Belajar dari pengalaman Presiden BJ Habibie pada 1998, terkait Undang-Undang Cipta Kerja, Presiden Jokowi bisa meniru langkah Presiden Habibie untuk menerbitkan perppu jika UU kembali mengalamai masalah subtansial.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Suasana politik masih belum stabil. Gelombang unjuk rasa terjadi di sejumlah tempat. Baru sekitar dua bulan Presiden BJ Habibie menjabat presiden menggantikan Presiden Soeharto. Tanggal 24 Juli 1998, BJ Habibie menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Tanpa disadari Presiden Habibie, dalam perppu tersebut ternyata ada pasal ”bermasalah”. Rumusan pasal yang bisa ditafsirkan sebagai sensor terhadap pers. Rumusannya, penyampaian pendapat di muka umum, termasuk media massa, harus melaporkan kepada kepolisian. Itulah sensor pers.
Presiden Habibie menuai kecaman. Elemen masyarakat sipil berteriak. Komnas HAM, organisasi dan aktivis hak asasi manusia, mengkritik pengaturan unjuk rasa sebagai ekspresi kebebasan menyampaikan pendapat diatur melalui perppu. Fraksi di DPR juga bersuara untuk menolak perppu.
”Setelah mendengar saran dari anggota Dewan, bentuk yang paling tepat untuk pengaturan penyampaian pendapat di muka umum adalah undang-undang. Karena itu, pemerintah menarik kembali RUU tentang Penetapan Perppu No 2/1998 menjadi undang-undang”
Langkah cepat diambil. Presiden Habibie mengutus Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto datang ke Rapat Paripurna DPR. Di depan Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Hari Sabarno dan dihadiri Menteri Kehakiman Muladi, Wiranto atas nama pemerintah menarik perppu itu, 29 September 1998.
”Setelah mendengar saran dari anggota Dewan, bentuk yang paling tepat untuk pengaturan penyampaian pendapat di muka umum adalah undang-undang. Karena itu, pemerintah menarik kembali RUU tentang Penetapan Perppu No 2/1998 menjadi undang-undang,” kata Wiranto. Wiranto kini Ketua Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden Joko Widodo.
Pemerintahan Presiden Habibie mengajukan RUU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang kini menjadi UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum No 9/1998. Esensi demokrasi memang mendengar, termasuk mendengar dari pihak yang tidak ingin suaranya didengar.
Dalam buku Pasung Kebebasan-Menelisik Kelahiran UU Unjuk Rasa (1998), Menteri Kehakiman Muladi sempat menanyakan kepada pejabat di Sekretariat Negara soal masuknya rumusan pasal kontroversial dan jalan keluar atas munculnya pasal itu. Muladi menulis memo dan menyebutkan kesalahan tersebut sebagai bureaucratic neglect. Habibie mendengar keberatan dari masyarakat dan kekuatan politik di DPR. Ia berbesar hati menarik Perppu No 2/1998 dan mengoreksi langkah politiknya mengajukan RUU lewat jalur konstitusional.
Menyusun undang-undang membutuhkan perancang undang-undang yang andal dan bersikap profesional, bukan hanya seorang sarjana hukum atau orang yang ditempatkan untuk memeriksa pasal demi pasal. Menyusun undang-undang bukan hanya menjejalkan keinginan pasal dari berbagai kelompok kepentingan. Penguatan tim hukum di pemerintahan yang menaruh perhatian pada teori perundang-undangan menjadi keniscayaan.
Senin, 2 November 2020, Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja. Undang-undang yang sejak awal kontroversial. UU tetap saja kontroversial setelah ditandatangani Presiden. UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah beredar secara luas dalam grup percakapan. Selasa pagi, beredar berbagai kejanggalan dalam UU Cipta Kerja.
Mulai dari definisi minyak dan gas bumi adalah minyak bumi dan gas bumi, ketidaksesuaian pasal, sampai bahasa undang-undang yang butuh konsentrasi penuh untuk dipahami. Seorang dosen Universitas Indonesia mengirim potongan UU Cipta Kerja sambil bertanya, ”ini maksudnya apa, ya?”
Membingungkan
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui adanya kekeliruan dalam UU Cipta Kerja itu hanya kesalahan teknis administrasi pengetikan. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dari Fraksi Gerindra juga mengakui adanya kekeliruan itu. Sebaliknya, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, melihat gejala lain. Menurut Arteria, draf UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR ke pemerintah rapi. Dia curiga ada pihak yang sengaja memperkeruh suasana. ”Ini perlu diusut tuntas, ini urusan serius,” kata Arteria.
Entah sejauh mana kebenaran sinyalemen Arteria. Namun, kontroversi soal RUU Cipta Kerja, mulai dari soal substansi yang jadi perdebatan hingga jumlah halaman yang berubah-ubah menjadi peluru untuk mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi. Ini perlu segera dituntaskan sesuai dengan jalur konstitusi, bukan improvisasi.
Gagasan RUU Cipta Kerja diusulkan Presiden Jokowi dan Kantor Menko Perekonomian menjadi penjuru penyusunan RUU Cipta Kerja. Menko Perekonomian mengoordinasikan tim menyusun draf RUU Omnibus Law. Pada saat rapat paripurna, pengambilan keputusan rapat dikendalikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Aziz Syamsuddin.
”Pemerintah bisa mengajukan perubahan UU No 11/2020 dengan revisi terbatas sesuai dengan pasal yang salah. Dengan kekuatan politik mayoritas di parlemen, revisi akan selesai cepat. Presiden Jokowi harus memastikan jalur koreksi aman agar tidak terus dikritik karena penyusunan yang belepotan, termasuk usulan Distribusi II yang tak ada landasannya. Kontroversi harus segera disudahi agar investasi yang dijanjikan datang.”
Bagaimana jalan keluar kontroversi UU Cipta Kerja? Pemerintah bisa mengajukan perubahan UU No 11/2020 dengan revisi terbatas sesuai dengan pasal yang salah. Dengan kekuatan politik mayoritas di parlemen, revisi akan selesai cepat. Presiden Jokowi harus memastikan jalur koreksi aman agar tidak terus dikritik karena penyusunan yang belepotan, termasuk usulan Distribusi II yang tak ada landasannya. Kontroversi harus segera disudahi agar investasi yang dijanjikan datang.
Jalan kedua, membiarkan Mahkamah Konstitusi melakukan koreksi konstitusional melalui uji materiil dan uji formil. Apa pun langkahnya, harus bersemangatkan memperkuat sendi negara demokrasi konstitusional. Kesalahan itu adalah kesalahan kolektif pemerintah dan DPR. Sebenarnya, RUU apa yang disetujui anggota DPR dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020, kalau, toh, masih ada kekeliruan. Sebaiknya, anggota DPR membaca dahulu sebelum mengatakan setuju terhadap RUU.