Saat para "Petinggi" Disebut
Rangkaian kasus terkait Joko Tjandra akhirnya masuk ke tahap persidangan. Fakta persidangan seakan mengamini bahwa masih ada pihak lain yang mungkin belum terungkap. Dugaan itu perlahan menyeruak tunggu dibeberkan.
Seluruh kasus terkait Joko Soegiarto Tjandra akhirnya masuk ke tahap persidangan. Mosaik peristiwa terangkai menjadi narasi besar sebuah skandal yang menyeret banyak pihak serta memicu banyak pertanyaan dan dugaan sejak awal. Pertanyaan muncul tidak hanya saat buron, tetapi juga ketika penyidikan dan penuntutan berjalan.
Fakta persidangan pun seakan mengamini bahwa masih ada pihak lain yang mungkin belum terungkap. Dugaan itu perlahan menyeruak di ruang sidang, menanti fakta terungkap dan cerita dibeberkan oleh para terdakwa.
Terakhir, saat sidang perkara dugaan gratifikasi penghapusan daftar pencarian orang (DPO) atas nama mantan terpidana buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte disebutkan meminta kepada Tommy Sumardi uang Rp 3 miliar. Uang itu sebagai imbalan agar nama Joko dapat dihapus dari DPO Interpol.
”Red notice Joko bisa dibuka karena Lyon (kantor pusat Interpol di Perancis) yang buka, bukan saya. Saya bisa buka asal ada uangnya,” kata jaksa menirukan pernyataan dari Napoleon ke Tommy.
Baca Juga: Hakim Tolak Permohonan Praperadilan, Perkara Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte Berlanjut
Kemudian, saat Tommy mengantarkan uang 50.000 dollar Amerika Serikat, Napoleon tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut. ”Ini apaan, nih, segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 (Rp 7 miliar) ji, soalnya kan buat ’depan’ juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya, kan, beliau, petinggi kita ini,” tuturnya.
”Ini apaan, nih, segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 (Rp 7 miliar) ji, soalnya kan buat ’depan’ juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya, kan, beliau, petinggi kita ini”
Pernyataan itu sontak menimbulkan pertanyaan. Siapa yang dimaksud Napoleon dengan ”petinggi kita”? Menanggapi hal itu, pihak kepolisian menyatakan, keterangan Napoleon soal ”petinggi kita” tidak ada di dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Bagi kepolisian, keterangan tersebut justru menimbulkan pertanyaan karena tak diungkapkan saat Napoleon diperiksa. Pasalnya, jika hal itu terungkap saat pemeriksaan dan tertulis dalam BAP, pasti penyidik mengejar keterkaitan antara keterangan saksi lain dan jawaban tersangka (Kompas, 4/11/2020).
Ketika dikonfirmasi, Sabtu (8/11), penasihat hukum Napoleon, Gunawan Raka, mengatakan, penyebutan ”petinggi kita” akan dijelaskan dalam nota keberatan atau eksepsi Napoleon. ”Akan diurai di eksepsi pada sidang Senin (9/11) ini,” kata Gunawan.
Sebutan ”petinggi kita” dalam dakwaan Napoleon tentu menambah panjang daftar pertanyaan dan dugaan adanya pihak lain yang terlibat perkara ini. Bisa jadi mereka bukan orang sembarangan. Sebelumnya, pada sidang terkait Joko, nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali juga mengemuka. Kedua nama itu disebutkan dalam proposal rencana aksi yang diajukan Pinangki kepada Joko. Rencana aksi berisi langkah-langkah mengurus fatwa bebas MA melalui Kejaksaan Agung agar Joko tak perlu jalani hukuman penjara.
Harga yang disepakati untuk rencana itu 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 140 miliar. Burhanuddin sendiri menampik tuduhan itu. Demikian pula Kejaksaan Agung yang menyatakan nama Jaksa Agung hanya dicatut dan dicatat dalam rencana aksi Pinangki untuk meyakinkan Joko. Dengan demikian, nama Burhanuddin tak punya urgensi dan hubungan dengan kasus itu.
