakan ini, menurut Komnas HAM, tidak lepas dari insiden pada 17-19 September 2020. Saat itu, Serka Sahlan, anggota Koramil Persiapan Hitadipa, tewas ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata. Senjatanya hilang dirampas.
Akibatnya, dilakukan penyisiran dan pencarian senjata yang dirampas oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). Warga sempat dikumpulkan dalam pencarian senjata dan dipesankan supaya pelaku mengembalikan senjata tersebut. Dalam pengumpulan massa tersebut, menurut Komnas HAM, nama Yeremia sempat disebut bersama lima orang lainnya dan dicap sebagai musuh anggota Koramil Persiapan Hitadipa.
Pada 19 September, anggota TNI lainnya, yaitu Prajurit Satu Dwi Akbar Utomo, juga ditembak kelompok kriminal bersenjata. Sementara penyisiran dan pencarian senjata masih dilakukan.
Mahfud MD sebelumnya menyampaikan siaran pers yang mengapresiasi langkah TNI Angkatan Darat yang menindak delapan prajuritnya dalam kasus pembakaran rumah dinas kesehatan di Intan Jaya. Kendati demikian, Mahfud juga berharap anggota OPM yang terlibat kekerasan ditindak secara hukum. ”Hukum harus ditegakkan dan langkahnya dilakukan secara bertahap,” ujar Mahfud.
Taufan menambahkan, hasil investigasi Komnas HAM tak jauh berbeda dengan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta bentukan pemerintah. ”Hanya komitmen, mari tegakkan hukum supaya ada rasa keadilan, terutama bagi keluarga dan masyarakat di Papua,” ujarnya.
Bersinergi dengan pemerintah
Presiden Jokowi menyetujui apa yang diusulkan Komnas HAM, seperti penegakan hukum sebagai jalan untuk melakukan proses damai. Demikian pula terkait usulan supaya pemerintah bersinergi dengan Komnas HAM, pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh di Papua.
Presiden Jokowi, menurut Taufan seusai pertemuan, juga menyetujui apa yang diusulkan Komnas HAM, seperti penegakan hukum sebagai jalan untuk melakukan proses damai. Demikian pula terkait usulan supaya pemerintah bersinergi dengan Komnas HAM, pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh di Papua.
Selain kekerasan di Papua, Komnas HAM juga membahas rencana kehadiran Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember mendatang. Diharapkan, menurut Taufan, kehadiran Presiden tidak sekadar menyampaikan pidato, tetapi menjadikan peringatan ini sebagai seremoni kelembagaan negara.
”Siapa pun nanti yang memimpin negara ini atau memimpin Komnas HAM, setiap 10 Desember, menjadi komitmen kita untuk tetap terus menghormati HAM,” ujarnya.