Hukum untuk menjerat para pengkritik, perundungan yang kerap dialami mereka yang kritis, terutama di medsos, dan upaya polisi atasi unjuk rasa dinilai melahirkan ketakutan. Namun, kebebasan dinilai juga tak absolut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Indikator demokrasi bukan sekadar dari penyelenggaraan pemilu. Jauh lebih penting, menjaga kebebasan berpendapat. Ironisnya yang terjadi belakangan, atmosfer ketakutan untuk bersuara justru muncul.
Hukum yang berulang kali digunakan untuk menjerat para pengkritik penguasa, perundungan yang kerap dialami oleh mereka yang kritis, terutama di media sosial, dan serangkaian upaya kepolisian untuk menghambat unjuk rasa telah melahirkan atmosfer ketakutan. Publik menjadi takut bersuara, padahal kebebasan berpendapat merupakan salah satu esensi dari demokrasi.
Ini seperti yang terpotret dari hasil survei oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 24-30 September 2020. Sebesar 21,9 persen responden setuju, saat ini, mereka merasa kian takut menyatakan pendapat. Sementara, 47,4 persen responden lainnya menyatakan agak setuju.
Terpaut dengan hal itu, 36 persen responden menilai Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis.
Hasil jajak pendapat melalui telepon oleh Litbang Kompas, 14-16 Oktober 2020, pun menunjukkan, kebebasan berpendapat menjadi persoalan paling utama yang dinilai paling mendesak diselesaikan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sebanyak 33,5 persen responden menyatakan hal itu atau paling besar persentasenya dibandingkan dengan lima persoalan lainnya, yaitu pembentukan undang-undang, sinergi lembaga pemerintah, konflik antarkelompok, keamanan di perbatasan negara, serta gerakan separatis dan terorisme.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Kebebasan Berekspresi Direpresi?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (28/10/2020) malam, Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi mengatakan, atmosfer ketakutan yang dirasakan masyarakat, seperti terlihat dari survei IPI, merefleksikan ruang demokrasi di Indonesia yang semakin terancam dan mengkhawatirkan.
Seharusnya, suara berbeda itu mendapatkan tempat yang mulia di dalam demokrasi, termasuk apakah aparat itu sudah begitu netral, imparsial, atau tidak ketika mengurusi perdebatan yang sedemikian tajam di ruang publik.
”Seharusnya, suara berbeda itu mendapatkan tempat yang mulia di dalam demokrasi, termasuk apakah aparat itu sudah begitu netral, imparsial, atau tidak ketika mengurusi perdebatan yang sedemikian tajam di ruang publik,” ujarnya.
Diskusi yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menampilkan sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Deputi V Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia Jaleswari Pramodhawardani, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Burhanuddin melanjutkan, demokrasi itu bukan sekadar rakyat mencoblos lima tahun sekali di dalam pemilu. Namun, juga hak untuk menyampaikan kritik juga menjadi indikator demokrasi yang patut dihormati.
”Kita tak boleh mengkriminalisasi pendapat orang, apa pun pendapat itu, sangat tidak kita sukai atau sangat tidak enak untuk didengarkan. Hak mereka untuk bicara harus kita hormati,” tutur Burhanuddin.
Penggunaan UU ITE
Ironisnya, yang terjadi beberapa tahun belakangan justru sebaliknya. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diundangkan pada 2008, misalnya, berulang kali dijadikan alat untuk menghukum perbedaan pendapat, tak terkecuali yang kritis terhadap penguasa.
Amnesty International Indonesia dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat 74 kasus yang melanggar UU ITE. Jumlah itu lantas meningkat tajam pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Pada lima tahun pertama pemerintahan Jokowi, 233 kasus dijerat dengan UU ITE. Jika ditambah setahun terakhir pemerintahan Jokowi-Amin, totalnya menjadi 241 kasus. Di antaranya, 82 kasus penghinaan terhadap presiden sekalipun pasal penghinaan itu sesungguhnya telah dibatalkan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Mahkamah Konstitusi.
Khusus terkait kasus penghinaan terhadap presiden, Usman Hamid menilai kepolisian telah bertindak berlebihan, terutama di dalam melindungi nama baik presiden. Padahal, seharusnya, Polri bisa berjarak dengan presiden.
”Dalam sudut pandang kepolisian yang demokratis, semestinya ada keseimbangan posisi polisi yang independen dari kepentingan partisan pemerintah yang berkuasa dengan kepentingan masyarakat. Tugas utama polisi sebenarnya adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Nah, yang sekarang terjadi, lebih banyak melindungi dan mengayomi pemerintah yang berkuasa,” ucap Usman.
Ia beranggapan, hal tersebut menjadi salah satu indikator kemunduran demokrasi. Keadaan ini, menurut dia, harus segera dibenahi ke depan. Jika tidak, akan memperburuk demokrasi Indonesia.
Bukan tanpa batas
Saya meyakini aparat hukum tidak dengan serta-merta menahan orang, pasti ada dasar-dasarnya. Itu nanti akan diuji di dalam tahap berikutnya.
Namun, Johnny G Plate mengingatkan, demokrasi di Indonesia bukanlah tanpa batas. Ruang ekspresi itu diberikan seluas-luasnya dengan catatan tidak merusak dan tidak mengganggu kebebasan atau hak masyarakat lainnya.
Untuk memastikan hal tersebut, tanggung jawab ada di pundak aparat kepolisian. Sebagai contoh, langkah kepolisian menghadang sejumlah pengunjuk rasa saat unjuk rasa besar-besaran menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Upaya itu ditempuh polisi agar unjuk rasa tak berubah menjadi anarkistis. Penangkapan para aktivis juga disebutnya masih dalam koridor penegakan hukum.
”Saya meyakini aparat hukum tidak dengan serta-merta menahan orang, pasti ada dasar-dasarnya. Itu nanti akan diuji di dalam tahap berikutnya,” ujar Johnny.
Jaleswari Pramodhawardani pun tak sependapat jika dikatakan kebebasan berekspresi saat ini terkekang. Buktinya, acara diskusi yang kritis terhadap pemerintah tetap bisa digelar, begitu pula berbagai unjuk rasa tetap dibolehkan.
Di sisi lain, ia menggugah masyarakat sipil untuk turut ambil bagian dalam menjaga ruang kebebasan. ”Kebebasan yang dimiliki itu tidak absolut. Jadi harus berhenti ketika menabrak kebebasan lain,” katanya.