Hatta Ali pun membantah hal itu. Menurut Hatta Ali, fatwa MA dijanjikan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Sementara MA sampai saat ini tidak pernah keluarkan fatwa yang bersifat teknis membatalkan atau mengoreksi putusan PK (Kompas, 24/9/2020).
Bukan orang sembarangan
"Kasus terkait Joko sangat kental dengan aroma mafia hukum.
Fakta persidangan tentang ”petinggi kita”, termasuk disebutnya nama pejabat di Kejagung dan MA, tak pelak menguatkan dugaan masih adanya pihak lain yang turut serta dalam kasus ini. Pertama, karena sosok Joko sebagai terpidana kasus hak alih piutang PT Bank Bali bukanlah sosok sembarangan, termasuk soal hukum. Ia dikenal sebagai pengusaha kawakan dengan jaringan yang luas. Dalam kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko juga pemilik PT Era Giat Prima bersama mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai direktur utama.
Terseretnya dua perwira tinggi Polri seolah menjawab dugaan publik rangkaian ”operasi” Joko melibatkan oknum penegak hukum tingkat tinggi lintas institusi. Sebaliknya, penyidikan yang ditangani Kejagung hanya berhenti pada jaksa Pinangki sehingga menuai pertanyaan. Sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Pinangki yang tak memiliki tugas menangkap buron tiba-tiba bisa bertemu Joko. Selama satu dasawarsa, Joko tidak pernah tersentuh aparat penegak hukum. Dan, aneh jika soal hukum Joko bisa dipercayakan ke Pinangki.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril berpandangan, kasus terkait Joko sangat kental dengan aroma mafia hukum. Para aktor mafia hukum memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan koruptif yang berhubungan dengan pengurusan perkara.
Dalam mafia hukum, tidak ada pelaku tunggal ketika menjalankan aksinya. Sebab, sistem penegakan hukum di Indonesia telah dirancang untuk ditangani beberapa institusi yang saling terkait. ”Dari beberapa pengalaman, kasus mafia hukum tidak bisa diletakkan hanya pada pemain lapangan karena pengambilan keputusan terkait proses hukum sering kali sampai pada level atas atau petinggi,” kata Oce.
Menurut Oce, pencatutan nama bukan hal mustahil. Namun, dalam kasus yang kental aroma mafia hukum, seperti kasus Joko, perhatian penyidik mestinya difokuskan pada mereka atau pihak yang dapat memberikan perintah atau punya wewenang lebih.
Relasi atasan-bawahan
"Memeriksa pejabat tinggi atau pucuk pimpinan tak mudah.
Namun, menurut pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memeriksa pejabat tinggi atau pucuk pimpinan tak mudah. Sebab, dalam institusi penegak hukum, seperti di Kejaksaan dan Kepolisian, yang terjadi adalah pola relasi atasan-bawahan (subordinasi). Secara otomatis hal itu akan membuat bawahan tak akan berani menyidik atasannya tanpa ada dorongan luar biasa kuat.
Baca Juga: Irjen Napoleon Catut Petinggi Polri
Oleh karena itu, lanjut Fickar, keterangan Napoleon tentang ”petinggi kita” dapat menjadi pintu untuk membongkar pihak lain yang terlibat. Terlebih, Napoleon pernah menyatakan bahwa dia siap membuka kasus yang menjerat dirinya.
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak berpandangan, masih adanya pertanyaan yang disertai berbagai dugaan disebabkan aparat penegak hukum tidak memberikan penjelasan yang kredibel dan komprehensif penanganan kasus Joko. Akibatnya, kepercayaan publik jadi sangat rendah.
”Sekecil apa pun keterangan yang sifatnya spekulatif, kalau dirasa ada dugaan tertentu, malah cepat menjadi tersebar karena sejak awal pemeriksaan kasus ini tak akuntabel,” kata Barita.
Dengan kondisi tersebut, tambah Barita, saatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk. Bantuan KPK diperlukan karena kemungkinan di Kepolisian dan Kejaksaan terjadi kendala struktural yang menghambat pengembangan kasus itu.
Terlebih, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus terkait Joko menjadi ujian untuk diterapkan.